Selasa, 07 Oktober 2014

Perang Simbolik

Puisi sebagai anak kandung kebudayaan tidak serta merta bisa merubah (mengubah) keadaan menjadi lebih baik. Tetapi sastra (puisi, red), sebagaimana agama dan filsafat berada di wilayah pencegahan yang lebih berfungsi guna mempengaruhi pikiran dan keyakinan hingga melahirkan sikap penolakan atas perlakuan korupsi yang menggila di negeri ini.

Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru

Sebuah gerakan pun digagas penyair Indonesia untuk menyikapi dan mencermati fenomena korupsi yang belakangan makin merebak di masyarakat. Gerakan yang diberi nama Puisi Menolak Korupsi (PMK) itu sudah hampir satu tahun lebih melakukan program penerbitan buku kumpulan puisi yang bertemakan anti korupsi dan juga roadshow di beberapa daerah di Indonesia.

Sudah pula diterbitkan 4 Antologi Puisi Menolak Korupsi dari gerakan para penyair di seluruh pelosok Indonesia ini. Diantaranya, antologi PMK 1 melibatkan 85 penyair, sedangkan untuk antologi PMK 2 dikemas dalam dua jilid dikarenakan semakin membludaknya puisi yang dikirimkan oleh para penyair. Jilid 2a melibatkan 99 penyair dan jilid 2b melibatkan 98 penyair yang keduanya diterbitkan bulan September 2013. Sementara itu, untuk antologi PMK 3, melibatkan 286 pelajar di seluruh Indonesia yang diberi judul Pelajar Indonesia Menggugat.

Pada Jumat (12/9) lalu, gerakan Puisi Menolak Korupsi melanjutkan program roadshow-nya di Riau. Dalam roadshow yang ke 24 itu, PMK singgah di beberapa tempat; Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau, Pekan Sastra (Helat Tajaan Balai Bahasa Provinsi Riau), Siak Sri Indrapura dan Dewan Kesenian Riau (DKR). Selama dua hari, para penyair yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia itu membacakan puisi dan sosialisasi menolak korupsi serta diskusi di beberapa tempat yang disinggahinya.

Selaku koordinator, penyair asal Solo, Sosiawan Leak mengatakan gerakan PMK mengambil posisi sebagai gerakan kultural untuk melengkapi gerakan lainnya yang dilakukan sejumlah unsur dari berbagai lapisan masyarakat. “Gerakan ini tentu saja menjadi media dan sarana bagi penyair untuk menyatakan sikap tegas menolak nilai-nilai kehidupan yang korup,” ucapnya.

Semua orang dari berbagai kalangan berhak untuk menolak korupsi lanjut Sosiawan, di mana tindak korup merupakan sebuah perbuatan yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Hal itu juga tertera dalam perundangan, Pasal 1 angka 3 UU no 30 tahun 2002 tentang KPK yang mempertegas keterlibatan masyarakat di dalam pemberantasan korupsi. “Namun realitas menunjukkan bahwa puisi tidak bisa digunakan untuk melawan secara langsung apalagi untuk menghakimi atau memvonis karena puisi tidak berada dalam wilayah penindakan layaknya instansi yang berkompetensi seperti kepolisian, kehakiman dan KPK. Tetapi puisi berada di wilayah pencegahan,” terang Sosiawan.

Gerakan PMK merupakan gerakan simbolik melawan korupsi dengan membangun KPK dalam hati. Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr Junaidi. Katanya korupsi menjadi musuh utama bagi bangsa ini sehingga sudah seharusnya untuk diperangi. Daya rusak tindak korup sangat kuat meski telah dilakukan perlawanan dengan berbagai pendekatan seperti hukum dan politik. “PMK menurut saya merupakan perang simbolik yang dilakukan oleh para penyair Indonesia dengan cara menulis puisi menolak korupsi, ini tentu saja memberi kontribusi dalam membangun semangat anti korupsi dalam diri bangsa kita. Perang ini tentu saja tidak menggunakan kekuatan fisik, hukum dan politik tetapi dilakukan dengan cara membangkitkan jiwa dan kesadaran bangsa Indonesia untuk menolak korupsi karena dalam setiap jiwa manusia sebenarnya ada potensi korup itu,” jelas Junaidi ketika ditemui di acara pembukaan gerakan PMK di Kampus Unilak beberapa waktu lalu.

Tolak Korupsi secara Berjemaah
Tindak korupsi bukanlah hal yang baru. Sosiawan Leak dalam pembacaannya sudah menemukan data-data bahwa korupsi sudah ada sejak dahulu. 2300 tahun lalu sudah ditemukan sebuah buku dari catatan kerajaan kuno yang berjudul 40 Cara Merampok Uang Negara. Di Cina, juga pernah dilakukan sebuah kebijakan yang beberapa ribu tahun lalu dinamakan kebijakan Yang Lin, sebuah  kebijakan dari kerajaan, memberikan insentif kepada para aparat kerajaan yang bertindak bersih.

Dalam setiap kesempatan diskusi, Sosiawan Leak juga memaparkan tindak korupsi yang juga sudah terjadi abad sebelum Masehi. Ketika Nabi Isa Alaisalam merekrut umatnya yang bernama Rahimi dan Zelkeus yang kemudian ditolak umat lainnya karena kedua orang itu kerjanya menarik cukai atau pajak yang ketika itu dinilai sebuah pekerjaan korupsi. Pada masa penjajahan juga, tepatnya ketika runtuh VOC yang salah satu penyebabnya adalah korupsi oleh pejabat-pejabat VOC disamping memang biaya peperangan yang cukup besar.

Sejalan dengan itu, kata Sosiawan, perlawanan dan penolakan terhadap  korupsi juga dilakukan dengan berbagai cara, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Pada masa orde lama misalnya, berapa banyak jurnalis yang kemudian terpaksa didekap di tahanan karena menulis tentang tindak korup yang dilakukan pejabat negara pada waktu itu.  Sekitar 1953, sastrawan Pramudiya Ananta Toor juga pernah menulis novel yang berjudul Korupsi.

“Artinya selama ini sudah dilakukan juga upaya penolakan terhadap korupsi. Saya yakin semua karya sastra, rata-rata pastilah menyuarakan ketidakadilan yang buntutnya akibat dari tindak korup, hanya saja dilakukan secara sporadis. Padahal kita tahu, tindak korup itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, pastilah dilakukan dengan cara berjemaah jadi memang, perlawanan akan korupsi juga harus dilakukan dengan cara berjemaah seperti salah satu contohnya gerakan PMK ini,” kata Sosiawan.

Ditegaskan Sosiawan juga, gerakan ini terlaksana berkat dari iuran kawan-kawan penyair dari seluruh pelosok Indonesia. Baik program penerbitan buku maupun program roadshow yang dilakukan. Dalam hal penerbitan buku, misalnya Sosiawan sadar benar adalah suatu kemustahilan mengajak kalangan penyair Indonesia untuk terlibat dalam program penerbitan antologi puisi dengan tema kritik sosial, terlebih soal anti korupsi yang jelas-jelas sangat sulit masuk akal, yang terbuka dan cendrung banal dan bersifat propoganda.

“Suatu yang tidak mungkin menawarkan program penerbitan antologi puisi seperti ini kepada panitia festival, forum sastra, lembaga pemerintah maupun pusat kesenian untuk  menjadi fasilitator dan pendukung pendanaan apalagi sebagai sponsor utama. Makanya, akhirnya kita menggunakan sistem iuran, para penyair akan menyerahkan iurannya kepada saya selaku koordinator yang kemudian iuran itu dikembalikan dalam bentuk buku yang sudah selesai dicetak,” jelas Sosiawan sembari menambahkan demikian juga program roadshow yang juga berdasarkan iuran-iuran dari masing-masing penyair.

Sementara itu, menurut Koordinator Roadshow PMK di Riau, Husnu Abadi mengatakan PMK sebetulnya membicarakan negeri ini secara keseluruhan seperti misalnya penyakit masyarakat, penguasa, birokrat, guru, tentara, hakim, polisi, agamawan, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan.

“Artinya tidak secara spesifik sebuah perlawanan yang tuntas kepada korupsi, tetapi makna korupsi yang telah diperluas kepada makna yang lebih luas, ketimpangan pembangunan, morla dan etika,” jelas salah seorang penyair asal Riau yang juga merupakan dosen di UIR tersebut.

Kalaulah Road Show PMK ini terus menerus bergelora, lanjut Husnu baik itu di kota-kota, desa-desa, sekolah-sekolah, kampus-kampus, di rumah-rumah ibadah dan sekaligus menjadi gerakan budaya yang masif, “Maka paling tidak persepsi perilaku korup sebagai sebuah kejahatan yang dapat merubuhkan sebuah bangsa, dapat dibangun dan tentu saja dengan demikian dukungan moral untuk KPK dan aparat penegak hukum lainnya akan pula memuluskan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermarwah,” tutupnya.

Tolak Korupsi di Aula DKR
Sabtu Malam (13/9) lalu, rombongan PMK singgah di Dewan Kesenian Riau (DKR) sebagai destinasi terakhirnya di Riau. Tak ayal lagi, puluhan penyair dan seniman membaca dan mendeglamasikan puisi-puisi yang bertemakan anti korupsi di aula DKR tersebut.

Di atas panggung Aula DKR yang memang sudah diset dengan simbahan lampu berwarna merah dan hijau, para penyair silih berganti berekspresi. Ada yang memilih berdiri di sebalik mimbar yang sudah disediakan dan ada pula memilih untuk duduk di kusri yang memang sudah tersedia sebagai set dekor di panggung tersebut. Ada pula yang memilih untuk menguasai panggung sembari meneriakkan puisinya kesana-kemari seperti halnya yang dilakukan Sosiawan Leak. Puisi yang berjudul “Negeri Kadal”, dibacakannya dengan gaya dan cirinya yang khas. Tubuhnya yang juga turut lebur dalam pembacaan puisi itu turut pula mewarnai setiap gerakan dan ucapan, menunjukkan Sosiawan tidak hanya seorang penyair tetapi juga sebagai seniman teater baik sebagai pemain maupun sutradara.

Disusul kemudian, Ketua Umum Dewan Kesenian Riau, Kazzaini Ks yang membacakan sebuah puisi berjudul “Aku dan Anjing yang Menggonggong”. Tak ketinggalan juga setelahnya, mantan ketua DKR, Eddy Ahmad RM. Sebelum membacakan sajak-sajaknya, Edi mengemukan bahwa kesejahteraan bagi seluruh warga adalah hak, “untuk itu perlu diupayakan bagaimana korupsi itu menjadi legal,” ucapnya sambil tertawa sembari kemudian membacakan sajaknya yang berjudul “Undang-undang Koruptor”.

Bukan Eddy Ahmad RM namanya kalau dalam setiap tampilan tidak ada sensasinya. Malam itu, sembari membacakan sajak-sajaknya,  Eddy RM menaburkan uang rupiah sebesar Rp2000 dan Rp5000 di atas panggung. Uang pecahan itu bertabur di hadapan dan juga di kiri kanannya.

Mulutnya tak henti membaca puisi, begitu juga tangan kanannya terus menaburkan uang pecahan tersebut membuat panggung pun berserakkan uang. “Siapa yang mengambil uang ini, berarti dialah koruptor,” teriaknya di sela-sela membacakan puisi.

Penyair yang tampil selanjutnya berasal dari Kalimantan, Arsyad Indriadi. Tak mau kalah dengan tampilan penyair-penyair muda, Arsyad yang sudah berusia 73 tahun itu membacakan sajaknya yang berjudul “Aku Bangga Padamu SBY”. Dilanjutkan dengan penyair perempuan Riau, Herlela Ningsih yang membacakan puisinya berjudul Surat Baca di Riau Pos.

Wage Teguh Wiyono, penyiar asal Semarang dalam puisinya dengan tegas meneriakkan “Indonesia tanah airku, air bukan airku. Indonesia tanah tumpahku, tanah bukan tanahku,” ucap penyair yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu itu. Dilanjutkan dengan Penyair senior asal Riau, Taufik Ikram Jamil yang dengan gaya pembacaannya yang khas membawakan sebuah sajak “Gurindam Bukit Siguntang”. “Semoga tuan-tuan betah di Riau, untuk itu, sebuah sajak akan saya bacakan,” kata Taufik membuka kata sebelum membacakan puisinya.

Lebih meramaikan dan memeriahkan acara malam itu, seorang tokoh musikalisasi puisi dari Jakarta, Tuan Ane membawakan beberapa karyanya. Dengan menggunakan gitar, dia duduk di kursi, dengan lantang mendendangkan bait demi bait lagu yang dihasilkan dari sajak-sajak penulis Indonesia. “Namaku korupsi. Aku dibenci, aku dikutuk, aku diludahi. Tapi ada saja yang mencintai,” nandungnya sembari mengajak hadirin yang hadir untuk sama-sama bernyanyi.

Puisi demi puisi terus dibacakan menjelang larut malam. Taburan pesan dan makna yang terkandung di dalamnya bertabur di panggung Aula DKR malam itu. Tak dapat dielak, pekik dan teriakan juga mewarnai, seperti halnya yang ditampilkan salah seorang aktivis Riau, Rinaldi Sutan Sati. Dua buah sajak yang dibacakan berjudul “Ejaan Riau” dan sebuah sajak khusus dibuat untuk Anjung Seni Idrus Tintin. “Anjung seni kian kian parah namun instansi terkait malah pergi menghabiskan uang ke luar negeri, inilah puisinya,” ucap Rinaldi yang kemudian langsung meneriakkan kata demi kata.

Tampil juga berikutnya penyair asal Sumatera Barat, Syarifuddin Arifin yang membawakan puisi yang berjudul “Tuan Berilah Aku Garasi”. Sedangkan penyair asal Jawa Barat, Aceo Syahril, pada penampilan berikutnya membacakan sebuah sajak panjang berjudul “Sajak Sepanjang Jalan”. Tak kalah menariknya, musisi Zuarman Ahmad juga turut membacakan sebuah puisi dari penyari prancis yang kemudian disampaikan dengan cara disenandungkan. Tidak puas dengan satu puisi, kemudian Zuarman melanjutkan sajak berikutnya yakni karya Aris Abeba. “Tinggal sebotol minyak untuk ditanak !” pekik Zuarman yang disambut tepuh gemuruh oleh para hadirin.

Dilanjutkan kemduian penyair lainnya, Hang Kafrawi, Jefri al Malay, Husnu Abadi, penyari asal Kepri, Tarmizi Rumah Hitam Marlin Dinamikamto dan Aamesa Aryana. Sebagai penutup, tampil pula Suharyoto. Dengan bertelanjang baju, Suharyoto mengajak rekan-rekan lainnya untuk sama-sama berkolaborasi di atas panggung. tak ayal kemudian, Zuarman Ahmad kembali naik ke atas panggung dengan bertelanjang dada mengikut Suharyoto, disusul kemudian arif.

Kolaborasi pembacaan puisi tersebut tampak sebagai percakapan-percakapan yang ditengkahi dengan suara-suara racau dan nandung. Tiga lelaki yang sedang bertelanjang dada itu pun terus menerus mengekspresikan sebuah puisi yang berjudul “Tikus Jakarta”.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Kesenian Riau, Kazzaini Ks mengatakan sangat berbangga hati atas kedatangan PMK. Disamping sebagai ajang silaturahmi sesama penyair dan seniman Riau, tentu saja kata Kazzaini sebagai upaya bersama untuk mencegah korupsi.

“Semoga singgahnya PMK ke DKR membawa berkah bahwa korupsi memang harus dilawan dan semoga ke depannya gerakan ini menjadi lebih berkembang,” ucap Kazzaini.

Sumber: http://www.riaupos.co/2203-spesial-perang-simbolik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.