Koruptor dan korupsi sudah jadi santapan sehari-hari masyarakat
Indonesia. Dijejalkan dengan suka rela dari tangan Koran-koran, radio,
televisi, twitter, blog, facebook, fanspage, dan sebagainya dan
sebagainya. Seakan-akan tidak ada ruang yang dapat membebaskan kita dari
kengeriannya. Hal tersebut yang ditengarai melahirkan Antologi Puisi
Menolak Korupsi atau disingkat jadi PMK. Penyair yang bergabung di
dalamnya lintas usia. Dari penyair yang sudah puluhan tahun bergulat
dengan dunia kesusastraan Semisal Sutardji Calzoum Bachri, Esbedy, Acep
Zamzam Noor, Dimas Arika Mihardja, Toto ST Radik, hingga penyair-penyair
muda di antaranya Mubaqi Abdullah, Lukman Mahbubi, Ken Anggara, Ade
Ubadillah dkk.
Nuansa yang diciptakan antologi tersebut
cukup mencekam, karena begitu banyak penolakan terhadap mahluk paling
sexy abad ini. Yakni KORUPTOR. Puisi Menolak Korupsi terdiri dari 2
jilid, atau apalah sebutannya untuk penerbitan PMK kedua ini. Barangkali
lantaran saking banyaknya penyair yang turut berpartisipasi di
dalamnya. Juga layak disambut gembira karena hal ini menandakan betapa
penyair masih melek keadaan. Terlepas dari hal-hal lain yang terlampau transcendence jika
dirogoh terlalu dalam. Bahkan jika dipaksakan akan melahirkan
ketidakmendasaran dan lenyapnya kebermaknaan. Paling tidak ada ucapan
dan tindakan untuk menolak prilaku paling mengiblis sejagad Indonesia
itu. Menyoal hasil bukan urusan manusia, yang penting berjalan saja
dengan lurus dan maksimalkan kecerdasan emosional dalam menanggapi
wacana dan pergerakan.
Puisi-puisi di dalamnya menyoroti
dunia KORUPTOR yang tentunya berbasis KORUPSI begitu berkelindan.
Menawarkan kemarahan, kekecewaan, kebencian, pencerahan, pembenaran,
penyalahan, dan sebagainya dan sebagainya. Dengan banyaknya penyair dari
lintas usia dan latar belakang sosial, budaya, serta agama. Tak pelak
melahirkan macam-macam pengamsalan untuk menggambarkan betapa buruknya
wajah KORUPTOR yang sudah dengan sukses dan gembira menyengsarakan
rakyat Indonesia. Maklum saja, penyair memang jagonya membuat
pengamsalan untuk hal-hal yang dianggap biasa agar lebih menetak di ulu
nadi pembaca. Semisal yang ditulis oleh Ahmadun Yossi Herfanda pada bait
pertama:
suatu hari di negeri yang baru 68 tahun merdeka
uang telah menjadi agama. jidat-jidat orang
bergambar rupiah, puser dan kemaluan
pun memanggil-manggil euro dan dollar
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, SUATU HARI DI NEGERI YANG BARU 68 TAHUN MERDEKA, halaman 80)
Bacalah!
Betapa Ahmadun menulis sedemikian detailnya. Dari hari hingga tahun
ditulis. Bukan tanpa sebab, ini dapat dimaknai sebagai bentuk kesaksian
yang jelas. Sama dengan pembuatan akte kelahiran bahwa si Fulan bin
Fulan lahir hari sekian, tanggal sekian, dan tahun sekian. Bedanya, akte
kelahiran bukan puisi dan puisi buka akte kelahiran. Di bait pertama
Ahmadun memberikan satu gambaran keadaan sosial dan psikologis kelompok
tertentu. Di mana uang telah jadi berhala yang disembah-sembah. Biasanya
soal harta tidak jauh dari soal-soal tahta dan wanita. Bagi wanita
tahta dan laki-laki muda (berondong). Persoalan-persoalan yang dihadapi
sekarang ini memang sangat kompleks, hal tersebut yang membuat Ahmadun
menjejalkan simbol-simbol di dalam puisinya seperti, ‘puser dan
kemaluan/pun memanggil-manggil euro dan dollar’. Sejalan dengan Ahmadun,
Golagong yang menurut pengakuannya mulai kembali ke dunia puisi,
mengamsalkan geliat koruptor yang manis menggoda itu dengan kucing yang
memangsa ikan. Semoga bukan ikan asin apa lagi ikan busuk tak layak
makan. Walau sesungguhnya kucing jauh lebih mulia dibandingkan koruptor,
begini Gong menulis:
Manusia dan kucing berebut ikan
Ikan-ikan terkapar tak berdaya.
Ikan di meja makan milik manusia.
Kucing cakar berebut kepala ikan.
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, IKAN, KUCING, DAN MANUSIA, halaman 320)
Baik
puisi Ahmadun maupun puisi Golagong sama-sama menyuguhkan ironisme
berbaur dengan elegi kecintaan pada negeri. Antara yang memangsa dan
dimangsa. Siapa kuat jadi pemangsa dan yang lemah adalah korban yang
harus rela jadi mangsa. Pada akhir larik dalam puisi yang sama ada yang
menggelitik ditulis Golagong:
Tak ada lagi manusia
di muka bumi
Tak ada
manusia
lagi.
Menggelitik
sebab saya meyakini, bumi ini masih dihuni oleh manusia. Barangkali di
antara manusia itu adalah sekumpulan penyair yang manusiawi—memanusiakan
manusia dan tentunya tulus. Meski tidak menutup kemungkinan di antara
koruptor dan penjahat itu juga ada penyair.
Dari
banjaran penyair muda, di antaranya Ayat Kalili. Pemuda Jawa Timur yang
aktif dalam kegiatan-kegiatan sastra ini tidak lagi menulis pengamsalan,
meski di dalamnya ada pengamsalan. Ia menulis seolah bicara langsung
kepada si penguasa (penguasa hari ini dikaitkan dengan koruptor). Begini
cara Ayat menegur penguasa secara langsung (tidak dapat dipastikan
puisi Ayat ini dibaca oleh yang dituju):
bagaimana jika bencana datang dari atas. dari tanganmu sendiri.
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, Kepada Penguasa, halaman 09)
Ada
ancaman yang dimungkinkan dengan kata ‘jika’ di dalam larik pembuka
puisi tersebut. Sebagai seorang santri sepertinya Ayat tahu benar apa
itu yang dimaksud kerusakan bumi dan langit yang disebabkan oleh tangan
manusia. Dalam puisinya kentara sekali pesan-pesan tersebut.
Persoalannya, pertanyaan sejenis itu apakah efektif di tengah
kegentingan? Biarkan saja waktu atau lumut di kolam renang yang
menjawab. Masih di banjaran penyair muda. Riyanto, pemuda Jawa Tengah
yang kesehariannya benar-benar bergulat dengan kerasnya kehidupan,
rupanya sudah sangat geram dengan prilaku binatang-binatang peliharaan
istana itu. Sejalan dengan Ayat Kalili ia pun mengajukan sebuah
pertanyaan. Bedanya pertanyaan diajukan lebih tegas:
“jika benar korupsi telah mendarah daging
apakah mungkin, darah itu dipisahkan dengan daging?”
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, DARAH DAGING PUISI, halaman 194)
Pertanyaan
Riyanto sebenarnya mudah saja dijawab. Dengan catatan hukuman mati
bagi para koruptor dijalankan di negeri Indonesia Raya yang dicintai
ratusan juta rakyatnya! Jika belum berani jawabannya adalah TIDAK
MUNGKIN. Dua larik di bait penutup ini yang paling menarik dari
puisinya, sedang larik sebelumnya terasa getir dan gemetar. Selebihnya
oke.
Dimas Indianto S(enja) turut memberikan warna. Pola
deskriptif rupanya dipilih untuk menggambarkan betapa menyedihkannya
keadaan negeri ini. Negeri yang lukanya diciptakan oleh tangannya
sendiri. Meski penyair muda yang sedang menjalani program S.2 ini
identik dengan puisi-puisi romantis berbunga-bunga, penuh hujan, dan
berbulan. Nyatanya ia sanggup menulis puisi miris dan mengiris:
ada luka di tubuh kita, menjelma ayat kesakitan
merobek seluruh nadi yang pernah kau kumpulkan
mengalirkan mata air, air mata yang tak berkesudahan
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, ada luka di tubuh kita, halaman 222)
Pengambaran
tentang ‘ada luka’ itu menjadi masuk dalam diri pembaca karena
menggunakan kata ganti ‘kita’. Walau cukup bosan juga dengan penggunaan
‘mata air—air mata’ yang kerap digunakan semenjak digunakan oleh
Sutardji. Serta kebingungan, nadi apa yang dikumpulkan? Terlepas dari
hal tersebut, Dimas berhasil membuat pembaca turut berduka, turut
merasakan pedihnya. Mengingat tidak sedikit yang mati rasa dan memilih
untuk jadi apatis.
Sus Setyowati Hardjono mewakili sekian
nama penyair perempuan yang tergabung dalam PMK. Sebagai perempuan ia
menulis dengan perkasa sekaligus menyerikan hati. Penyair yang aktif di
Dewan Kesenian Sragen ini memang terbilang penyair perempuan paling
produktif dan reaktif terhadap pergerakan sastra. Tidak
tanggung-tanggung beberapa perhelatan ia sendiri yang membidani. Salah
satunya ‘Habis Gelap Terbitlah Sajak’ yang akan digelar pada Desember
mendatang. Di akhir bait yang hanya berisi satu larik ia menulis:
kami adalah pemburu berlian di tengah sampah kemiskinan…
(Antologi Puisi Menolak Korupsi, TUJUH KETURUNAN, halaman 277)
Ironis!
Dalam bahasa yang sedemikian tegas dan tampak tegar ada kemusykilan
yang senyata-senyatanya membikin bait penutup ini terasa mengerikan.
Bagaimana bisa berburu berlian di tengah sampah? Yang ada di antara
sampah-sampah itu hanya pemulung yang hidupnya serba tiada. Serba
menunggu antara bertahan hidup atau dikalahkan oleh kehidupan. Sus
benar-benar telah membuat penutup puisi yang kuat. Meski saya tidak
dapat memastikan penggunaan ellipsis (…) di akhir larik yang hanya
berjumlah tiga itu sudah benar atau tidak. Mengingat fungsinya jika
dilihat dari aspek kebahasaan.
Masih banyak lagi dengung
dan degung suara di dalam antologi Puisi Menolak Korupsi. Dari sabang
sampai marauke menyatukan penolakan. Pergerakan yang layak diacungi
jempol. Hanya tantangan tidak selesai sampai di sana. Sanggupkan
antologi Puisi Menolak Korupsi memberikan dorongan kepada masyarakat
seluas-luasnya untuk bersama-sama menolak korupsi. Atau nasibnya hanya
akan didengar oleh sesama penyair yang bergabung di dalamnya. Sebelum
akhirnya menjadi bagian dari buku-buku yang menumpuk di rak penuh debu.
Tentu kita semua selalu punya harapan untuk kebermanfaatan. Salam.
Cilegon, 2013
*) Muhammad Rois Rinaldi
Sumber: Facebook Muhammad Rois Rinaldi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.