Minggu, 10 November 2013

(Esai) Membaca Puisi Menolak Korupsi oleh Muhammad Rois Rinaldi

Koruptor dan korupsi sudah jadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dijejalkan dengan suka rela dari tangan Koran-koran, radio, televisi, twitter, blog, facebook, fanspage, dan sebagainya dan sebagainya. Seakan-akan tidak ada ruang yang dapat membebaskan kita dari kengeriannya. Hal tersebut yang ditengarai melahirkan Antologi Puisi Menolak Korupsi atau disingkat jadi PMK.  Penyair yang bergabung di dalamnya lintas usia. Dari penyair yang sudah puluhan tahun bergulat dengan dunia kesusastraan Semisal Sutardji Calzoum Bachri, Esbedy, Acep Zamzam Noor, Dimas Arika Mihardja, Toto ST Radik, hingga penyair-penyair muda di antaranya Mubaqi Abdullah, Lukman Mahbubi, Ken Anggara, Ade Ubadillah dkk.

Nuansa yang diciptakan antologi tersebut cukup mencekam, karena begitu banyak penolakan terhadap mahluk paling sexy abad ini. Yakni KORUPTOR.  Puisi Menolak Korupsi terdiri dari 2 jilid, atau apalah sebutannya untuk penerbitan PMK kedua ini. Barangkali lantaran saking banyaknya penyair yang turut berpartisipasi di dalamnya. Juga layak disambut gembira karena hal ini menandakan betapa penyair masih melek keadaan. Terlepas dari hal-hal lain yang terlampau transcendence jika dirogoh terlalu dalam. Bahkan jika dipaksakan akan melahirkan ketidakmendasaran dan lenyapnya kebermaknaan. Paling tidak ada ucapan dan tindakan untuk menolak prilaku paling mengiblis sejagad Indonesia itu. Menyoal hasil bukan urusan manusia, yang penting berjalan saja dengan lurus dan maksimalkan kecerdasan emosional dalam menanggapi wacana dan pergerakan.

Puisi-puisi di dalamnya menyoroti dunia KORUPTOR yang tentunya berbasis KORUPSI begitu berkelindan. Menawarkan kemarahan, kekecewaan, kebencian, pencerahan, pembenaran, penyalahan, dan sebagainya dan sebagainya. Dengan banyaknya penyair dari lintas usia dan latar belakang sosial, budaya, serta agama. Tak pelak melahirkan macam-macam pengamsalan  untuk menggambarkan betapa buruknya wajah KORUPTOR yang sudah dengan sukses dan gembira menyengsarakan rakyat Indonesia. Maklum saja, penyair memang jagonya membuat pengamsalan untuk hal-hal yang dianggap biasa agar lebih menetak di ulu nadi pembaca. Semisal yang ditulis oleh Ahmadun Yossi Herfanda pada bait pertama:

suatu hari di negeri yang baru 68 tahun merdeka
uang telah menjadi agama. jidat-jidat orang
bergambar rupiah, puser dan kemaluan
pun memanggil-manggil euro dan dollar

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, SUATU HARI DI NEGERI YANG BARU 68 TAHUN MERDEKA, halaman 80)

Bacalah! Betapa Ahmadun menulis sedemikian detailnya. Dari hari hingga tahun ditulis. Bukan tanpa sebab, ini dapat dimaknai sebagai bentuk kesaksian yang jelas. Sama dengan pembuatan akte kelahiran bahwa si Fulan bin Fulan lahir hari sekian, tanggal sekian, dan tahun sekian. Bedanya, akte kelahiran bukan puisi dan puisi buka akte kelahiran. Di bait pertama Ahmadun memberikan satu gambaran keadaan sosial dan psikologis kelompok tertentu. Di mana uang telah jadi berhala yang disembah-sembah. Biasanya soal harta tidak jauh dari soal-soal tahta dan wanita. Bagi wanita tahta dan laki-laki muda (berondong).  Persoalan-persoalan yang dihadapi sekarang ini memang sangat kompleks, hal tersebut yang membuat Ahmadun menjejalkan simbol-simbol di dalam puisinya seperti, ‘puser dan kemaluan/pun memanggil-manggil euro dan dollar’. Sejalan dengan Ahmadun, Golagong yang menurut pengakuannya mulai kembali ke dunia puisi, mengamsalkan geliat koruptor yang manis menggoda itu dengan kucing yang memangsa ikan. Semoga bukan ikan asin apa lagi ikan busuk tak layak makan. Walau sesungguhnya kucing jauh lebih mulia dibandingkan koruptor, begini Gong menulis:

Manusia dan kucing berebut ikan
Ikan-ikan terkapar tak berdaya.

Ikan di meja makan milik manusia.
Kucing cakar berebut kepala ikan.

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, IKAN, KUCING, DAN MANUSIA, halaman 320)

Baik puisi Ahmadun maupun puisi Golagong sama-sama menyuguhkan ironisme berbaur dengan elegi kecintaan pada negeri. Antara yang memangsa dan dimangsa. Siapa kuat jadi pemangsa dan yang lemah adalah korban yang harus rela jadi mangsa. Pada akhir larik dalam puisi yang sama ada yang menggelitik ditulis Golagong:

Tak ada lagi manusia
di muka bumi
Tak ada
manusia
lagi.

Menggelitik sebab saya meyakini, bumi ini masih dihuni oleh manusia. Barangkali di antara manusia itu adalah sekumpulan penyair yang manusiawi—memanusiakan manusia dan tentunya tulus. Meski tidak menutup kemungkinan di antara koruptor dan penjahat itu juga ada penyair.   

Dari banjaran penyair muda, di antaranya Ayat Kalili. Pemuda Jawa Timur yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sastra ini tidak lagi menulis pengamsalan, meski di dalamnya ada pengamsalan. Ia menulis seolah bicara langsung kepada si penguasa (penguasa hari ini dikaitkan dengan koruptor). Begini cara Ayat menegur penguasa secara langsung (tidak dapat dipastikan puisi Ayat ini dibaca oleh yang dituju):

bagaimana jika bencana datang dari atas. dari tanganmu sendiri.

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, Kepada Penguasa, halaman 09)

Ada ancaman yang dimungkinkan dengan kata ‘jika’ di dalam larik pembuka puisi tersebut. Sebagai seorang santri sepertinya Ayat tahu benar apa itu yang dimaksud kerusakan bumi dan langit yang disebabkan oleh tangan manusia. Dalam puisinya kentara sekali pesan-pesan tersebut. Persoalannya,  pertanyaan sejenis itu apakah efektif di tengah kegentingan?  Biarkan saja waktu atau lumut di kolam renang yang menjawab.  Masih di banjaran penyair muda. Riyanto, pemuda Jawa Tengah yang kesehariannya benar-benar bergulat dengan kerasnya kehidupan, rupanya sudah sangat geram dengan prilaku binatang-binatang peliharaan istana itu. Sejalan dengan Ayat Kalili ia pun mengajukan sebuah pertanyaan. Bedanya pertanyaan diajukan lebih tegas:

“jika benar korupsi telah mendarah daging
apakah mungkin, darah itu dipisahkan dengan daging?”

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, DARAH DAGING PUISI, halaman 194)

Pertanyaan Riyanto  sebenarnya mudah saja dijawab. Dengan catatan hukuman mati bagi para koruptor dijalankan di negeri Indonesia Raya yang dicintai ratusan juta rakyatnya! Jika belum berani jawabannya adalah TIDAK MUNGKIN. Dua larik di bait penutup ini yang paling menarik dari puisinya, sedang larik sebelumnya terasa getir dan gemetar. Selebihnya oke.

Dimas Indianto S(enja) turut memberikan warna. Pola deskriptif rupanya dipilih untuk menggambarkan betapa menyedihkannya keadaan negeri ini. Negeri yang lukanya diciptakan oleh tangannya sendiri.  Meski penyair muda yang sedang menjalani program S.2 ini identik dengan puisi-puisi romantis berbunga-bunga, penuh hujan, dan berbulan. Nyatanya ia sanggup menulis puisi miris dan mengiris:

ada luka di tubuh kita, menjelma ayat kesakitan
merobek seluruh nadi yang pernah kau kumpulkan
mengalirkan mata air, air mata yang tak berkesudahan

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, ada luka di tubuh kita, halaman 222)

Pengambaran tentang ‘ada luka’ itu menjadi masuk dalam diri pembaca karena menggunakan kata ganti ‘kita’. Walau cukup bosan juga dengan penggunaan ‘mata air—air mata’ yang kerap digunakan semenjak digunakan oleh Sutardji. Serta kebingungan, nadi apa yang dikumpulkan? Terlepas dari hal tersebut, Dimas berhasil membuat pembaca turut berduka, turut merasakan pedihnya. Mengingat tidak sedikit yang mati rasa dan memilih untuk jadi apatis.

Sus Setyowati Hardjono mewakili sekian nama penyair perempuan yang tergabung dalam PMK. Sebagai perempuan ia menulis dengan perkasa sekaligus menyerikan hati. Penyair yang aktif di Dewan Kesenian Sragen ini memang terbilang penyair perempuan paling produktif dan reaktif terhadap pergerakan sastra. Tidak tanggung-tanggung beberapa perhelatan ia sendiri yang membidani. Salah satunya ‘Habis Gelap Terbitlah Sajak’ yang akan digelar pada Desember mendatang.  Di akhir bait yang hanya berisi satu larik ia menulis:

kami adalah pemburu berlian di tengah sampah kemiskinan…

(Antologi Puisi Menolak Korupsi, TUJUH KETURUNAN, halaman 277)

Ironis! Dalam bahasa yang sedemikian tegas dan tampak tegar ada kemusykilan yang senyata-senyatanya membikin bait penutup ini terasa mengerikan. Bagaimana bisa berburu berlian di tengah sampah? Yang ada di antara sampah-sampah itu hanya pemulung yang hidupnya serba tiada. Serba menunggu antara bertahan hidup atau dikalahkan oleh kehidupan. Sus benar-benar telah membuat penutup puisi yang kuat. Meski saya tidak dapat memastikan penggunaan ellipsis (…) di akhir larik yang hanya berjumlah tiga itu sudah benar atau tidak. Mengingat fungsinya jika dilihat dari aspek kebahasaan.

Masih banyak lagi dengung dan degung suara di dalam antologi Puisi Menolak Korupsi. Dari sabang sampai marauke menyatukan penolakan. Pergerakan yang layak diacungi jempol. Hanya tantangan tidak selesai sampai di sana. Sanggupkan antologi Puisi Menolak Korupsi memberikan dorongan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk bersama-sama menolak korupsi. Atau nasibnya hanya akan didengar oleh sesama penyair yang bergabung di dalamnya. Sebelum akhirnya menjadi bagian dari buku-buku yang menumpuk di rak penuh debu. Tentu kita semua selalu punya harapan untuk kebermanfaatan. Salam.

Cilegon, 2013

*) Muhammad Rois Rinaldi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.