Oleh Badaruddin Amir
Kadang saya berpikir hukuman penjara dua sampai tiga tahun bagi seorang koruptor kelas kakap tidak akan menimbulkan efek jera kepada mereka, apalagi dengan adanya remisi-remisian dari pemerintah. Gagasan “pemiskinan” yang sempat mencuat pada beberapa diskusi bertema “menolak korupsi” dengan melakukan perampasan kekayaannya yang tentunya dilakukan oleh negara, juga tidaklah terlalu efektif dan bahkan bisa tidak manusiawi jika dilihat dari kacamata HAM. Karena bagaimana pun juga susah memilah antara kekayaan halal dan kekayaan haram bagi seorang pelaku korupsi saat semua kekayaannya sudah berbaur. Undang-undang pencucian uang (money laundry) saja masih pro-kontra terhadap masalah ini. Dan kalaupun tindak pencucian uang jejaknya bisa terdeteksi, bukankah sang aktor dapat mencari kekayaan baru pasca menjalani hukuman yang tentunya tidak bisa lagi dirampas untuk negara dengan alasan pencucian uang.
Kadang saya berpikir hukuman penjara dua sampai tiga tahun bagi seorang koruptor kelas kakap tidak akan menimbulkan efek jera kepada mereka, apalagi dengan adanya remisi-remisian dari pemerintah. Gagasan “pemiskinan” yang sempat mencuat pada beberapa diskusi bertema “menolak korupsi” dengan melakukan perampasan kekayaannya yang tentunya dilakukan oleh negara, juga tidaklah terlalu efektif dan bahkan bisa tidak manusiawi jika dilihat dari kacamata HAM. Karena bagaimana pun juga susah memilah antara kekayaan halal dan kekayaan haram bagi seorang pelaku korupsi saat semua kekayaannya sudah berbaur. Undang-undang pencucian uang (money laundry) saja masih pro-kontra terhadap masalah ini. Dan kalaupun tindak pencucian uang jejaknya bisa terdeteksi, bukankah sang aktor dapat mencari kekayaan baru pasca menjalani hukuman yang tentunya tidak bisa lagi dirampas untuk negara dengan alasan pencucian uang.
Dengan begitu yang diharap dapat memberi
sanksi kepada koruptor adalah hukum adat. Hukum yang tidak terundangkan
namun punya kekuatan mengusik kehormatan seorang pelaku kejahatan.
Pemerkosaan, pelecehan sexual, pencurian, pelanggaran tata susila dan
sebagainya, yang kemudian mendapatkan sanksi hukum adat, akan mendera
pelaku sampai ke anak-cucunya. Ia akan dikucilkan oleh masyarakat.
Tetapi hukum adat adalah antarpologi budaya yang belum mencatat
kata-kata “koruptor”, dan “money laundry” dalam perbendaharaan bahasa
hukumnya, sehingga korupsi dan pencucian uang sebagai pelaku dan bentuk
kejahatan belum ada dalam kamus adat-istiadat berbagai suku bangsa. Dan
andai pun “korupsi” dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk
pelanggaran adat yang layak mendapat sanksi hukum adat, para koruptor
juga masih tertawa-tawa. Masalahnya hukum adat pun masih sangat kecil
untuk bemberi sanksi pada tindak kejahatan korupsi yang sifatnya sudah
berskala nasional ini.
Harapan kita tinggal pada media
massa (berita) yang kita baca dan tonton setiap hari -- akan membuat
jera para pelaku korusi, memang menjadi satu-satunya harapan kita kini.
Banyak oknum yang mungkin saja bisa lolos dari jeratan hukum karena
kelihaian dan keahliann bermain mata dengan oknum penegak hukum, tapi
tidak akan dapat menghindari kekuatan berita. Oknum-oknum pejabat yang
melakukan tindak kejahatan korusi dan terekspose di media massa akan
menjadi “hukum adat” yang mendera kehormatannya –bahkan berimbas pula
kepada keluarga dan anak cucunya. Hanya saja sayangnya, sifat berita
yang ”hot” hari ini akan cepat terlupakan setelah tertimbun sekian
berita lain yang lebih “hot” lagi di esok hari. Apalagi jika dengan
sengaja ada yang merancang sebuah skenario pengalihan isu. Karena itulah
selain “berita” kita memang membutuhkan juga “cerita”. Cerita tidak
akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru, juga tidak akan tertimbun dengan
cerita-cerita baru yang lain. Sifat sebuah cerita akan selalu
berdampingan dengan cerita lainnya. Sehingga begitulah novel-novel yang
baik, cerpen-cerpen yang baik dan puisi-puisi yang baik tidak akan
tertimbun oleh novel-novel, cerpen-cerpen dan puisi-puisi baru yang
lain. Kejahatan-kejahatan korupsi yang terekam dalam “cerita” sudah
pasti akan lebih langgeng untuk dikenang. Anak cucu kita kelak yang
tidak sempat membaca berita tentang kejahatan korupsi karena peristiwa
tersebut tidak sezaman dengannya, masih akan dapat membacanya melalui
“cerita-cerita” yang telah dibukukan yang ditemukannya di rak-rak
perpustakaan sekolahnya. Mereka akan memperoleh informasi tentang
kejahatan korupsi dan karena itu akan mempengaruhi mentalnya untuk
“melawan korupsi”.
Puisi memang bukan satu-satunya genre
sastra yang dapat bercerita tentang korupsi. Novel, cerpen, dan
lain-lain juga adalah media yang dapat mengambil bagian dalam memerangi
korupsi. Pramudya Anantatoer, Mochtar Lubis, dan Ahmad Tohari dan banyak
sastrawan lainnya telah melakukan hal tersebut dalam karya-karya
mereka. Tapi di antara genre sastra ini, puisi memang mungkin yang
paling unik dan efektif untuk menuliskan “cerita” tentang korupsi ini.
Saya yakin “cerita” tentang korupsi yang dikemas dalam bentuk puisi akan
selalu menarik untuk dibaca di mana dan kapan saja. Puisi dapat dibaca
dan sekaligus dibacakan di lokasi-lokasi road show, di terminal menunggu
bus, di dalam KA, di atas udara saat naik pesawat, di
perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, dan di dalam
kamar saat sendiri atau bersama istri.
Tapi sebagaimana
karya-karya sastra lainnya, puisipun hanya akan menyampaikan pesan moral
dan tak mampu memberikan sanksi hukum kepada oknum tertentu yang telah
melakukan tindak kejahatan korupsi karena karya sastra adalah “lebah
tanpa sengat” (pinjam istilah sapardi Joko Damoni). Andil-nya hanya pada
gerakan moral pemerangi korupsi dan dipandang tidak efektif memberikan
sanksi atau hukuman bagi oknum-oknum yang telah melakukan korupsi.
Lihatlah misalnya pesan yang disampaikan puisi berikut ini :
KORUPSI (4)
sungguhpun korupsi sebuah pekerjaan haram
yang dikutuk sumpahi banyak orang
namun tak seorangpun yang berani mengejar koruptor
dengan parang atau pentungan seperti maling ayam
atau copet di pasar tanah abang
koruptor tak akan terkejar karena ia berkendara
menggunakan Bentley GT Sport yang perkasa
jadi bagaimana mungkin kamu yang di bawah
bisa ikut mengadili para koruptor kita
mengumpat pun sungguh tak berguna
juga demonstrasi anti korupsi di mana-mana
atau membuat sejuta puisi tentang mereka
bagi mereka tak ada gunanya
kami baik-baik saja, kata mereka,
tak perlu kami disambut meriah
dengan pesta demonstrasi atau baca puisi
kami hanya perlu melakukan kewajiban
bertindak sebagai pahlawan
lalu kami akan bagi-bagi uang
terutama kepada orang-orang yang lemah
seperti janda-janda dan juga anak perempuan
yang masih kuliah
mereka sungguh membutuhkan pertolongan
jadi tenanglah mumpung kami masih ada.
sungguh korupsi sudah mencemarkan bangsa ini
dan kita telah memberi ruang sebesar-besarnya
karena mereka dibiarkan sebebas-bebasnya
dan negara hanya menyiapkan lembaga pemberantasannya
namun menjatuhkan hukun seringan-ringannya
setelah itu anak-anak kita pun dipaksa
mendoakan mereka dalam setiap upacara resmi sekolah :
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa para pemimpin kami”
yang seharusnya ditambah : “kecuali yang korupsi”
Barru 2013
Puisi
ini tidak dimaksudkan memiliki sasaran tembak kepada oknum tertentu
yang telah melakukan korupsi, kecuali bisa diterima sebagai sebuah pesan
moral bahwa korupsi ini sungguh-sungguh jahat dan karena itu harus
diberantas dari bumi nusantara yang kita cintai ini.
Tapi
sadarkah kita bahwa sebenarnya Sapardi Joko Damono juga bisa salah dalam
merumuskan peran karya sastra hanya sebagai “lebah tanpa sengat” ?
Bahwa puisi maupun karya-karya sastra lainnya sebenarnya bisa saja
memiliki kekuatan sengat yang luar biasa dan dapat memberi
sanksi yang menyamai sangksi hukum adat nenek moyang kita dalam
mengucilkan para pelaku kejahatan tempo dulu. Puisi dapat saja dibuat
menohok “oknum pejabat” tertentu yang telah melakukan tindakan kejahatan
korupsi untuk memberi efek jera, tanpa melanggar kode etik ataupun
praduga tak bersalah. Kalau para wartawan memiliki sandaran UU Pokok
Pers, sebenarnya penyair pun juga memiliki sandaran ‘licensia potika’,
meski sifatnya hanyalah sandaran moral yang tak memiliki kekuatan hukum
positif. Tapi UU Pokok Pers pun dapat menjadi sandaran bagi penyair saat
karya-karya puisinya terpublikasi melalui media pers.
Saya
bahkan berpikir sekarang bahwa sesungguhnya puisi itu dapat menjadi
cambuk yang mendera oknum pelaku korupsi. Puisi dapat memberikan hukuman
moral kepada para pelaku korupsi yang sama dengan hukum adat dan akan
membuat pelakunya menyesal seumur hidup. Caranya kita buat saja puisi
itu lebih khusus mengekspos “modus operandi” kejahatan korupsi yang
dilakukan oleh oknum tertentu tanpa menyebut nama oknum yang
bersangkutan. Katakanlah misalnya korupsi kuota daging sapi yang
detilnya berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lain, maka orang akan
mengetahui koruptor siapa yang kita maksud dalam puisi itu. Demikian
dengan para koruptor lain misalnya yang terlibat dalam kasus Hambalang,
Bank Sentury dan lain-lain. Dengan puisi-puisi seperti itu maka meski
pelakunya telah melakukan bedah plastik agar tak dikenali wajahnya,
tetap saja perbuatannya akan ketahuan sepanjang hayat karena karya
sastra tidak akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru. Anak-anak kita akan
bertanya pejabat siapakan yang telah digambarkan begitu “puitis” sebagai
pelaku korupsi, dan sejarahpun akan mencatat tokoh-tokoh korupsi yang
terkenal di Indonesia karena sudah terdokumentasi dengan rapi dalam
puisi. Dan saya kira di sinilah letak “sengat” puisi yang paling
berbahaya.
Tinggal sekarang
yang dicari adalah para penyair yang mampu menggambarkan profil koruptor
dan menuliskannya dalam bahasa plastis yang tidak melanggar beberapa
kode etik. (Badaruddin Amir)
Sumber: Facebook PMK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.