Sabtu, 17 Agustus 2013

Puisi dan Efektifitas Sanksi Hukum bagi Koruptor

Oleh Badaruddin Amir

Kadang saya berpikir hukuman penjara dua sampai tiga tahun bagi seorang koruptor kelas kakap tidak akan menimbulkan efek jera kepada mereka, apalagi dengan adanya remisi-remisian dari pemerintah. Gagasan “pemiskinan” yang sempat mencuat pada beberapa diskusi bertema “menolak korupsi” dengan melakukan perampasan kekayaannya yang tentunya dilakukan oleh negara, juga tidaklah terlalu efektif dan bahkan bisa tidak manusiawi jika dilihat dari kacamata HAM. Karena bagaimana pun juga susah memilah antara kekayaan halal dan kekayaan haram bagi seorang pelaku korupsi saat semua kekayaannya sudah berbaur. Undang-undang pencucian uang (money laundry) saja masih pro-kontra terhadap masalah ini. Dan kalaupun tindak pencucian uang jejaknya bisa terdeteksi, bukankah sang aktor dapat mencari kekayaan baru pasca menjalani hukuman yang tentunya tidak bisa lagi dirampas untuk negara dengan alasan pencucian uang.

Dengan begitu yang diharap dapat memberi sanksi kepada koruptor adalah hukum adat. Hukum yang tidak terundangkan namun punya kekuatan mengusik kehormatan seorang pelaku kejahatan. Pemerkosaan, pelecehan sexual, pencurian, pelanggaran tata susila dan sebagainya, yang kemudian mendapatkan sanksi hukum adat, akan mendera pelaku sampai ke anak-cucunya. Ia akan dikucilkan oleh masyarakat. Tetapi hukum adat adalah antarpologi budaya yang belum mencatat kata-kata “koruptor”, dan “money laundry” dalam perbendaharaan bahasa hukumnya, sehingga korupsi dan pencucian uang sebagai pelaku dan bentuk kejahatan belum ada dalam kamus adat-istiadat berbagai suku bangsa. Dan andai pun “korupsi” dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk pelanggaran adat yang layak mendapat sanksi hukum adat, para koruptor juga masih tertawa-tawa. Masalahnya hukum adat pun masih sangat kecil untuk bemberi sanksi pada tindak kejahatan korupsi yang sifatnya sudah berskala nasional ini.

Harapan kita tinggal pada media massa (berita) yang kita baca dan tonton setiap hari -- akan membuat jera para pelaku korusi, memang menjadi satu-satunya harapan kita kini. Banyak oknum yang mungkin saja bisa lolos dari jeratan hukum karena kelihaian dan keahliann bermain mata dengan oknum penegak hukum, tapi tidak akan dapat menghindari kekuatan berita. Oknum-oknum pejabat yang melakukan tindak kejahatan korusi dan terekspose di media massa akan menjadi “hukum adat” yang mendera kehormatannya –bahkan berimbas pula kepada keluarga dan anak cucunya. Hanya saja sayangnya, sifat berita yang ”hot” hari ini akan cepat terlupakan setelah tertimbun sekian berita lain yang lebih “hot” lagi di esok hari. Apalagi jika dengan sengaja ada yang merancang sebuah skenario pengalihan isu. Karena itulah selain “berita” kita memang membutuhkan juga “cerita”. Cerita tidak akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru, juga tidak akan tertimbun dengan cerita-cerita baru yang lain. Sifat sebuah cerita akan selalu berdampingan dengan cerita lainnya. Sehingga begitulah novel-novel yang baik, cerpen-cerpen yang baik dan puisi-puisi yang baik tidak akan tertimbun oleh novel-novel, cerpen-cerpen dan puisi-puisi baru yang lain. Kejahatan-kejahatan korupsi yang terekam dalam “cerita” sudah pasti akan lebih langgeng untuk dikenang. Anak cucu kita kelak yang tidak sempat membaca berita tentang kejahatan korupsi karena peristiwa tersebut tidak sezaman dengannya, masih akan dapat membacanya melalui “cerita-cerita” yang telah dibukukan yang ditemukannya di rak-rak perpustakaan sekolahnya. Mereka akan memperoleh informasi tentang kejahatan korupsi dan karena itu akan mempengaruhi mentalnya untuk “melawan korupsi”.

Puisi memang bukan satu-satunya genre sastra yang dapat bercerita tentang korupsi. Novel, cerpen, dan lain-lain juga adalah media yang dapat mengambil bagian dalam memerangi korupsi. Pramudya Anantatoer, Mochtar Lubis, dan Ahmad Tohari dan banyak sastrawan lainnya telah melakukan hal tersebut dalam karya-karya mereka. Tapi di antara genre sastra ini, puisi memang mungkin yang paling unik dan efektif untuk menuliskan “cerita” tentang korupsi ini. Saya yakin “cerita” tentang korupsi yang dikemas dalam bentuk puisi akan selalu menarik untuk dibaca di mana dan kapan saja. Puisi dapat dibaca dan sekaligus dibacakan di lokasi-lokasi road show, di terminal menunggu bus, di dalam KA, di atas udara saat naik pesawat, di perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, dan di dalam kamar saat sendiri atau bersama istri.

Tapi sebagaimana karya-karya sastra lainnya, puisipun hanya akan menyampaikan pesan moral dan tak mampu memberikan sanksi hukum kepada oknum tertentu yang telah melakukan tindak kejahatan korupsi karena karya sastra adalah “lebah tanpa sengat” (pinjam istilah sapardi Joko Damoni). Andil-nya hanya pada gerakan moral pemerangi korupsi dan dipandang tidak efektif memberikan sanksi atau hukuman bagi oknum-oknum yang telah melakukan korupsi. Lihatlah misalnya pesan yang disampaikan puisi berikut ini :

KORUPSI (4)

sungguhpun korupsi sebuah pekerjaan haram
yang dikutuk sumpahi banyak orang
namun tak seorangpun yang berani mengejar koruptor
dengan parang atau pentungan seperti maling ayam
atau copet di pasar tanah abang

koruptor tak akan terkejar karena ia berkendara
menggunakan Bentley GT Sport yang perkasa
jadi bagaimana mungkin kamu yang di bawah
bisa ikut mengadili para koruptor kita

mengumpat pun sungguh tak berguna
juga demonstrasi anti korupsi di mana-mana
atau membuat sejuta puisi tentang mereka
bagi mereka tak  ada gunanya

kami baik-baik saja, kata mereka,
tak perlu kami disambut meriah
dengan pesta demonstrasi atau baca puisi
kami hanya perlu melakukan kewajiban
bertindak sebagai pahlawan
lalu kami akan bagi-bagi uang
terutama kepada orang-orang yang lemah
seperti  janda-janda dan juga anak perempuan
yang masih kuliah
mereka sungguh membutuhkan pertolongan
jadi  tenanglah mumpung kami masih ada.

sungguh korupsi  sudah mencemarkan bangsa ini
dan kita telah memberi  ruang sebesar-besarnya
karena mereka dibiarkan sebebas-bebasnya
dan negara hanya menyiapkan lembaga pemberantasannya
namun  menjatuhkan  hukun seringan-ringannya

setelah itu anak-anak kita pun dipaksa
mendoakan mereka  dalam setiap upacara resmi sekolah  :
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa para pemimpin kami”
yang seharusnya ditambah : “kecuali yang korupsi”

Barru 2013

Puisi ini tidak dimaksudkan memiliki sasaran tembak kepada oknum tertentu yang telah melakukan korupsi, kecuali bisa diterima sebagai sebuah pesan moral bahwa korupsi ini sungguh-sungguh jahat dan karena itu harus diberantas dari bumi nusantara yang kita cintai ini.

Tapi sadarkah kita bahwa sebenarnya Sapardi Joko Damono juga bisa salah dalam merumuskan peran karya sastra hanya sebagai “lebah tanpa sengat” ? Bahwa puisi maupun karya-karya sastra lainnya sebenarnya bisa saja memiliki  kekuatan sengat yang luar biasa dan dapat memberi sanksi yang menyamai sangksi hukum adat nenek moyang kita dalam mengucilkan para pelaku kejahatan tempo dulu. Puisi dapat saja dibuat menohok “oknum pejabat” tertentu yang telah melakukan tindakan kejahatan korupsi untuk memberi efek jera, tanpa melanggar kode etik ataupun praduga tak bersalah. Kalau para wartawan memiliki sandaran UU Pokok Pers, sebenarnya penyair pun juga memiliki sandaran ‘licensia potika’, meski sifatnya hanyalah sandaran moral yang tak memiliki kekuatan hukum positif. Tapi UU Pokok Pers pun dapat menjadi sandaran bagi penyair saat karya-karya puisinya terpublikasi melalui media pers.

Saya bahkan berpikir sekarang bahwa sesungguhnya puisi itu dapat menjadi cambuk yang mendera oknum pelaku korupsi. Puisi dapat memberikan hukuman moral kepada para pelaku korupsi yang sama dengan hukum adat dan akan membuat pelakunya menyesal seumur hidup. Caranya kita buat saja puisi itu lebih khusus mengekspos “modus operandi” kejahatan korupsi yang dilakukan oleh oknum tertentu tanpa menyebut nama oknum yang bersangkutan. Katakanlah misalnya korupsi kuota daging sapi yang detilnya berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lain, maka orang akan mengetahui koruptor siapa yang kita maksud dalam puisi itu. Demikian dengan para koruptor lain misalnya yang terlibat dalam kasus Hambalang, Bank Sentury dan lain-lain. Dengan puisi-puisi seperti itu maka meski pelakunya telah melakukan bedah plastik agar tak dikenali wajahnya, tetap saja perbuatannya akan ketahuan sepanjang hayat karena karya sastra tidak akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru. Anak-anak kita akan bertanya pejabat siapakan yang telah digambarkan begitu “puitis” sebagai pelaku korupsi, dan sejarahpun akan mencatat tokoh-tokoh korupsi yang terkenal di Indonesia karena sudah terdokumentasi dengan rapi dalam puisi. Dan saya kira di sinilah letak “sengat” puisi yang paling berbahaya.   

Tinggal sekarang yang dicari adalah para penyair yang mampu menggambarkan profil koruptor dan menuliskannya dalam bahasa plastis yang tidak melanggar beberapa kode etik. (Badaruddin Amir)

Sumber: Facebook PMK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.