Minggu, 20 Desember 2015

Buku PMK Jilid 5: EMANSI'SAPI' KORUPSI

Sumber gambar.

EMANSI'SAPI' KORUPSI

Hanya lantaran (secara tidak sengaja) sang putra mahkota menyampar barang tak bertuan yang tergeletak di jalanan ibu kota, belakangan atas nama undang-undang Kerajaan Kalingga, Putri Shima menetapkan hukuman potong kaki bagi si penyampar yang tak lain adalah pewaris kerajaannya kelak. Ajaibnya, hukuman itu ternyata masih kurang sesuai dengan keinginan penguasa kerajaan yang konon terletak di pantai utara Pulau Jawa (sekitar abad ke 7 Masehi) tersebut. Awalnya isteri Kartikeyasingha itu menitahkan agar pengusik hak milik orang lain tersebut dijatuhi hukuman mati. Maka jika bukan karena penolakan keras para menterinya, pasti putri keturunan pendeta yang berasal dari wilayah Sriwijaya tersebut sudah rela menghabisi nyawa darah dagingnya, sebagai konsekwensi logis atas sikapnya untuk menegakkan hukum di seluruh penjuru kerajaan tanpa pandang bulu.

Selain Maharani Shima, peran perempuan sebagai pengendali kekuasaan pemerintahan di masa lalu juga mencapai keemasannya saat Tribhuwana Tunggadewi memegang pucuk pimpinan di Majapahit. Di bawah pemerintahannya, kerajaan rintisan Raden Wijaya yang berdiri di wilayah Jawa Timur itu berhasil menaklukkan Pejeng, Dalem Bedahulu (kerajaan yang terletak di Pulau Bali) dan seluruh wilayah Bali. Tak hanya sampai di situ Tribhuwana juga sukses menaklukkan Kerajaan Melayu di Pulau Sumatera. Perempuan yang naik tahta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara tersebut secara heroik bahkan mampu menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Kerta yang meletus tahun 1331. Malah sebagaimana termaktub di Pararaton ia sendirilah yang menjadi panglima perang memimpin pasukannnya secara langsung saat menggempur Sadeng.

Meski yang tercatat dalam halaman sejarah hanya beberapa gelintir, namun dari masa ke masa perjuangan para wanita di berbagai bidang dan wilayah kehidupan terbukti kerap melampaui batas-batas kewajaran pada jamannya. Tak jarang di antara mereka malah kuasa mendobrak sekat-sekat kemapanan gender yang hendak melanggenggkan perbedaan posisi dan peran manusia sesuai dengan jenis kelaminnya. Barangkali lantaran arus sejarah yang keruhlah berjibun nama wanita pejuang kehidupan semacam itu jarang terunggah ke permukaan.

Di akhir abad ke 19 perjuangan RA (Raden Ajeng) Kartini dicatat dan diakui paling berpengaruh dalam merubah tata nilai dan norma kehidupan sehari-hari, utamanya terkait dengan gagasan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan hingga sekarang putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara) yang lahir 21 April 1879 itu dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan. Lewat gagasannya ia tergerak untuk membekali kaumnya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan di sekolah khusus perempuan yang ia buka di rumahnya. Sejak itu namanya kian ditasbihkan sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Hari lahirnya pun dirayakan secara khusus untuk menandai moment kebangkitan kaum perempuan yang terus berjuang agar kedudukan mereka setara dengan kaum pria.

Namun perjuangan kaum perempuan yang penuh lompatan-lompatan fantastis di masa lalu itu seolah runtuh bahkan hancur lebur manakala sejarah di abad-abad berikutnya malah memburaikan catatan hitam berisi tingkah polah para perempuan modern yang capaiannya bertolak belakang dengan prestasi pendahulunya. Ironisnya banyak di antara mereka yang cenderung kesandung serta terseret (cuma) oleh hal-hal rendah, nista, dan tak selamanya utama; harta!

Selain fakta terbongkarnya kasus korupsi gubernur wanita pertama di Indonesia (Ratu Atut Chosiyah; dilantik menjadi Gubernur Banten tahun 2007), catatan paling dramatis yang merontokkan peran utama srikandi-srikandi emansipasi di masa lalu adalah terbongkarnya skandal korupsi impor daging sapi Ahmad Fathanah (tahun 2013) yang melibatkan deretan panjang kaum perempuan hanya untuk menghamba sebagai obyek tindak pidana pencucian uang. Begitu pula halnya kasus korupsi dana Bantuan Sosial di Propinsi Sumatera Utara 2011-2013 (terbongkar 2015) yang disinyalir melibatkan isteri pejabat gubernur yang tengah berkuasa.

Tragis memang! Tapi demikanlah, emansipasi kini seperti tumbuh tak terkendali, gentayangan tak tentu arah tujuan. Ia kerap melesat zig zag dan jumpalitan ke berbagai wilayah sikap dan sistim nilai kehidupan, sembari berburu korban atas nama persamaan hak dan derajat. Itu semua seolah sah untuk mengamini makna emansipasi sebagai persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk persamaan hak antara kaum wanita dengan para pria (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu makna wanita sebagai penyeimbang suami dalam rumah tangga, cepat atau lambat kian tak dirumat. Bahkan makna wanita sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat generasi masa depan pun tetap tak mempan mencegat itikad para perempuan agar tidak nekat terlibat dalam emansipasi korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.