Hanya lantaran (secara tidak sengaja)
sang putra mahkota menyampar barang tak bertuan yang tergeletak di
jalanan ibu kota, belakangan atas nama undang-undang Kerajaan Kalingga,
Putri Shima menetapkan hukuman potong kaki bagi si penyampar yang tak
lain adalah pewaris kerajaannya kelak. Ajaibnya, hukuman itu ternyata
masih kurang sesuai dengan keinginan penguasa kerajaan yang konon
terletak di pantai utara Pulau Jawa (sekitar abad ke 7 Masehi) tersebut.
Awalnya isteri Kartikeyasingha itu menitahkan agar pengusik hak milik
orang lain tersebut dijatuhi hukuman mati. Maka jika bukan karena
penolakan keras para menterinya, pasti putri keturunan pendeta yang
berasal dari wilayah Sriwijaya tersebut sudah rela menghabisi nyawa
darah dagingnya, sebagai konsekwensi logis atas sikapnya untuk
menegakkan hukum di seluruh penjuru kerajaan tanpa pandang bulu.
Selain Maharani Shima, peran perempuan sebagai pengendali kekuasaan
pemerintahan di masa lalu juga mencapai keemasannya saat Tribhuwana
Tunggadewi memegang pucuk pimpinan di Majapahit. Di bawah
pemerintahannya, kerajaan rintisan Raden Wijaya yang berdiri di wilayah
Jawa Timur itu berhasil menaklukkan Pejeng, Dalem Bedahulu (kerajaan
yang terletak di Pulau Bali) dan seluruh wilayah Bali. Tak hanya sampai
di situ Tribhuwana juga sukses menaklukkan Kerajaan Melayu di Pulau
Sumatera. Perempuan yang naik tahta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun
1329 menggantikan Jayanagara tersebut secara heroik bahkan mampu
menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Kerta yang meletus tahun 1331.
Malah sebagaimana termaktub di Pararaton ia sendirilah yang menjadi
panglima perang memimpin pasukannnya secara langsung saat menggempur
Sadeng.
Meski yang tercatat dalam halaman sejarah hanya beberapa
gelintir, namun dari masa ke masa perjuangan para wanita di berbagai
bidang dan wilayah kehidupan terbukti kerap melampaui batas-batas
kewajaran pada jamannya. Tak jarang di antara mereka malah kuasa
mendobrak sekat-sekat kemapanan gender yang hendak melanggenggkan
perbedaan posisi dan peran manusia sesuai dengan jenis kelaminnya.
Barangkali lantaran arus sejarah yang keruhlah berjibun nama wanita
pejuang kehidupan semacam itu jarang terunggah ke permukaan.
Di
akhir abad ke 19 perjuangan RA (Raden Ajeng) Kartini dicatat dan diakui
paling berpengaruh dalam merubah tata nilai dan norma kehidupan
sehari-hari, utamanya terkait dengan gagasan kesejajaran antara
laki-laki dan perempuan. Bahkan hingga sekarang putri Raden Mas Adipati
Ario Sosroningrat (Bupati Jepara) yang lahir 21 April 1879 itu dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan. Lewat gagasannya ia tergerak
untuk membekali kaumnya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan di
sekolah khusus perempuan yang ia buka di rumahnya. Sejak itu namanya
kian ditasbihkan sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Hari
lahirnya pun dirayakan secara khusus untuk menandai moment kebangkitan
kaum perempuan yang terus berjuang agar kedudukan mereka setara dengan
kaum pria.
Namun perjuangan kaum perempuan yang penuh
lompatan-lompatan fantastis di masa lalu itu seolah runtuh bahkan hancur
lebur manakala sejarah di abad-abad berikutnya malah memburaikan
catatan hitam berisi tingkah polah para perempuan modern yang capaiannya
bertolak belakang dengan prestasi pendahulunya. Ironisnya banyak di
antara mereka yang cenderung kesandung serta terseret (cuma) oleh
hal-hal rendah, nista, dan tak selamanya utama; harta!
Selain
fakta terbongkarnya kasus korupsi gubernur wanita pertama di Indonesia
(Ratu Atut Chosiyah; dilantik menjadi Gubernur Banten tahun 2007),
catatan paling dramatis yang merontokkan peran utama srikandi-srikandi
emansipasi di masa lalu adalah terbongkarnya skandal korupsi impor
daging sapi Ahmad Fathanah (tahun 2013) yang melibatkan deretan panjang
kaum perempuan hanya untuk menghamba sebagai obyek tindak pidana
pencucian uang. Begitu pula halnya kasus korupsi dana Bantuan Sosial di
Propinsi Sumatera Utara 2011-2013 (terbongkar 2015) yang disinyalir
melibatkan isteri pejabat gubernur yang tengah berkuasa.
Tragis
memang! Tapi demikanlah, emansipasi kini seperti tumbuh tak terkendali,
gentayangan tak tentu arah tujuan. Ia kerap melesat zig zag dan
jumpalitan ke berbagai wilayah sikap dan sistim nilai kehidupan, sembari
berburu korban atas nama persamaan hak dan derajat. Itu semua seolah
sah untuk mengamini makna emansipasi sebagai persamaan hak di berbagai
aspek kehidupan masyarakat, termasuk persamaan hak antara kaum wanita
dengan para pria (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu
makna wanita sebagai penyeimbang suami dalam rumah tangga, cepat atau
lambat kian tak dirumat. Bahkan makna wanita sebagai ibu yang
mengandung, melahirkan, dan merawat generasi masa depan pun tetap tak
mempan mencegat itikad para perempuan agar tidak nekat terlibat dalam
emansipasi korupsi.
Sumber: Facebook Sosiawan Leak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.