Catatan Fakhrunnas MA Jabbar dari PMK XXIX di Kudus, Jateng
KUDUS- "Gerakan PMK ini kita biarkan saja mengalir terus. Tak perlu
dibatasi. Ini memang gerakan tiada akhir dalam menolak praktik dan
tindakan korup di negeri. Gerakan ini ditentukan oleh semua anggota
komunitas. Saya hanya koordinator. Oleh sebab itu, saya pun tak punya
kekuatan untuk menentukan PMK ini harus bagaimana. PMK ini menjadi milik
dan tanggungjawab kita bersama."
Pernyataan itu diungkapkan
Koordinator Puisi Menolak Korupsi (PMK), Sosiawan Leak ketika menjadi
salah satu pembicara pada sesi diskusi dalam rangkaian kegiatan PMK
XXIX di Kudus, Jateng, 5 April 2015.
Suasana aula Universitas
Muria Kudus (UMK), Minggu malam itu terlihak semarak dan meriah.
Ratusan orang duduk lesehan menghadap panggung yang dibalut
potongan-potongan kain hitam dengan terpaan lampu panggung warna-warni.
Ada sebuah patung kain yang berdiri tergantung di dahan pepohonan.
Kesannya menjadi lebih mencekam dan magis.
Begitulah kegairahan
para penyair dalam menyediakan diri selaku 'tuan rumah' kegiatan PMK
secara bergiliran memberikan kesan, pesan dan suasana beragam yang
menarik bila dihayati.
Kadangkala kegiatan PMK itu tampil meriah
dan digelar di aula hotel atau gedung universitas. Tapi tak jarang
pula kegiatan itu dilakukan di tengah-tengah pesantren atau ruang kelas
sekolah.
Namun, satu hal yang membanggakan hati, demi
terselenggaranya kegiatan PMK itu, pihak panitia yang menjadi inisiator
menyelenggarakan kegiatan dengan semangat volunterisme (kerelawanan).
Bila
tak ada sponsor yang yang didapatkan, harus rela merogok kocek sejumlah
orang yang terlibat dengan peristiwa kepenyairan itu. Begitu pula,
kegiatan PMK ini 'ditumpangkan' dengan kegiatan seni budaya yang digelar
oleh institusi pemerintah yang benar-benar memiliki dana yang cukup.
Puncak
keabsahan PMK sebagai gerakan moral yang simultan dalam ikut
menyebarluaskan semangat antikorupsi lewat panggung baca puisi dan
pementasan puisi ketika PMK digelar di Gedung KPK tahun 2013 silam.
Waktu
itu sejumlah pimpinan KPK yang diketuai Abraham Samad hadir dan
menyatakan suka-citanya soal gerakan para penyair dalam menyuarakan
antikorupsi. Ikut pula hadir waktu itu penyair Taufiq Ismail dan Eka
Budianta beserta seratus lebih penyair penggiat PMK termasuk Sosiawan
Leak sendiri.
Baca Puisi Penuh Warna
Satu persatu
para penyair yang berdatangan dari sejumlah kota di Indonesia didaulat
tampil membacakan puisi. Sudah pasti, tema puisi-puisi yang disajikan
penuh aromatika korupsi. Setidak-tidaknya itulah perwujudan penyair
membenci korupsi dengan segala seluk-beluknya yag masih marak di negeri
ini.
Satu hal lain yang juga menarik dicermati melalui panggung
PMK itu, para penyair lintas generasi pun bertemu. Boleh jadi, 'Abah'
Arsyad Indradi yang sudah berusia 70-an tahun merupakan penyair tertua
yang paling aktif mengikuti perjalanan PMK di tanah air.
"Pak
Arsyad itu sudah berniat akan ikut dalam setiap kegiatan PMK di mana
saja. Bahkan dana pensiunnya memang dipersiapkannya untuk membiaya
perjalanannya ke mana-mana," terang Sosiawan Leak.
Lihat saja,
tak kurang 30 penyair komunitas PMK yang tampil bergiliran baca puisi
malam itu di aula UMK. Menyebut sejumlah nama, ada Arsyad Indradi
(Kalsel), Bambang Eka Prasetya (Yogyakarta), Heru Mugiarso
(Semarang), Fransiska Ambar Kristyani. Selain itu, ada pula penyair
Wardjito Soeharso, Bontot Sukandar. Ditambah para penyair angkatan muda
yakni Faizy Mahmoed Hay dan Lukni Maulana.
Penyair Jumari Hs, koordinator road show XXIX PMK Kudus langsung menjadi pembawa acara selama
kegiatan berlangsung. Ucap kata yang lincah dan ditingkahi guyonan segar
membuat acara yang berlangsung sejak pukul 20.00 hingga pukul 01.00
tengah malam itu menjadi tak terasa lelah.
Gerakan Tiada Akhir
Di
sela sesi pertama dan kedua pembacaan puisi para penyair PMK, digelar
pula acara Diskusi Sastra PMK. Ada enam tokoh yang tampil berbicara
secara bergiliran yakni Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Acep Zamzam Noor
(Tasikmalaya), Sosiawan Leak (Solo), Syarifuddin Arifn (Padang) dan kritikus sastra Indonesia selaku pembicara utama, Maman S. Mahayana (Jakarta).
Maman
S. Mahayana berbicara soal bagaimana karya sastra khususnya puisi sejak
masa lalu telah dijadikan sebagai sarana dalam membangun pencitraan dan
stigma dalam segala lapangan kehidupan.
Politik imperialisme
Belanda di masa lalu, menurut Maman berhasil membangun citra itu yang
sangat berpihak ada keberadaan kaum penjajah di Indonesia. Bahkan,
penerbit Balai Pustaka yang didirikan pada zaman Belanda itu sengaja
menerbitkan roman, novel dan kumpulan cerpen yang menempatkan tokoh
Belanda atau non-Muslim lebih dicitrakan sebagai 'orang hebat'.
"Hal
senada pun dilakukan pula oleh pemerintahan penjajah Jepang. Bahkan
Jepang berusaha membangun stigma buruk pada Belanda dan membangun citra
baik pada pemerintahan Jepang," ucap Maman.
Dalam hal tindak
korupsi yang terus merajalela di Indonesia, para penyair (baca:
sastrawan) harus terus-menerus 'mengganyang' para koruptor dengan
menumbuhkan stigma buruk yang dapat menimbulkan efek jera dan mau.
Menurut
Maman, para penyair PMK sudah saatnya menulis puisi yang isinya lebih
vulgar. Misalnya dengan menyebutkan nama koruptor dan kasus korupsi
serta jumlah uang negara yang di'rampok'nya.
"Tentu para penyair
tetap mengutamakan estetika dan penggunaan metafora yang pas," kata
dosen FIB Universitas Indonesia (UI) ini.
Senada dengan Maman,
penyair Sosiawan Leak menceritakan bagaimana tradisi kritis terhadap
tindak korupsi telah dilakukan oleh semua agama di dunia.
Ensiklopedia Korupsi
Merespons
apa yang dikemukakan Maman soal pola vulgar yang tertuju langsung pada
nama koruptor dan kasus korupsi yang dilakukannya terutama diarahkan
bagi koruptor yang sudah berkekuatan hukum tetap atau vonis pengadilan.
"Dalam
program penerbitan buku PMK IV, kami sengaja memberinya judul
Ensiklopedia Korupsi (baca: Ensiklopegila Koruptor). Para penyair memang diarahkan untuk menyorot
kasus-kasus korupsi yang sudah diputuskan di pengadilan dengan nama
koruptornya," ucap Leak.
Sementara Fakhrunnas MA Jabbar lebih
menyemangati para penggiat PMK untuk terus bergairah dalam melakukan
kegatan penolakan korupsi. Meski kini KPK cederung 'dilemahkan' namun
gerakan PMK harus terus dikuatkan.
Sedangkan Acep Zamzam Noor
mengajak para penyair untuk menjadi momentum PMK sebagai ajang
'kegembiraan'. Sebab, kegembiraan semacam itu akan selalu memberikan
kegairahan pada setiap penyair dalam menjalani kehidupan dan mengkritisi
hal-hal yang bersifat koruptif.
Sementara Syarifuddin Arifin
menekankan perlunya memberikan stigma 'malu' bagi pelaku korupsi
termasuk keluarga (isteri dan anak-anak) mereka. "Munculnya rasa malu
tentu akan berpengaruh pada karakter atau kepribadian yang terpuji dalam
kehidupan," ucap Syarifuddin.
Acara PMK XXIX di kota Kudus itu
disponsori sebagian oleh Djarum Bhakti Budaya yang selama ini sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dalam membantu kegatan-kegiatan
seni budaya di mana-mana di tanah air.***
Sumber: http://tiraskita.com/read-6-3244-2015-04-07-puisi-menolak-korupsi-pmk-gerakan-moral-tiada--akhir.html
[Disunting oleh admin]
Baca pula:
http://www.sagangonline.com/baca/artikel/968/gerakan-puisi-menolak-korupsi-pmk-gerakan-integritas-
http://www.murianews.com/item/11256-yang-muda-juga-tolak-korupsi.html
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/melawan-korupsi-harus-berjamaah-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.