Rabu, 08 April 2015

Puisi Menolak Korupsi (PMK): Gerakan Moral Tiada Akhir

Catatan Fakhrunnas MA Jabbar dari PMK XXIX di Kudus, Jateng

KUDUS- "Gerakan PMK ini kita biarkan saja mengalir terus. Tak perlu  dibatasi. Ini memang gerakan tiada akhir dalam menolak praktik dan  tindakan korup di negeri. Gerakan ini ditentukan oleh semua anggota komunitas. Saya hanya koordinator. Oleh sebab itu, saya pun tak punya kekuatan untuk menentukan PMK ini harus bagaimana. PMK ini menjadi milik dan tanggungjawab kita bersama."

Pernyataan itu diungkapkan Koordinator Puisi Menolak Korupsi (PMK), Sosiawan Leak ketika menjadi salah satu pembicara pada sesi  diskusi dalam rangkaian kegiatan PMK XXIX di Kudus, Jateng, 5 April  2015.

Suasana aula Universitas Muria Kudus (UMK), Minggu malam itu  terlihak semarak dan meriah. Ratusan orang duduk lesehan menghadap panggung yang dibalut potongan-potongan kain hitam dengan terpaan lampu panggung warna-warni. Ada sebuah patung kain yang berdiri tergantung di dahan pepohonan. Kesannya menjadi lebih mencekam dan magis.

Begitulah kegairahan para penyair dalam menyediakan diri selaku 'tuan rumah' kegiatan PMK secara bergiliran memberikan kesan, pesan dan suasana beragam yang menarik bila dihayati.

Kadangkala kegiatan PMK itu tampil meriah dan digelar di aula  hotel atau gedung universitas. Tapi tak jarang pula kegiatan itu dilakukan di tengah-tengah pesantren atau ruang kelas sekolah.

Namun, satu hal yang membanggakan hati, demi terselenggaranya  kegiatan PMK itu, pihak panitia yang menjadi inisiator menyelenggarakan kegiatan dengan semangat volunterisme (kerelawanan).

Bila tak ada sponsor yang yang didapatkan, harus rela merogok kocek sejumlah orang yang terlibat dengan peristiwa kepenyairan itu. Begitu pula, kegiatan PMK ini 'ditumpangkan' dengan kegiatan seni budaya yang digelar oleh institusi pemerintah yang benar-benar memiliki dana yang cukup.

Puncak keabsahan PMK sebagai gerakan moral yang simultan dalam ikut menyebarluaskan semangat antikorupsi lewat panggung baca puisi dan pementasan puisi ketika PMK digelar di Gedung KPK tahun 2013 silam.

Waktu itu sejumlah pimpinan KPK yang diketuai Abraham Samad hadir dan menyatakan suka-citanya soal gerakan para penyair dalam menyuarakan antikorupsi. Ikut pula hadir waktu itu penyair Taufiq Ismail dan Eka Budianta beserta seratus lebih penyair penggiat PMK termasuk Sosiawan Leak sendiri.

Baca Puisi Penuh Warna

Satu persatu para penyair yang berdatangan dari sejumlah kota di Indonesia didaulat tampil membacakan puisi. Sudah pasti, tema puisi-puisi yang disajikan penuh aromatika korupsi. Setidak-tidaknya itulah perwujudan penyair membenci korupsi dengan segala seluk-beluknya yag masih marak di negeri ini.

Satu hal lain yang juga menarik dicermati melalui panggung PMK itu, para penyair lintas generasi pun bertemu. Boleh jadi, 'Abah' Arsyad Indradi yang sudah berusia 70-an tahun merupakan penyair tertua yang paling aktif mengikuti perjalanan PMK di tanah air.

"Pak Arsyad itu sudah berniat akan ikut dalam setiap kegiatan PMK di mana saja. Bahkan dana pensiunnya memang dipersiapkannya untuk membiaya perjalanannya ke mana-mana," terang Sosiawan Leak.

Lihat saja, tak kurang 30 penyair komunitas PMK yang tampil bergiliran baca puisi malam itu di aula UMK. Menyebut sejumlah nama, ada Arsyad Indradi (Kalsel), Bambang Eka Prasetya (Yogyakarta), Heru Mugiarso (Semarang), Fransiska Ambar Kristyani. Selain itu, ada pula penyair Wardjito Soeharso, Bontot Sukandar. Ditambah para penyair angkatan muda yakni Faizy Mahmoed Hay dan Lukni Maulana.

Penyair Jumari Hs, koordinator road show XXIX PMK Kudus langsung menjadi pembawa acara selama kegiatan berlangsung. Ucap kata yang lincah dan ditingkahi guyonan segar membuat acara yang berlangsung sejak pukul 20.00 hingga pukul 01.00 tengah malam itu menjadi tak terasa lelah.

Gerakan Tiada Akhir

Di sela sesi pertama dan kedua pembacaan puisi para penyair PMK, digelar pula acara Diskusi Sastra PMK. Ada enam tokoh yang tampil berbicara secara bergiliran yakni Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Sosiawan Leak (Solo), Syarifuddin Arifn (Padang) dan kritikus sastra Indonesia selaku pembicara utama, Maman S. Mahayana (Jakarta).

Maman S. Mahayana berbicara soal bagaimana karya sastra khususnya puisi sejak masa lalu telah dijadikan sebagai sarana dalam membangun pencitraan dan stigma dalam segala lapangan kehidupan.

Politik imperialisme Belanda di masa lalu, menurut Maman berhasil membangun citra itu yang sangat berpihak ada keberadaan kaum penjajah di Indonesia. Bahkan, penerbit Balai Pustaka yang didirikan pada zaman Belanda itu sengaja menerbitkan roman, novel dan kumpulan cerpen yang menempatkan tokoh Belanda atau non-Muslim lebih dicitrakan sebagai 'orang hebat'.

"Hal senada pun dilakukan pula oleh pemerintahan penjajah Jepang. Bahkan Jepang berusaha membangun stigma buruk pada Belanda dan membangun citra baik pada pemerintahan Jepang," ucap Maman.

Dalam hal tindak korupsi yang terus merajalela di Indonesia, para penyair (baca: sastrawan) harus terus-menerus 'mengganyang' para koruptor dengan menumbuhkan stigma buruk yang dapat menimbulkan efek jera dan mau.

Menurut Maman, para penyair PMK sudah saatnya menulis puisi yang isinya lebih vulgar. Misalnya dengan menyebutkan nama koruptor dan kasus korupsi serta jumlah uang negara yang di'rampok'nya.

"Tentu para penyair tetap mengutamakan estetika dan penggunaan metafora yang pas," kata dosen FIB Universitas Indonesia (UI) ini.

Senada dengan Maman, penyair Sosiawan Leak menceritakan bagaimana tradisi kritis terhadap tindak korupsi telah dilakukan oleh semua agama di dunia.

Ensiklopedia Korupsi

Merespons apa yang dikemukakan Maman soal pola vulgar yang tertuju langsung pada nama koruptor  dan kasus korupsi yang dilakukannya terutama diarahkan bagi koruptor yang sudah berkekuatan hukum tetap atau vonis pengadilan.

"Dalam program penerbitan buku PMK IV, kami sengaja memberinya judul Ensiklopedia Korupsi (baca: Ensiklopegila Koruptor). Para penyair memang diarahkan untuk menyorot kasus-kasus korupsi yang sudah diputuskan di pengadilan dengan nama koruptornya," ucap Leak.

Sementara Fakhrunnas MA Jabbar lebih menyemangati para penggiat PMK untuk terus bergairah dalam melakukan kegatan penolakan korupsi. Meski kini KPK cederung 'dilemahkan' namun gerakan PMK harus terus dikuatkan.

Sedangkan Acep Zamzam Noor mengajak para penyair untuk menjadi momentum PMK sebagai ajang 'kegembiraan'. Sebab, kegembiraan semacam itu akan selalu memberikan kegairahan pada setiap penyair dalam menjalani kehidupan dan mengkritisi hal-hal yang bersifat koruptif.

Sementara Syarifuddin Arifin menekankan perlunya memberikan stigma 'malu' bagi pelaku korupsi termasuk keluarga (isteri dan anak-anak) mereka. "Munculnya rasa malu tentu akan berpengaruh pada karakter atau kepribadian yang terpuji dalam kehidupan," ucap Syarifuddin.

Acara PMK XXIX di kota Kudus itu disponsori sebagian oleh Djarum Bhakti Budaya yang selama ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dalam membantu kegatan-kegiatan seni budaya di mana-mana di tanah air.***

Sumber: http://tiraskita.com/read-6-3244-2015-04-07-puisi-menolak-korupsi-pmk-gerakan-moral-tiada--akhir.html

[Disunting oleh admin]

Baca pula:
http://www.sagangonline.com/baca/artikel/968/gerakan-puisi-menolak-korupsi-pmk-gerakan-integritas-
http://www.murianews.com/item/11256-yang-muda-juga-tolak-korupsi.html
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/melawan-korupsi-harus-berjamaah-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.