KOMPAS.com
- Rakyat mengungkapkan rasa jijik mereka atas menggilanya kejahatan
korupsi lewat mural di tembok-tembok kota. Di ruang pamer, perupa
”berperang” melawan korupsi dengan menampilkan sosok celeng, alias babi
hutan, sebagai metafora keserakahan para pengisap harta rakyat.
"Ya
Tuhan, Semoga Ayah Ibuku Tidak Korupsi...”, itulah harapan dan doa
warga yang tertulis pada pilar beton penyangga jembatan layang yang
melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di samping tulisan itu
tergambar seorang ibu berdoa dengan tangan menengadah.
Di tiang
penyangga lain, masih di kolong jembatan layang yang sama, ada mural
atau lukisan dinding bergambar perempuan dengan air mata menitik
bertuliskan, ”Aku Tak Sudi Bersuamikan Koruptor...”.
Gambar itu
terbuat dari kertas berwarna putih dan ditempelkan di dinding beton.
Kondisinya usang dan berimpit dengan gambar-gambar lain. Namun, mural
ini tampak cukup menohok mata. Kata-katanya tertulis dengan huruf
berwarna merah tegas.
Mural-mural di kolong jembatan layang itu
terletak sekitar 300 meter dari gerbang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang berpagar besi menjulang. Kolong jembatan itu
menjadi tempat berteduh warga pejalan kaki atau pengendara motor kala
hujan turun.
Kita simak mural lain di tembok jembatan layang
arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan. Di sana, ada mural bergambar
wajah dengan ujung jari telunjuk yang ditempel di depan bibir. Wajah itu
seakan memberi isyarat peringatan. Lalu ada tulisan, ”Ssstt...
Ingat...!!! Masih Ada Korupsi...”.
Cobalah tengok ke terowongan
Cawang, Jakarta Timur. Pada dinding kiri ujung terowongan yang mengarah
ke Cililitan terpampang mural yang menggambarkan meja makan. Di atasnya
ada mangkuk berisi buah-buahan dan gelas minum. Meja itu dikitari
sosok berdasi berkepala setan, tikus, babi, dan celeng. Pada sudut
kanan bawahnya terbaca pesan, ”Hati-hati dalam Memilih”.
Lawan
Begitulah
mural-mural bertebaran di sudut-sudut kota Jakarta dengan muatan
ekspresi yang hampir sama, yaitu melawan korupsi! Tak mudah melawan
korupsi dengan cara mural. Komunitas Street Serrum yang cukup gencar
berperang melawan korupsi dengan senjata mural harus pintar-pintar
bermain kucing-kucingan dengan polisi atau petugas dari kelurahan.
Komunitas
Serrum lahir tahun 2006 sebagai wadah para mahasiswa bereksplorasi
dengan menjajal berbagai medium karya seni rupa. Arief ”Arman” Rachman
(32), salah satu pegiatnya, menuturkan, nama ”Serrum” sebenarnya
pelesetan dari bahasa Inggris, share room, yang bermakna berbagi ruang.
Dalam hal ini berbagi ruang penyampai unek-unek rakyat.
Namun,
tidak mudah berbagi ruang dengan pihak yang mungkin mendukung korupsi.
Nyatanya, banyak mural antikorupsi kerap berumur pendek. Bahkan, banyak
yang hanya berumur jam-jaman. Para pegiat street art sudah hafal, ada
daerah-daerah keramat untuk mural dan grafiti. Underpass Dukuh Atas itu
salah satu tempat paling ”keramat”, grafiti atau mural apa pun
biasanya akan dibersihkan dalam satu-dua hari.
MG Pringgotono
(32) alias MG, anggota Serrum, hafal jenis mural, grafiti, atau poster
”keramat” yang tak bakal berumur panjang. Tiap kali membuat mural,
grafiti, dan poster antikorupsi yang menyebut nama tokoh, misalnya
seorang terpidana korupsi, pasti karya itu bakal lenyap dalam hitungan
jam.
”Jadi, ada lokasi ’angker’, yang pasti membersihkan grafiti,
mural, atau poster apa pun dalam hitungan hari. Dan, selalu ada isu
’keramat’ yang selalu dibersihkan entah oleh siapa dalam hitungan hari,
bahkan jam,” kata MG.
Namun, mereka tidak pernah jeri dan terus
bergerilya melakukan ”perang kota”. ”Kami memilih melakukan pendidikan
publik di ruang publik, lewat propaganda publik,” ujar MG.
Perang celeng
Bendera
perang terhadap korupsi juga dikibarkan oleh pelukis Aris Budiono
Sadjad dengan menggelar pameran bertajuk ”Perang Suci Melawan Korupsi”,
14-23 Maret 2013, di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Pameran yang
menggelar 23 lukisan ini dibuka oleh Direktur Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dedi A Rachim, Kamis
(14/3).
Aris geram melihat perilaku para koruptor yang tidak
menampakkan penyesalan. Karena itu, ia menggunakan celeng sebagai
metafor kerakusan dan kebebalan. ”Kalau tikus itu mudah dikalahkan dan
penakut, nah kalau celeng, tetap merasa gagah walau korupsi,” kata Aris.
Dalam
lukisan ”Empat Cakil Rakyat”, Aris menggambar empat butha cakil
(raksasa kecil yang rakus) sedang menunggang empat ekor celeng. Keempat
celeng bertaring panjang dengan mata mendelik dan mulut merah. Jelas
sekali ciri-ciri sebagai ”hama” yang rakus itu siap memangsa apa saja.
Di
lukisan lain dengan penuh ironi Aris melukis ”Corruptor Family
Gathering”. Di kanvas tampak sejumlah kalangan sedang berpesta pora,
bersenang-senang, berenang, main musik, dan segala aktivitas hiburan
lainnya. Hal yang aneh, seluruh pelaku pesta pora itu berwajah celeng.
Begitulah, kata Aris, sifat celeng. ”Selalu gagah, tak pernah takut,
malah diperlakukan seperti selebritas. Semua itu, kan, kini terjadi di
hadapan kita?” kata Aris.
Kita kini seolah hidup di negeri penuh
koruptor. Pemutarbalikan fakta jadi hal biasa, perasaan tidak bersalah
jadi pemandangan sehari-hari. ”Dan itu memuakkan sekali, sudah
seharusnya dilawan,” kata Aris.
KPK merasa mendapat kawan dalam
berperang melawan para ”celeng” pemangsa harta rakyat. ”Ibaratnya kami
sedang berperang sendirian di tengah gurun pasir, dan tiba-tiba ada
sumber air. Ini menyejukkan kami. Ternyata, KPK punya teman-teman
seniman,” kata Dedi dalam pembukaan pameran di BBJ.
Provokasi kesadaran batin
Seniman
yang beraksi dengan mural dan grafiti di tembok-tembok kota tentunya
juga kawan- kawan KPK. Budayawan Mudji Sutrisno SJ menyebut seniman
seperti mereka sebagai penjaga kehidupan yang tetap mau menjaga
kelangsungan hidup bermartabat.
Apakah suara rakyat yang terucap di tembok-tembok kota itu didengar orang?
”Kentungan
harus dipukul terus untuk mengingatkan jaga malam saat waktu jaga,
atau bahaya-bahaya, maling, kebakaran yang akan menghancurkan
masyarakat. Anjing harus terus menggonggong lantaran proses membaca
tulisan-tulisan di mural yang antikorupsi masih tetap menemukan
bacaannya untuk kita,” kata Mudji.
Mudji melihat suara-suara di
tembok kota tetap diperlukan. Yang berbahaya adalah kalau apatisme dan
kebisuan, cuek, tidak acuh sudah menjadi sikap lalu tidak ada sama
sekali reaksi atau tulisan-tulisan mural lagi. Bila sampai tahap ini,
demokrasi dan hidup bersama berada dalam lampu merah. ”Selama seniman
nurani masih terus nulis tajam dan kritis antikorupsi di mural-mural,
itu berarti masih ada dinamika hidup di masyarakat kita,” kata Mudji.
Bagaimanapun,
suara rakyat di tembok-tembok kota atau di ruang pameran akan tetap
mempunyai makna di tengah kehidupan negeri ini saat ini. Kritikus seni
rupa Suwarno Wisetrotomo dalam katalog pameran ”Perang Suci Melawan
Korupsi” mengingatkan bahwa karya seni memiliki fungsi untuk
memprovokasi kesadaran dan batin.
Dosen Fakultas Seni Rupa dan
Desain ISI Yogyakarta itu menandaskan, ”Karya seni melatih kepekaan dan
sikap kritis terhadap segala ketidakadilan atau kezaliman yang menimpa
manusia, kemanusiaan, serta kehidupan.”
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.