Artikel di Suara Merdeka Minggu, 22 September 2013 berjudul 'BILA PUISI MELAWAN KORUPSI' oleh Sendang Mulyana (dosen Bahasa Sastra Indonesia UNNES).
Sumber facebook PMK (Bontot Sukandar)
Artikelnya,
Tiada hari tanpa warta korupsi. Begitulah kenyataan hidup berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat kita kini. Saking gencarnya arus warta itu,
anak-anak sekolah dasar pun telah fasih melafalkan kata korupsi.
Kata korupsi pun telah luwes bersanding dengan kata-kata mulia
sehingga muncullah ungkapan, misalnya ”korupsi berjamaah”. Padahal, kata
berjamaah biasanya melekat pada kata shalat. Shalat berjamaah lebih
mulia ketimbang shalat sendirian. Atau, muncul juga ungkapan ”budaya
korupsi”. Padahal, budaya dengan segala perubahannya, yang pasti berkait
langsung dengan dinamika hidup manusia, selalu mengandaikan terjadinya
perbaikan kehidupan, baik cara maupun hasilnya.
Konon korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit kronis. Berbagai
upaya dilakukan untuk memberantas penyakit itu dengan komandan lembaga
KPK. Isu korupsi juga menjadi bahan laris untuk kampanye. Masyarakat akan gegap-gempita bereaksi ketika ada jurkam
berteriak, ”Hapuskan korupsi! Gantung koruptor! Katakan tidak pada
korupsi!”
Ironisnya, korupsi tak rampung-rampung. Bahkan, orang yang kemarin
berteriak antikorupsi malah berurusan dengan pengadilan atas kasus
korupsi. Baru-baru ini Sosiawan Leak dan kawan-kwan secara patungan
menerbitkan buku Puisi Menolak Korupsi.
Gerakan kebudayaan itu tentu potensial menimbulkan komentar beragam.
Mungkin mencibirnya, silakan sehari muncul seribu kumpulan puisi melawan
korupsi, korupsi akan tetap melengganglapang, aman, nyaman, damai
sentosa. Atau, mencurigainya sebagai wahana kepentingan ekonomis
orang-orang tertentu.
Akan tetapi, sekecil apa pun aktivitas Sosiawan Leak, Heru Mugiarso,
Bontot Sukandar, Beni Setia, dan kawan-kawan itu tentu berkontribusi
positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dan, kita patut
mengapresiasi.
Fenomena Komunikasi
Sastra, termasuk berpuisi, adalah fenomena komunikasi. Ketika menulis
puisi, seorang penyair itu sedang menjalin komunikasi. Dalam kasus
puisi menolak korupsi, penyair berperan sebagai komunikator yang
menyampaikan pesan berupa semangat antikorupsi kepada komunikan
(masyarakat). Adanya reaksi masyarakat yang beraneka ragam, termasuk
masyarakat sastra, justru itu menjadi indikator keberhasilan komunikasi.
Menarik sekali ungkapan Drs Pardi M Hum, Kepala Balai Bahasa Jateng
ketika didaulat menjadi pembedah kumpulan puisi tersebut di Unnes
baru-baru ini. Berulang-ulang ia menegaskan, kalau bukan sekarang kapan
lagi. Ia tak banyak bicara tentang kualitas kesastraan atas puisi-puisi
yang termaktub dalam antologi puisi tersebut, tetapi dengan berpijak
pada beberapa puisi yang memang cair dan mudah dipahami, ia bersemangat
menggelorakan mentalitas antikorupsi kepada audiens yang mayoritas
mahasiswa.
Tidak berhenti pada wilayah penerbitan buku, mereka juga bergerilya
ke berbagai penjuru untuk mengadakan pertunjukan puisi melawan korupsi.
Lagi-lagi bila ditanyakan tentang efektivitasnya untuk dapat memberantas
korupsi, jawabannya tentu sangat relatif. Sekurang-kurangnya, bila
sering mendengar teriakan puitis dalam balutan puisi antikorupsi, syaraf
masyarakat akan tersentuh dan (harapannya) dapat mengomando segenap
sendi-sendi kehidupan untuk kalis dari laku durjana korupsi.
Penyair adalah anggota masyarakat yang sedapat-dapatnya mengemban
tugas intelektual mengomunikasikan realitas kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat kita yang berlepotan laku koruptif.
Penyair tentu sadar bahwa laku kreatifnya tidak akan serta-merta
membuat korupsi musnah. Akan tetapi, ia telah menunaikan tugas
intelektual, tugas keterlibatan atas nasib kehidupan orang banyak yang
dirugikan oleh para koruptor.
Teriakan memang tidak dapat mengubah keadaan dan mungkin dianggap
sebagai angin lalu. Tidak apa-apa dan itu disadari oleh penyair. Menarik
sekali sajak Heru Mugiarso berjudul ”Puisi Berteriak”: Seandainya
tanganku mengepal dan mulutku berteriak, gumam penyair itu/Maka, adakah
langit akan terbuka dan cakrawala berubah makna?
Kualitas Sastra
Dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dimotori oleh Ariel
Haryanto dan Arif Budiman dibicarakan fenomena sastra yang berbahan
mentah fenomena kehidupan keseharian di dalam masyarakat, sastra yang
berpijak di bumi.
Pro dan kontra terjadi. Yang pro lebih menekankan pada pentingnya
menciptakan karya sastra yang mengajak pembaca sastra itu (masyarakat)
terlibat secara emosional karena bahannya memang diambil dari dunia
keseharian mereka. Sementara itu, yang kontra mengkritisi kualitas karya
sastra yang lebih mementingkan ”pesan” atau ”berita” lantaran beban
kontekstual yang diembannya. Estetika seni sastranya menjadi tereduksi,
kata Saut Situmorang mengkritiknya.
Berkaitan dengan sastra serupa itu, lagi-lagi kita dapat bijaksana
dalam menyikapi gerakan budaya Sosiawan Leak dan kawan-kawan dalam
label puisi melawan korupsi. Biarkan masyarakat yang menilai. Prof Agus
Nuryatin, guru besar ilmu sastra ketika membuka acara bedah buku Puisi
Melawan Korupsi di Unnes mengatakan, ”Puisi yang hanya berisi sumpah-serapah justru
tidak dapat menyentuh perasaan halus manusia. Bukankah tujuan seni itu
memperhalus budi sekaligus menjadikan kehidupan berjalan di rel
terpuji?”
Tampaknya, para penyair yang tergabung dalam gerakan budaya tersebut
memang lebih mengedapankan motivasi melawan korupsi ketimbang njelimet
memikirkan estetika sastra. Tujuan mereka adalah ikut terlibat
memberantas korupsi di negeri ini melalui puisi.
Meskipun untuk itu pun tampaknya mereka juga sadar diri. Heru
Mugiarso sendiri pun skeptis: ”Seandainya puisi mampu menolak korupsi…”.
Tapi, gumaman itu kembali disimpannya rapi.
Masalahnya, para koruptor itu kelewat bebal untuk di-esemi, sudah
kebal ketika disindir. Bahkan, sumpah serapah pun barangkali juga belum
cukup, Prof? Mungkin rindu di-dhupak, ditendang! Ssstt… jangan
kumawani! Bagaimana bila koruptornya jenderal? (62).
*Sendang Mulyana, dosen Sastra Indonesia FBS Unnes
Tulisan ini pernah dimuat pada Suara Merdeka 22 September 2013
Tulisan ini pernah dimuat pada Suara Merdeka 22 September 2013
Sumber artikel http://indonesia.unnes.ac.id/esai/bila-puisi-melawan-korupsi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.