Senin, 23 September 2013

Bila Puisi Melawan Korupsi oleh Sendang Mulyana (Suara Merdeka Minggu, 22/09/13)

Artikel di Suara Merdeka Minggu, 22 September 2013 berjudul 'BILA PUISI MELAWAN KORUPSI' oleh Sendang Mulyana (dosen Bahasa Sastra Indonesia UNNES).

Sumber facebook PMK (Bontot Sukandar)

Artikelnya,

Tiada hari tanpa warta korupsi. Begitulah kenyataan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita kini. Saking gencarnya arus warta itu, anak-anak sekolah dasar pun telah fasih melafalkan kata korupsi.

Kata korupsi pun telah luwes bersanding dengan kata-kata mulia sehingga muncullah ungkapan, misalnya ”korupsi berjamaah”. Padahal, kata berjamaah biasanya melekat pada kata shalat. Shalat berjamaah lebih mulia ketimbang shalat sendirian. Atau, muncul juga ungkapan ”budaya korupsi”. Padahal, budaya dengan segala perubahannya, yang pasti berkait langsung dengan dinamika hidup manusia, selalu mengandaikan terjadinya perbaikan kehidupan, baik cara maupun hasilnya.

Konon korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit kronis. Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyakit itu dengan komandan lembaga KPK. Isu korupsi juga menjadi bahan laris untuk kampanye. Masyarakat akan gegap-gempita bereaksi ketika ada jurkam berteriak, ”Hapuskan korupsi! Gantung koruptor! Katakan tidak pada korupsi!”

Ironisnya, korupsi tak rampung-rampung. Bahkan, orang yang kemarin berteriak antikorupsi malah berurusan dengan pengadilan atas kasus korupsi. Baru-baru ini Sosiawan Leak dan kawan-kwan secara patungan menerbitkan buku Puisi Menolak Korupsi.

Gerakan kebudayaan itu tentu potensial menimbulkan komentar beragam. Mungkin mencibirnya, silakan sehari muncul seribu kumpulan puisi melawan korupsi, korupsi akan tetap melengganglapang, aman, nyaman, damai sentosa. Atau, mencurigainya sebagai wahana kepentingan ekonomis orang-orang tertentu.

Akan tetapi, sekecil apa pun aktivitas Sosiawan Leak, Heru Mugiarso, Bontot Sukandar, Beni Setia, dan kawan-kawan itu tentu berkontribusi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dan, kita patut mengapresiasi.

Fenomena Komunikasi
Sastra, termasuk berpuisi, adalah fenomena komunikasi. Ketika menulis puisi, seorang penyair itu sedang menjalin komunikasi. Dalam kasus puisi menolak korupsi, penyair berperan sebagai komunikator yang menyampaikan pesan berupa semangat antikorupsi kepada komunikan (masyarakat). Adanya reaksi masyarakat yang beraneka ragam, termasuk masyarakat sastra, justru itu menjadi indikator keberhasilan komunikasi.

Menarik sekali ungkapan Drs Pardi M Hum, Kepala Balai Bahasa Jateng ketika didaulat menjadi pembedah kumpulan puisi tersebut di Unnes baru-baru ini. Berulang-ulang ia menegaskan, kalau bukan sekarang kapan lagi. Ia tak banyak bicara tentang kualitas kesastraan atas puisi-puisi yang termaktub dalam antologi puisi tersebut, tetapi dengan berpijak pada beberapa puisi yang memang cair dan mudah dipahami, ia bersemangat menggelorakan mentalitas  antikorupsi kepada audiens yang mayoritas mahasiswa.

Tidak berhenti pada wilayah penerbitan buku, mereka juga bergerilya ke berbagai penjuru untuk mengadakan pertunjukan puisi melawan korupsi. Lagi-lagi bila ditanyakan tentang efektivitasnya untuk dapat memberantas korupsi, jawabannya tentu sangat relatif. Sekurang-kurangnya, bila sering mendengar teriakan puitis dalam balutan puisi antikorupsi, syaraf masyarakat akan tersentuh dan (harapannya) dapat mengomando segenap sendi-sendi kehidupan untuk kalis dari laku durjana korupsi.

Penyair adalah anggota masyarakat yang sedapat-dapatnya mengemban tugas intelektual mengomunikasikan realitas kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita yang berlepotan laku koruptif.

Penyair tentu sadar bahwa laku kreatifnya tidak akan serta-merta membuat korupsi musnah. Akan tetapi, ia telah menunaikan tugas intelektual, tugas keterlibatan atas nasib kehidupan orang banyak yang dirugikan oleh para koruptor.

Teriakan memang tidak dapat mengubah keadaan dan mungkin dianggap sebagai angin lalu. Tidak apa-apa dan itu disadari oleh penyair. Menarik sekali sajak Heru Mugiarso berjudul ”Puisi Berteriak”: Seandainya tanganku mengepal dan mulutku berteriak, gumam penyair itu/Maka, adakah langit akan terbuka dan cakrawala berubah makna?

Kualitas Sastra
Dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual yang dimotori oleh Ariel Haryanto dan Arif Budiman  dibicarakan fenomena sastra yang berbahan mentah fenomena kehidupan keseharian di dalam masyarakat, sastra yang berpijak di bumi.

Pro dan kontra terjadi. Yang pro lebih menekankan pada pentingnya menciptakan karya sastra yang mengajak pembaca sastra itu (masyarakat) terlibat secara emosional karena bahannya memang diambil dari dunia keseharian mereka. Sementara itu, yang kontra mengkritisi kualitas karya sastra yang lebih mementingkan ”pesan” atau ”berita” lantaran beban kontekstual yang diembannya. Estetika seni sastranya menjadi tereduksi, kata Saut Situmorang mengkritiknya.

Berkaitan dengan sastra serupa itu, lagi-lagi kita dapat bijaksana dalam menyikapi gerakan budaya Sosiawan Leak dan kawan-kawan dalam label  puisi melawan korupsi. Biarkan masyarakat yang menilai. Prof Agus Nuryatin, guru besar ilmu sastra ketika membuka acara bedah buku Puisi Melawan Korupsi di Unnes mengatakan, ”Puisi yang hanya berisi sumpah-serapah justru tidak dapat menyentuh perasaan halus manusia.  Bukankah tujuan seni itu memperhalus budi sekaligus menjadikan kehidupan berjalan di rel terpuji?”

Tampaknya, para penyair yang tergabung dalam gerakan budaya tersebut memang lebih mengedapankan motivasi melawan korupsi ketimbang njelimet memikirkan estetika sastra. Tujuan mereka adalah ikut terlibat memberantas korupsi di negeri ini melalui puisi.

Meskipun untuk itu pun tampaknya mereka juga sadar diri. Heru Mugiarso sendiri pun skeptis: ”Seandainya puisi mampu menolak korupsi…”. Tapi, gumaman itu kembali disimpannya rapi.

Masalahnya, para koruptor itu kelewat bebal untuk di-esemi, sudah kebal ketika disindir. Bahkan, sumpah serapah pun barangkali juga belum cukup, Prof? Mungkin rindu di-dhupak, ditendang!  Ssstt… jangan kumawani! Bagaimana bila koruptornya jenderal? (62).

*Sendang Mulyana, dosen Sastra Indonesia FBS Unnes

Tulisan ini pernah dimuat pada Suara Merdeka 22 September 2013

Sumber artikel http://indonesia.unnes.ac.id/esai/bila-puisi-melawan-korupsi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.