MENOLAK
KORUPSI DENGAN PUISI
*Dimas Indianto S.
M.Pd.I.
Pada 23 Desember 2009, sebuah buku
berjudul “Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Century” karangan George Junus
Aditjondro menyita perhatian masyarakat Indonesia. Buku setebal 183 ini menuai
banyak komentar karena tercatutnya nama orang-orang penting seperti Presiden
SBY, empat yayasan yang ditengarai berafiliasi dengan SBY, dan Ny. Ani
Yudhoyono, Ramadhan Pohan, Jero Wacik, Hatta Rajasa, Edhie Baskoro, dan sederet
nama para politikus lainnya. Buku yang diterbitkan oleh GalangPress ini banyak
membeberkan indikasi kebusukan sistem oligarki atau mengguritanya
persekongkolan kotor dalam tubuh pemerintahan SBY ketika itu.
Keberadaan
buku itu menjadi bukti, bahwa George sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu
membuat gerakan usaha pemberantasan
korupsi melalui gerakan literasi.
Bahkan selain membuat polemik berkepanjangan, lima hari setelah launching, 27 Desember
buku ini sudah menghilang dari pasaran. Ini adalah indikasi bahwa ada pihak
yang takut pada kebenaran atau data-data yang disuguhkan dalam buku ini. Potret
ini menjadi bukti bahwa untuk menakuti koruptor tidak melulu dengan teriakan,
demontrasi, bahkan mogok makan yang kerap dilakukan mahasiswa yang kadang tidak
membuahkan hasil. Melalui tulisan yang menarik, George ternyata bisa membuka
mata masyarakat Indonesia tentang sebuah praktik korupsi yang dilakukan para
petinggi negeri ini.
Genealogi
Korupsi
Jika menengok
sejarah, korupsi memang suatu hal yang sudah sangat membudaya. Bahkan merupakan
salah satu penghancur peradaban manusia. Di Mesir, Babilonia,
Cina, India, Yunani, bahkannRomawi
Kuno, korupsi memunculkan masalah yang dahsyat. Dalam ensiklopedi Britanica
(1962), diungkapkan bahwa Hammurabi dari Babilonia yang naik tahta sekitar tahun
1200 SM memerintahkan seorang gubernur untuk menyidik perkara penyuapan
terhadap aparat birokrasinya. Driver & Miles dalam The Babylonian Laws
(1952) menulis, bahwa di tahun 200 SM, Shamash, Raja Assiria pernah menjatuhkan
vonis pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap atau dalam eufemisme
kita disebut
uang pelicin.
Aksi-aksi korupsi oleh para pejabat
birokrasi, berdampak mengerikan. Pada era kejayaan Romawi, misalnya, tindakan korupsi yang
dilakukan oleh aparat birokrasi membuat kerajaan itu menjadi bangkrut. Frank
dalam An Economic Suurvey of Ancient Rome (1959) menulis, bahwa Raja
Romawi, Julius Caesar, memberi contoh paling buruk dalam sejarah birokrasi
negaranya. Dia merampas harta kekayaan provinsi untuk keuntungan pribadinya.
Ketika menyerbu Spanyol, Sang Raja Romawi itu dililit utang ekstra besar.
Dengan terjun ke medan perang itu,
dia bermaksud melakukan pengelabuan untuk membebaskan diri dari belenggu utang
tersebut, sekaligus untuk menghapus citra dirinya sebagai pejabat paling korup
pada saat itu.[1]
Seperti
halnya di banyak negara, perilaku koruptif di Indonesia sudah berlangsung
sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah
memberikan label atas hal itu sebagai telah membudaya. Bahkan dalam formulasi kuantitatif
yang relatif,
Begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan
pernyataan kontroversial, bahwa kebocoran anggaran pembangunan di Indonesia
mencapai 30 persen.
Perlawanan
dengan Jalan
Bahasa
Diibaratkan
sebuah penyakit, Korupsi adalah sebuah penyakit mematikan yang mudah menjangkit
manusia. Sekali saja seorang manusia lengah dari kebersadaran diri, ia akan
bisa terkena godaan penyakit yang satu ini. Oleh karena sifatnya yang lentur
dan tidak nampak, korupsi menjadi godaan yang menggiurkan. Betapa tidak, di era
serba cepat, efek globalisasi yang menawarkan hal-hal hedonis-pragmatis,
siapapun sangat dengan mudah tergiur untuk mendapatkan “hasil” lebih banyak,
dengan kinerja yang tidak begitu berat. Sekalipun dengan cara yang melanggar
kode etik ataupun konvensi-konvensi yang berlaku.
Di titik yang
memprihatinkan, jika korupsi menjangkit semua lapisan orang yang memiliki
kedudukan di sebuah elemen negara, maka tinggal menunggu waktu hancurnya negara
itu. Indonesia, sebagai bagian dari negara dengan tingkat korupsi yang cukup
tinggi, tidak menutupkemungkinan untuk segera datang masa kehancuran. Mereka,
para koruptor itu, tidak berpikir panjang atas ulah mereka. Sementara rakyat
kecil, yang tidak menahu ikhwal perbuatan para petingginya, selalu menjadi
korbannya.
Maka itu,
untuk mengurangi angka korupsi di Indonesia, diperlukan keterlibatan masyarakat
untuk memberantas tindakan korupsi, atau setidak-tidaknya mencegah korupsi yang
lebih parah lagi. Salah satu yang bisa menjadi jalan adalah dengan jalan
bahasa. Sebagaimana George dengan bukunya itu, menghadirkan data-data tentang
tindakan koruptif yang melibatkan pejabat penting. George dengan tulisannya
membuka mata rakyat untuk lebih awas
melihat persoalan yang sedang terjadi, yang notabene adalah tindakan merugikan
buat rakyat.
Langkah yang
dilakukan oleh George itu, adalah sebagaimana Finochiaro mendefinisikan fungsi
bahasa menjadi lima kelompok, 1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa
untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun perasaan; 2) fungsi
interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur
atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial, 3) fungsi direktif, yakni
merupakan fungsi bahasa untuk mengatur oranglain, menyuruh oranglain,
memberikan saran untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu, 4) fungsi
refrensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referensi
dengan menggunakan lambang bahasa; dan 5) fungsi imajinatif, yakni merupakan
fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu denagn berimajinasi.[2]
Dari sinilah, dengan jalan komunikasi lewat bahasa tulis,
George membuktikan betapa bahasa sungguh memiliki peran yang sangat signifikan.
George mengancam pihak-pihak yang dinyatakan bersalah, baik secara de jure maupun de facto. Tentang keterancaman dengan jalan bahasa ini, sebenarnya
sudah dibuktikan bertahun-tahun yang lalu. Para penulis atau sastrawan yang
menyuarakan perlawanan dengan jalan sastra, misalnya, menjadi buronan para
politisi dan pejabat yang terkait. Adalah sebagaimana yang dialami Pramoedya
Ananta Toer, ataupun Widji Thukul, misalnya, yang beberapa kali diasingkan,
bahkan Thukul tidak diketahui ke mana rimbanya hingga detik ini, disinyalir
adalah oleh karena mereka keras dalam menentang kekejaman rezim melalui
tulisan, melalui bahasa: melalui sastra.
Puisi
Menolak Korupsi
Baru-baru ini,
muncul gerakan Puisi Menolak Korupsi, yaitu sebuah gerakan yang masif, terstruktur,
dan sistematis dari bagian masyarakat untuk membukukan puisi-puisi bertemakan
penolakan terhadap bahaya laten korupsi di Indonesia. Gerakan yang
dikoordinatori oleh sastrawan Sosiawan Leak ini pantas dicatat dan distabilo
dalam sejarah perlawanan terhadap korupsi. Betapa tidak, dari namanya saja,
Puisi Menolak Korupsi, bukan penyair menolak korupsi. Ini menekankan bahwa
penolakan terhadap korupsi adalah tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Jadi
dalam gerakan ini yang terpenting adalah puisi yang berbicara, tidak dibatasi
hanya penyair saja yang menuliskan puisi, tetapi siapapun yang mempunyai
ketertarikan menuliskan ikhwal penolakan terhadap korupsi. Presiden John F.
Kennedy pernah mengatakan dalam pidatonya, bahwa jika politik bengkok puisi
yang meluruskan (bukan penyair yang meluruskan). Seirama dengan itu, Seno
Gumira Adjidarma, seorang cerpenis terkenal mengatakan dalam bukunya jika
jurnalisme dibungkam sastra berbicara (sastra bukan sastrawan). Kedua adagium
itu sarat dengan muatan kemahadahsyatan sebuah sastra, sebuah puisi.
Manusia itu terkutuk untuk bebas, begitu
kata Jean Paul Sartre. Manusia dengan jiwa bebasnya tak ingin tertindas oleh
kepentingan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Penyair adalah sebagian
orang yang memilihnya dari jalur bahasa. Mereka maju ke depan sebagai corong
kemanusiaan untuk menyuarakan itu. Segala yang membuat mereka terusik itu
tertanam dalam karya mereka, yang dengannya jutaan manusia lain bisa mengambil
perenungan untuk menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Buah pemikiran yang
bening itu seperti
mata air, siapapun dan dengan latar belakang apapun boleh dan bisa menimbanya
sehingga mengalirkan pemikiran segar baru darinya.[3]
Mengapa dengan
puisi? Teks
puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai
masalah kehidupan, baik berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, sesuatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-sosial-politik-ekonomi-budaya,
maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan,
pemikiran penyair diekspresikan secara unik dan menarik.Puisi merupakan proyek
filsafat yang selalu meruahkan pertanyaan. Setiap pertanyaan akan melahirkan
banyak jawaban, formula, konsep, tata nilai dan yang pasti tak habis dimaknai.
Teks puisi dibentuk dan diciptakan oleh penyair
tampaknya berdasarkan desakan emosional dan rasional. Puisi karya penyair,
sejalan dengan wawasan Luxemburg, merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi,
bukan sebuah imitasi. Maka wajar jika unsur-unsur pribadi penyair seperti
pengetahuan, peristiwa penting, visi, misi, dan konsepsinya mewarnai puisi yang
ditulis. Penggunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa lain oleh penyair dimaksudkan untuk
memadatkan dan mengefektifkan
pengungkapan.
Dalam pada
ini, puisi tidak bisa diremehkan. Banyak sastrawan-sastrawan yang mengungkapkan
bahwa puisi bukanlah karya biasa, yang ditafsirkan dengan bahasa biasa-biasa
saja, dibacakan dengan nada biasa, dan diolah pikir dengan cara-cara biasa. HB.
Jassin, seorang kritikus sastraIndonesia, mengatakan bahwa puisi ialah
pengucapan dengan perasaan. Dalam puisi itu, pikiran dan perasaan seolah-olah
bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah
tekanan suara. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia agung dengan
pikiran dan perasaannya. Edgar Allan Poe, seorang penulis berkebangsaan
Amerika, mengatakan bahwa puisi adalahh ciptaan dengan irama keindahan yang
dimaksudkan untuk meluhurkan jiwa. Percy Bysche Shelly, mengatakan bahwa puisi
adalah rekaman dari saat-saat paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran
yang paling baik dan paling menyenangkan.
Samuel
Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan
penuh daya, dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian.
Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organiasai
tertinggi dari kegiatan intelektual manusia. Senada dengan tu, Bradley
mengatakan puisi adalah semangat. Sementara,
Ralph Woldo Emerson mengatakan bahwa
puisi
merupakan upaya abadi untuk engekspresikan jiwa sesuatu untuk menggerakkan
tubuh yang kasar dan mencari kehidupan lain dan alasan yang menyebabkannya ada.[4]
Dari
Roadshow ke Roadshow
Gerakan Puisi
Menolak Korupsi, jika dikategorikan sebagai sebuah genre karya, adalah karya
sastra bertendensi. Yaitu salah satu genre sastra yang berkaitan erat
dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Sebagai juru bicara kelompok, penyair
semenjak awal telah dibekali dengan niat dan ideologi tertentu. Karya sastra
dijadikan alat yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sarana untuk
menyampaikan maksud-maksudnya.Lahirnya sastra bertendensi justru diakibatkan
oleh adanya anggapan bahwa karya sastra menduduki posisi yang penting dalam
masyarakat. Melalui sastra dapat disalurkan berbagai aspirasi, visi, dan missi,
baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.[5]
Oleh sebab
itu, wajar bila Sosiawan Leak mengatakan “Gerakan Puisi Menolak Korupsi berbasis moral dan bergerak dalam ranah
kebudayaan. Sebagaimana namanya, gerakan ini melakukan aktivitasnya dengan
puisi (anak kandung kebudayaan) sebagai sumber ekspresinya. Maka, ia tak akan
pernah bisa lepas dengan hal-hal yang terkait dengan puisi (menulis puisi,
membaca puisi, mencetak puisi, menerbitkan puisi, mementaskan puisi, merayakan
puisi, mendiskusikan puisi, dan lain-lain) selama puisi-puisi tersebut mengolah
tema korupsi”. Dalam pada ini penolakan terhadap korupsi
adalah sebuah misi suci yang dipanjikan para anggotanya.
Gerakan ini terus melancarkan penolakan
terhadap korupsi dengan melibatkan masyarakat secara luas, terbukti anggota
dari gerakan ini bukan semata penyair yang namanya sudah besar di media-media,
melainkan juga ibu-ibu, pedagang, karyawan, guru, wartawan, mahasiswa hingga
siswa sekolah. Pada antologi puisi PMK jilid 1, terdapat sedikitnya 85 orang
yang ikut serta, sedangkan antologi PMK jilid 2 yakni 2a dan 2b (oleh karena
jumlah orang yang ingin bergabung jumlahnya semakin banyak) yakni 197 orang,
sementara antologi PMK jilid 3 (edisi Pelajar Menolak Puisi) adalah 286 pelajar
seluruh Indonesia, dan PMK jilid 4 (mengambil tema Ensiklopegila Koruptor)
terdapat 175 orang yang bergabung.[6]
Bukti bahwa gerakan PMK merupakan sebuah
respresetasi dari gerakan masyarakat menolak korupsi adalah dengan
diberlakukannya konsep iuran dan “saweran”. Penerbitan buku-buku antologi PMK
ini murni atas dana swadaya masing-masing kontributor puisi. Jadi, sesiapa yang
karyanya dinyatakan masuk (setelah proses kurasi ketat oleh Sosiawan Leak)[7] melakukan iuran untuk
pendanaan penerbitan buku. Sedangkan “saweran” adalah istilah dalam gerakan PMK
bagi masing-masing kontributor yang ingin mmberikan iuran atau sumbangan lebih
demi kelancaran Gerakan PMK.
Hal ini dilakukan, oleh sebab gerakan PMK
tidak sekedar membukukan puisi saja, melainkan juga membacakannya dari kota
satu ke kota lain yang kemudian dinamakan roadshow menolak korupsi. Sebagimana menurut
Laswell, agar komunikasi itu bisa diterima dengan baik maka harus ada
komponen-komponen pendukung yaitu harus ada si pengirim atau pihak yang
menyampaikan pesan, ada pesan yang ingin disampaikan, ada media atau perantara
untuk menyampaikan pesan, ada penerima pesan, ada umpan balik atau tanggapan
dari penerimaan pesan dan ada aturan-aturan yang disepakati. Media itu adalah pembacaan puisi, deklamasi puisi,
musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, hingga lomba baca puisi dari kota ke
kota.[8]
Misi utama
dalam pelaksanaan roadshow ini adalah bahwa puisi lahir dari suara masyarakat
dan untuk masyarakat. Menyebarkan semangat untuk menolak korupsi harus
berkelanjutan. Mengabarkan bahwa
pelaku korupsi harus dikenakan sangsi sosial berupa pengecaman dari masyarakat.[9] Puisi
yang telah dibukukan kemudian dibacakan di berbagai forum dan tempat di berbagai kota
di Indonesia, sehingga
muatan dari puisi tersebut tersampaikan. Bahkan di setiap roadshow PMK, selalu
diadakan diskusi perihal persoalan korupsi dengan menghadirkan pihak-pihak yang
berkompeten baik dosen, pengamat politik, pengamat sosial, maupun para
budayawan untuk bisa menjadi partner dalam usaha memberantas korupsi. Dengan
begitu, gerakan ini, adalah representasi dari rasa cinta (sense of belonging) masyarakat, khususnya penyair, terhadap tanah air
Indonesia. Hal ini sebagaimana Jean Paul Sartre pernah menuliskan
tentang “Tanggungjawab Pengarang”, menurutnya pengarang semestinya selalu
mengorientasikan dirinya dengan peristiwa-peristiwa aktuil di mana pun dari
bumi ini. Tabik.
Yogyakarta, 14 Desember
2015.
*Dimas Indianto S.
M.Pd.I. mempunyai nama pena Dimas Indiana Senja.
Lahir di Brebes, 20 Desember 1990. Alumni pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan
resensi buku. Beberapa puisinya memenangkan lomba penulisan puisi. Sering
diundang membacakan puisi dan mengisi seminar kepenulisan sastra. Buku
puisinya: Nadhom Cinta (2012), Suluk Senja (2015). Buku kumpulan
esainya Sastra Nadhom (2015).
Menerima beberapa penghargaan, antara lain Pemuda Berprestasi di Bidang
Pendidikan, Seni, dan Budaya dari PemDa Brebes; dan masuk dalam tokoh penting
Kabupaten Brebes oleh Kabid Humas dan Protokoler Kab. Brebes. Menjadi pengasuh
komunitas sastra santri Pondok Pena Purwokerto, ketua Sanggar Suluk Bumiayu, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Kab. Brebes
(2015-2020).
[1] Sudarwan Danim. Agenda
Pembaruan Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 61.
[2] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi
dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 1. (Yogyakarta:
Javakarsamedia, 2012) hlm. 20.
[3] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi
dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 2. (Yogyakarta: Javakarsamedia,
2012) hlm. 150.
[5] Nyoman Kutha Ratna, Sastra
dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm 360-364.
[6]Silahkan
lihat lampiran keanggotaan antologi puisi PMK. Data ini belum ditambah dengan
tiga antologi senada, yakni Memo untuk
Presiden, Memo untuk Wakil Rakyat, dan
Perempuan Menentang Korupsi.
[7]Proses
kurasi dalam antologi buku ini dilakukan untuk menjaga entitas kesastraan dari
puisi yang dikirimkan. Dalam pada ini, sastra bertendensi yang mengedepankan
visi bukan berarti menanggalkan nilai-nilai estetis sebuah karya sastra. Hal
ini menampik anggapan bahwa puisi yang masuk antologi PMK adalah puisi asal
bunyi atau asal membahas korupsi.
[8]Untuk
melihat betapa gerakan ini begitu masif, terstruktur, dan sistematis, silahkan lihat lampiran
tentang jadwal Roadshow Menolak Korupsi.
[9] Dalam buku antologi PMK jilid 4, yang kemudian
diberi tajuk “ensiklopegila koruptor”, bahkan puisi-puisi di dalamnya
mencantumkan nama-nama koruptor berikut kasus masing-masing dengan variasi hukumannya.
Langkah ini adalah bukti konkrit gerakan PMK membuka mata masyarakat agar
mengenal satu persatu penjahat Negara yang mencuri uang Indonesia untuk
kepentingan pribadi. Maka membaca buku antologi PMK 4 adalah membaca
ensiklopedia koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.