Selasa, 15 Desember 2015

Menolak Korupsi dengan Puisi


MENOLAK KORUPSI DENGAN PUISI
*Dimas Indianto S. M.Pd.I.


Pada 23 Desember 2009, sebuah buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Century” karangan George Junus Aditjondro menyita perhatian masyarakat Indonesia. Buku setebal 183 ini menuai banyak komentar karena tercatutnya nama orang-orang penting seperti Presiden SBY, empat yayasan yang ditengarai berafiliasi dengan SBY, dan Ny. Ani Yudhoyono, Ramadhan Pohan, Jero Wacik, Hatta Rajasa, Edhie Baskoro, dan sederet nama para politikus lainnya. Buku yang diterbitkan oleh GalangPress ini banyak membeberkan indikasi kebusukan sistem oligarki atau mengguritanya persekongkolan kotor dalam tubuh pemerintahan SBY ketika itu.
Keberadaan buku itu menjadi bukti, bahwa George sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu membuat gerakan usaha pemberantasan korupsi melalui gerakan literasi. Bahkan selain membuat polemik berkepanjangan, lima hari setelah launching, 27 Desember buku ini sudah menghilang dari pasaran. Ini adalah indikasi bahwa ada pihak yang takut pada kebenaran atau data-data yang disuguhkan dalam buku ini. Potret ini menjadi bukti bahwa untuk menakuti koruptor tidak melulu dengan teriakan, demontrasi, bahkan mogok makan yang kerap dilakukan mahasiswa yang kadang tidak membuahkan hasil. Melalui tulisan yang menarik, George ternyata bisa membuka mata masyarakat Indonesia tentang sebuah praktik korupsi yang dilakukan para petinggi negeri ini.
Genealogi Korupsi
Jika menengok sejarah, korupsi memang suatu hal yang sudah sangat membudaya. Bahkan merupakan salah satu penghancur peradaban manusia. Di Mesir, Babilonia, Cina, India, Yunani, bahkannRomawi Kuno, korupsi memunculkan masalah yang dahsyat. Dalam ensiklopedi Britanica (1962), diungkapkan bahwa Hammurabi dari Babilonia yang naik tahta sekitar tahun 1200 SM memerintahkan seorang gubernur untuk menyidik perkara penyuapan terhadap aparat birokrasinya. Driver & Miles dalam The Babylonian Laws (1952) menulis, bahwa di tahun 200 SM, Shamash, Raja Assiria pernah menjatuhkan vonis pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap atau dalam eufemisme kita disebut uang pelicin.
Aksi-aksi korupsi oleh para pejabat birokrasi, berdampak mengerikan. Pada era kejayaan Romawi, misalnya, tindakan korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi membuat kerajaan itu menjadi bangkrut. Frank dalam An Economic Suurvey of Ancient Rome (1959) menulis, bahwa Raja Romawi, Julius Caesar, memberi contoh paling buruk dalam sejarah birokrasi negaranya. Dia merampas harta kekayaan provinsi untuk keuntungan pribadinya. Ketika menyerbu Spanyol, Sang Raja Romawi itu dililit utang ekstra besar. Dengan terjun ke medan perang itu, dia bermaksud melakukan pengelabuan untuk membebaskan diri dari belenggu utang tersebut, sekaligus untuk menghapus citra dirinya sebagai pejabat paling korup pada saat itu.[1]
Seperti halnya di banyak negara, perilaku koruptif di Indonesia sudah berlangsung sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah memberikan label atas hal itu sebagai telah membudaya. Bahkan dalam formulasi kuantitatif yang relatif, Begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan pernyataan kontroversial, bahwa kebocoran anggaran pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen.
Perlawanan dengan Jalan Bahasa
Diibaratkan sebuah penyakit, Korupsi adalah sebuah penyakit mematikan yang mudah menjangkit manusia. Sekali saja seorang manusia lengah dari kebersadaran diri, ia akan bisa terkena godaan penyakit yang satu ini. Oleh karena sifatnya yang lentur dan tidak nampak, korupsi menjadi godaan yang menggiurkan. Betapa tidak, di era serba cepat, efek globalisasi yang menawarkan hal-hal hedonis-pragmatis, siapapun sangat dengan mudah tergiur untuk mendapatkan “hasil” lebih banyak, dengan kinerja yang tidak begitu berat. Sekalipun dengan cara yang melanggar kode etik ataupun konvensi-konvensi yang berlaku.
Di titik yang memprihatinkan, jika korupsi menjangkit semua lapisan orang yang memiliki kedudukan di sebuah elemen negara, maka tinggal menunggu waktu hancurnya negara itu. Indonesia, sebagai bagian dari negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, tidak menutupkemungkinan untuk segera datang masa kehancuran. Mereka, para koruptor itu, tidak berpikir panjang atas ulah mereka. Sementara rakyat kecil, yang tidak menahu ikhwal perbuatan para petingginya, selalu menjadi korbannya.
Maka itu, untuk mengurangi angka korupsi di Indonesia, diperlukan keterlibatan masyarakat untuk memberantas tindakan korupsi, atau setidak-tidaknya mencegah korupsi yang lebih parah lagi. Salah satu yang bisa menjadi jalan adalah dengan jalan bahasa. Sebagaimana George dengan bukunya itu, menghadirkan data-data tentang tindakan koruptif yang melibatkan pejabat penting. George dengan tulisannya membuka mata rakyat untuk lebih awas melihat persoalan yang sedang terjadi, yang notabene adalah tindakan merugikan buat rakyat.
Langkah yang dilakukan oleh George itu, adalah sebagaimana Finochiaro mendefinisikan fungsi bahasa menjadi lima kelompok, 1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun perasaan; 2) fungsi interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial, 3) fungsi direktif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk mengatur oranglain, menyuruh oranglain, memberikan saran untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu, 4) fungsi refrensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referensi dengan menggunakan lambang bahasa; dan 5) fungsi imajinatif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu denagn berimajinasi.[2]
Dari sinilah, dengan jalan komunikasi lewat bahasa tulis, George membuktikan betapa bahasa sungguh memiliki peran yang sangat signifikan. George mengancam pihak-pihak yang dinyatakan bersalah, baik secara de jure maupun de facto. Tentang keterancaman dengan jalan bahasa ini, sebenarnya sudah dibuktikan bertahun-tahun yang lalu. Para penulis atau sastrawan yang menyuarakan perlawanan dengan jalan sastra, misalnya, menjadi buronan para politisi dan pejabat yang terkait. Adalah sebagaimana yang dialami Pramoedya Ananta Toer, ataupun Widji Thukul, misalnya, yang beberapa kali diasingkan, bahkan Thukul tidak diketahui ke mana rimbanya hingga detik ini, disinyalir adalah oleh karena mereka keras dalam menentang kekejaman rezim melalui tulisan, melalui bahasa: melalui sastra.
Puisi Menolak Korupsi
Baru-baru ini, muncul gerakan Puisi Menolak Korupsi, yaitu sebuah gerakan yang masif, terstruktur, dan sistematis dari bagian masyarakat untuk membukukan puisi-puisi bertemakan penolakan terhadap bahaya laten korupsi di Indonesia. Gerakan yang dikoordinatori oleh sastrawan Sosiawan Leak ini pantas dicatat dan distabilo dalam sejarah perlawanan terhadap korupsi. Betapa tidak, dari namanya saja, Puisi Menolak Korupsi, bukan penyair menolak korupsi. Ini menekankan bahwa penolakan terhadap korupsi adalah tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Jadi dalam gerakan ini yang terpenting adalah puisi yang berbicara, tidak dibatasi hanya penyair saja yang menuliskan puisi, tetapi siapapun yang mempunyai ketertarikan menuliskan ikhwal penolakan terhadap korupsi. Presiden John F. Kennedy pernah mengatakan dalam pidatonya, bahwa jika politik bengkok puisi yang meluruskan (bukan penyair yang meluruskan). Seirama dengan itu, Seno Gumira Adjidarma, seorang cerpenis terkenal mengatakan dalam bukunya jika jurnalisme dibungkam sastra berbicara (sastra bukan sastrawan). Kedua adagium itu sarat dengan muatan kemahadahsyatan sebuah sastra, sebuah puisi.
Manusia itu terkutuk untuk bebas, begitu kata Jean Paul Sartre. Manusia dengan jiwa bebasnya tak ingin tertindas oleh kepentingan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Penyair adalah sebagian orang yang memilihnya dari jalur bahasa. Mereka maju ke depan sebagai corong kemanusiaan untuk menyuarakan itu. Segala yang membuat mereka terusik itu tertanam dalam karya mereka, yang dengannya jutaan manusia lain bisa mengambil perenungan untuk menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Buah pemikiran yang bening itu seperti mata air, siapapun dan dengan latar belakang apapun boleh dan bisa menimbanya sehingga mengalirkan pemikiran segar baru darinya.[3]
Mengapa dengan puisi? Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan, baik berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-sosial-politik-ekonomi-budaya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran penyair diekspresikan secara unik dan menarik.Puisi merupakan proyek filsafat yang selalu meruahkan pertanyaan. Setiap pertanyaan akan melahirkan banyak jawaban, formula, konsep, tata nilai dan yang pasti tak habis dimaknai.
Teks puisi dibentuk dan diciptakan oleh penyair tampaknya berdasarkan desakan emosional dan rasional. Puisi karya penyair, sejalan dengan wawasan Luxemburg, merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi. Maka wajar jika unsur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting, visi, misi, dan konsepsinya mewarnai puisi yang ditulis. Penggunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa lain oleh penyair dimaksudkan untuk memadatkan dan mengefektifkan pengungkapan.
Dalam pada ini, puisi tidak bisa diremehkan. Banyak sastrawan-sastrawan yang mengungkapkan bahwa puisi bukanlah karya biasa, yang ditafsirkan dengan bahasa biasa-biasa saja, dibacakan dengan nada biasa, dan diolah pikir dengan cara-cara biasa. HB. Jassin, seorang kritikus sastraIndonesia, mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Dalam puisi itu, pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia agung dengan pikiran dan perasaannya. Edgar Allan Poe, seorang penulis berkebangsaan Amerika, mengatakan bahwa puisi adalahh ciptaan dengan irama keindahan yang dimaksudkan untuk meluhurkan jiwa. Percy Bysche Shelly, mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan.
Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan penuh daya, dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organiasai tertinggi dari kegiatan intelektual manusia. Senada dengan tu, Bradley mengatakan puisi adalah semangat. Sementara, Ralph Woldo Emerson mengatakan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk engekspresikan jiwa sesuatu untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan lain dan alasan yang menyebabkannya ada.[4]
Dari Roadshow ke Roadshow
Gerakan Puisi Menolak Korupsi, jika dikategorikan sebagai sebuah genre karya, adalah karya sastra bertendensi. Yaitu salah satu genre sastra yang berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Sebagai juru bicara kelompok, penyair semenjak awal telah dibekali dengan niat dan ideologi tertentu. Karya sastra dijadikan alat yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud-maksudnya.Lahirnya sastra bertendensi justru diakibatkan oleh adanya anggapan bahwa karya sastra menduduki posisi yang penting dalam masyarakat. Melalui sastra dapat disalurkan berbagai aspirasi, visi, dan missi, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.[5]
Oleh sebab itu, wajar bila Sosiawan Leak mengatakan Gerakan Puisi Menolak Korupsi berbasis moral dan bergerak dalam ranah kebudayaan. Sebagaimana namanya, gerakan ini melakukan aktivitasnya dengan puisi (anak kandung kebudayaan) sebagai sumber ekspresinya. Maka, ia tak akan pernah bisa lepas dengan hal-hal yang terkait dengan puisi (menulis puisi, membaca puisi, mencetak puisi, menerbitkan puisi, mementaskan puisi, merayakan puisi, mendiskusikan puisi, dan lain-lain) selama puisi-puisi tersebut mengolah tema korupsi”. Dalam pada ini penolakan terhadap korupsi adalah sebuah misi suci yang dipanjikan para anggotanya.
Gerakan ini terus melancarkan penolakan terhadap korupsi dengan melibatkan masyarakat secara luas, terbukti anggota dari gerakan ini bukan semata penyair yang namanya sudah besar di media-media, melainkan juga ibu-ibu, pedagang, karyawan, guru, wartawan, mahasiswa hingga siswa sekolah. Pada antologi puisi PMK jilid 1, terdapat sedikitnya 85 orang yang ikut serta, sedangkan antologi PMK jilid 2 yakni 2a dan 2b (oleh karena jumlah orang yang ingin bergabung jumlahnya semakin banyak) yakni 197 orang, sementara antologi PMK jilid 3 (edisi Pelajar Menolak Puisi) adalah 286 pelajar seluruh Indonesia, dan PMK jilid 4 (mengambil tema Ensiklopegila Koruptor) terdapat 175 orang yang bergabung.[6]
Bukti bahwa gerakan PMK merupakan sebuah respresetasi dari gerakan masyarakat menolak korupsi adalah dengan diberlakukannya konsep iuran dan “saweran”. Penerbitan buku-buku antologi PMK ini murni atas dana swadaya masing-masing kontributor puisi. Jadi, sesiapa yang karyanya dinyatakan masuk (setelah proses kurasi ketat oleh Sosiawan Leak)[7] melakukan iuran untuk pendanaan penerbitan buku. Sedangkan “saweran” adalah istilah dalam gerakan PMK bagi masing-masing kontributor yang ingin mmberikan iuran atau sumbangan lebih demi kelancaran Gerakan PMK.
Hal ini dilakukan, oleh sebab gerakan PMK tidak sekedar membukukan puisi saja, melainkan juga membacakannya dari kota satu ke kota lain yang kemudian dinamakan roadshow menolak korupsi. Sebagimana menurut Laswell, agar komunikasi itu bisa diterima dengan baik maka harus ada komponen-komponen pendukung yaitu harus ada si pengirim atau pihak yang menyampaikan pesan, ada pesan yang ingin disampaikan, ada media atau perantara untuk menyampaikan pesan, ada penerima pesan, ada umpan balik atau tanggapan dari penerimaan pesan dan ada aturan-aturan yang disepakati. Media itu adalah pembacaan puisi, deklamasi puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, hingga lomba baca puisi dari kota ke kota.[8]
Misi utama dalam pelaksanaan roadshow ini adalah bahwa puisi lahir dari suara masyarakat dan untuk masyarakat. Menyebarkan semangat untuk menolak korupsi harus berkelanjutan. Mengabarkan bahwa pelaku korupsi harus dikenakan sangsi sosial berupa pengecaman dari masyarakat.[9] Puisi yang telah dibukukan kemudian dibacakan di berbagai forum dan tempat di berbagai kota di Indonesia, sehingga muatan dari puisi tersebut tersampaikan. Bahkan di setiap roadshow PMK, selalu diadakan diskusi perihal persoalan korupsi dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkompeten baik dosen, pengamat politik, pengamat sosial, maupun para budayawan untuk bisa menjadi partner dalam usaha memberantas korupsi. Dengan begitu, gerakan ini, adalah representasi dari rasa cinta (sense of belonging) masyarakat, khususnya penyair, terhadap tanah air Indonesia. Hal ini sebagaimana Jean Paul Sartre pernah menuliskan tentang “Tanggungjawab Pengarang”, menurutnya pengarang semestinya selalu mengorientasikan dirinya dengan peristiwa-peristiwa aktuil di mana pun dari bumi ini. Tabik.

Yogyakarta, 14 Desember 2015.


*Dimas Indianto S. M.Pd.I. mempunyai nama pena Dimas Indiana Senja. Lahir di Brebes, 20 Desember 1990. Alumni pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan resensi buku. Beberapa puisinya memenangkan lomba penulisan puisi. Sering diundang membacakan puisi dan mengisi seminar kepenulisan sastra. Buku puisinya: Nadhom Cinta (2012), Suluk Senja (2015). Buku kumpulan esainya Sastra Nadhom (2015). Menerima beberapa penghargaan, antara lain Pemuda Berprestasi di Bidang Pendidikan, Seni, dan Budaya dari PemDa Brebes; dan masuk dalam tokoh penting Kabupaten Brebes oleh Kabid Humas dan Protokoler Kab. Brebes. Menjadi pengasuh komunitas sastra santri Pondok Pena Purwokerto, ketua Sanggar Suluk Bumiayu, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Kab. Brebes (2015-2020).


[1] Sudarwan Danim. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 61.
[2] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 1. (Yogyakarta: Javakarsamedia, 2012) hlm. 20.
[3] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 2. (Yogyakarta: Javakarsamedia, 2012) hlm. 150.
[4]Ibid.,hlm. 169
[5] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm 360-364.
[6]Silahkan lihat lampiran keanggotaan antologi puisi PMK. Data ini belum ditambah dengan tiga antologi senada, yakni Memo untuk Presiden, Memo untuk Wakil Rakyat, dan Perempuan Menentang Korupsi.
[7]Proses kurasi dalam antologi buku ini dilakukan untuk menjaga entitas kesastraan dari puisi yang dikirimkan. Dalam pada ini, sastra bertendensi yang mengedepankan visi bukan berarti menanggalkan nilai-nilai estetis sebuah karya sastra. Hal ini menampik anggapan bahwa puisi yang masuk antologi PMK adalah puisi asal bunyi atau asal membahas korupsi.
[8]Untuk melihat betapa gerakan ini begitu masif, terstruktur, dan sistematis, silahkan lihat lampiran tentang jadwal Roadshow Menolak Korupsi.
[9] Dalam buku antologi PMK jilid 4, yang kemudian diberi tajuk “ensiklopegila koruptor”, bahkan puisi-puisi di dalamnya mencantumkan nama-nama koruptor berikut kasus masing-masing dengan variasi hukumannya. Langkah ini adalah bukti konkrit gerakan PMK membuka mata masyarakat agar mengenal satu persatu penjahat Negara yang mencuri uang Indonesia untuk kepentingan pribadi. Maka membaca buku antologi PMK 4 adalah membaca ensiklopedia koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.