18 Mei
2014 pukul 21:31
(Media
Kalimantan, 18 Mei 2014: A4)
Oleh:
HE. Benyamine
Perjalanan
menuju kota Amuntai, sesaat mendekat pintu gerbang kota, terhampar luas lahan
basah di kiri kanan jalan raya (Danau Tapus), yang seakan menggambarkan berkah
kehidupan bagi warga Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pemandangan rawa yang sepuas
dan memanjakan mata memandang, begitu lapang berkah langsung dan potensial bagi
kabupaten yang berjuluk sebagai kota bertakwa. Kota Amuntai menjadi tujuan Road
Show Puisi Menolak Korupsi (PMK) ke-19 yang sekaligus menjadi bagian rangkaian
milad Kabupaten HSU pada 14 Mei 2014 di Siring Itik sungai Nagara.
Maskot
kota Amuntai, patung sepasang itik di Siring Itik sungai Nagara, menambah
penanda kesadaran masyarakat bahwa air dan rawa merupakan bagian kebudayaan
yang mempengaruhi hidup dan kehidupan, yang menjadi tempat acara Road Show PMK
pada malam hari, dengan sambutan Bupati Kabupaten HSU (dibacakan) yang
menyatakan puisi menjadi bagian dari perjuangan dan ekspresi diri serta mendukung
gerakan moral menolak korupsi, yang sekaligus membuka acara dengan pemukulan
gong (diwakilkan).
Sebelumnya, sambutan ketua pelaksana Murdjani dan Ketua Dewan Kesenian HSU Harun Al Rasyid, menunjukkan kehangatan dan kebahagiaan terselenggaranya acara ini.
Sebelumnya, sambutan ketua pelaksana Murdjani dan Ketua Dewan Kesenian HSU Harun Al Rasyid, menunjukkan kehangatan dan kebahagiaan terselenggaranya acara ini.
Penampilan
Sanggar Air Amuntai, semua galuh berpakaian putih, dan Hendra Royadi dengan
pakaian hitam panjang khasnya, membuat suasana berdetak dengan perlahan menuju
degup yang semakin cepat. Sanggar Air menampilkan musikalisasi puisi, yang
melepaskan Curhat Kepada Tuhan Tentang Korupsi karya Iberamsyah Barbary yang
diiringi garapan musik bercorak lembut dengan gangguan harmonis dari beberapa
alat musik tertentu, seakan menjamu rembulan yang hadir dengan penuh dan aliran
sungai Nagara yang sedang layaknya pasang.
Kehadiran istri bupati Kabupaten HSU, Dra. Hj. Anisah Rasyidah Wahid, M.AP., yang berkenan membaca puisi karya beliau dengan pesan jelas sebuah tekad menolak korupsi, menambah suasana malam di Siring Itik bertambah akrab dan arah penyatuan hati yang hangat dan terbuka. Hj. Anisah tampil seperti sudah biasa dengan pembacaan puisi, dan beliau bertahan hingga acara berakhir; puisi menjadi sesuatu yang berarti dalam diri beliau. Kota Amuntai benar-benar sedang berpuisi.
Gerakan
PMK di suatu kota menjadi bergelora ketika para pelajar terlibat dalam road
show, seperti Teater Pahajatan SMPN 2 Paringin yang tampil memukau dengan
menggemakan puisi Sosiawan Leak dalam bentuk teatrikal puisi. Teater Pahajatan
tampil dengan gerak tari Dayak, memberi tekanan yang khas pada pesan puisi,
dengan ringan dan mengalir mereka tampil penuh semangat dan kepercayaan diri
yang kuat; tak ada keselamatan pada korupsi kecuali kerusakan dan kedurhakaan.
Begitu
juga dengan penampilan Sanggar Buluh Marindu dari kota Barabai, merupakan
pelajar sekolah menengah atas, yang mengintrodusikan perlawanan Dayak dalam
teaterikal puisi tentang wabah tikus (baca: korupsi), dengan gerak tari Dayak
dan mamang yang diterobos larik-larik yang disuarakan secara bergantian; semua
tikus – tiada lain selain racun tikus. Rezqie Muhammad AlFajar tampil dalam
gerak yang merasuk dengan dupa yang menghambur menambah mistis gerakan PMK
malam yang semakin larut dalam pusaran keberpihakan untuk bersama menolak
korupsi.
Persembahan
anak-anak (usia 5 – 10 tahun) Ahmad Azhar Ajang, dengan seni wushu
menyuguhkan tampilan yang menguatkan, seperti tampilan permainan pedang sebagai
pedang pemutus korupsi, dan gerakan dua anak perempuannya dengan kipas merahnya
diiringi Ajang membaca puisi yang menguatkan pesan puisi bahwa gerakan tetap
dalam daya yang kuat. Ajang sempat mempromosikan kerajinan khas Amuntai dan
kulinernya, karena ia berasal dari kota Amuntai yang sekarang sedang bertugas
di kota Marabahan, Batola.
Sebagaimana
Teater Pahajatan, tampil juga Teater Benteng Tundakan SMAN 1 Awayan, yang
mendapat sentuhan Imam Balangan Bukhori dan Fahmi Wahid, menampilkan teaterikal
puisi tentang pembabatan hutan yang kesetanan. Para pelajar menengah atas dari
kota Balangan ini memberi warna pada gerakan PMK ke-19, mereka tampil dengan
gerak yang dinamis dan suara yang lantang, seraya dipandu ketukan pentungan
dari bambu. Kerusakan alam, khususnya hutan, hanya meninggalkan kesengsaraan
yang menyebar bagi warga dan kehidupan alam di daerah saja, para perambah pesta
di luar sana. Gerakan ini melihat banyak celah korupsi yang menusuk tak
berbentuk, begitulah tumbangnya pohon-pohon di hutan perawan dengan fauna dan
flora yang beragam kaya; yang kemudian tersisa lahan kritis belaka. Kota
Balangan hadir di Amuntai sekitar 26 orang, bersama ketua Dewan Kesenian
Balangan (DKB) dan wakil ketua serta pengurus lainnya.
Setelah
Road Show PMK ke-19 di Amuntai ini, kota Balangan mengadakan acara Bumi Sanggam
Berpuisi (16/5), menurut Fahmi Wahid, “Sanggar Mamang Balangan bersama Dewan
Kesenian Balangan mengajak Publik Bumi Sanggam, Komunitas Seni/Sanggar,
Sastrawan, penyair, penggiat, peminat sastra se Kalimantan Selatan
lewat pembacaan puisi yang dikemas dalam acara Bumi Sanggam Berpuisi.
Insya Allah dilaksanakan Malam Sabtu, 16 Mei 2014, pukul 20:30 Wita s/d selesai
di Bundaran Taman Sanggam Paringin.” Hingga tulisan ini dibuat, acara Bumi
Sanggam Berpuisi masih berlangsung, dengan dihadiri Iberamsyah Amandit, Ali
Syamsudin Arsi, dan lainnya.
Sebagaimana
informasi dari Arsyad Indradi si Penyair Gila, bahwa Laskar PMK dari luar
Kalsel ada 4 orang; Sosiawan Leak (Solo), Wage Tegoeh Wijono
(Purwokerto), Surya Hadi (Sastra Riau), dan Bambang Eka Prasetya
(Magelang), mereka sebagian transit di rumah beliau, yang pada malam
tanggal 13 Mei berkumpul di Mingguraya untuk segelas kopi dan berbagai suguhan
pembicaraan yang akrab. Jendral PMK Sosiawan Leak membaca puisi dengan penuh
daya, yang mengajak semua yang hadir di Siring Itik sungai Nagara untuk
menjawab ucapannya; “Satu Hati” dengan “Tolak Korupsi”, yang seakan menggema di
area pembacaan dan terbawa aliran sungai Nagara yang seolah sedang pasang itu.
Begitu juga dengan Wage Tegoeh Wijono dan Surya Hadi, tampil dengan gaya yang
memukau dan menghibur.
Sedangkan
Bambang Eka Prasetya (BEP) berdua dengan Nazwa Belibisqie membacakan puisi
karya BEP, yang didahului dengan gaya BEP sedang menjalin dialog dalam mimpi
dengan bung Karno tentang merajalelanya korupsi, lalu suara sayup bersilang
lantang dari Nazwa menjadikan pesan puisi seakan bergerilya sendiri menyapa
hati pendengarnya, yang sedikit disenandungkan oleh Nazwa dalam bentuk syair.
Penyair Gila, Arsyad Indradi, tampil dengan gaya khasnya menegaskan gerakan PMK
dengan doa kuat terus bergerak. Begitu juga semangat Iberamsyah Amandit yang
tampil dengan lantang, seperti daya tambahan bagi yang muda untuk menanamkan
keberkatan dalam perjuangan yang bernilai; tolak korupsi.
Road
Show PMK ke-19 di Amuntai, Maria Roeslie tampil dengan pantun karyanya yang spontan,
sebagai bentuk perlawanan yang ringkas dan langsung pada tujuan, seperti
pantunnya di bawah ini yang dibacakan di atas panggung malam itu:
Awak
jingkar kada ma'asi
Lakasi
bakalumbun ujar bini
Muar
banar ngarannya kurupsi
Makanya
ulun ada di sini
Paluh
limbui tuntung mainan
Manangis
jingkar rabit jariji
Lakasi
ditutui biar nyaman
Kurupsi
ba'akar kita cabuti
Maria
Roeslie telah menarik bentuk tradisi lisan, dalam bentuk pantun, sebagai alat
perjuangan dan pergerakan, yang dapat dilihat pada pantun-pantunnya spontan
yang dibuat sepanjang perjalanan menuju kota Amuntai: “Tulak ka Amuntai
mangganyang kurupsi/ Singgah ka pantai manungap nasi/ Biar tabantai bahati
wasi/ Jangan santai ayu lakasi”. Pantun dapat menjadi pintu masuk gerakan
menolak korupsi, yang bagi Samsuni Sarman bahwa PMK dapat dipanjangkan menjadi
Pantun Menolak Korupsi, karena pendek dan langsung dituturkan selain
lebih bergaya menghibur namun dapat menyelinap dengan halus pesannya.
Untuk
menghangatkan Road Show PMK ke-19 di Amuntai, Aan Setiawan melakukan ekspedisi
dengan mengendarai motor yang berbendera putih dengan tulisan Puisi Menolah
Korupsi, yang baginya diberi nama Ekspedisi 19 Teriakan, karena
menurutnya, “Roadshow PMK di Amuntai adalah yang ke-19, dan ini
merupakan kebanggaan tersendiri karena Kalimantan Selatan menjadi tempat
roadshow PMK, yang sebelumnya pernah dilaksanakan di Banjarbaru (Roadshow PMK
ke- 3). … aku akan berangkat dari Banjarbaru (Mingguraya) ba'da shubuh sekitar
jam 05.30 Wita dan akan kubacakan 1 puisi untuk mengawali keberangkatanku
(puisi di buku PMK jilid1, 2a, atau 2b). Selanjutnya, aku akan membacakan 18
puisi lagi selama perjalanan di suatu tempat yang kusinggahi. Seperti di tugu
Ketupat Kandangan, Tugu Serambi Madinah, Lapangan Lambung Mangkurat, Tugu
Garuda di Barabai, dll.”
Pada
kesempatan tampil, Aan Setiawan berkolaborasi dengan Bagan Kandangan, yang
membacakan puisi dengan ungkapan yang berbeda pada posisi yang berjauhan, dan
kesempatan ini memberi peluang bagi interaksi dan keterlibatan yang lain,
sehingga ketika Aan Setiawan beraksi yang disambung Bagan, suasana menjadi riuh
dan pandangan penonton terbagi, lalu ada yang lain berteriak seperti menjadi
bagian dari pertunjukan. Penampilan Aan dan Bagan menyatu di depan panggung,
yang kemudian mencapai puncak kejutan ketika Aan Setiawan tiba-tiba berteriak
dan meloncat ke sungai Nagara; korupsi membuat segala kegelapan menjadi pekat
dan duka. Ternyata, Bagan Kandangan dengan gerakan yang tak disangka juga
melompat ke sungai, sebagai penutup puisinya; lantang tolak korupsi!
Penampilan
Chacha dari Tabalong yang membacakan puisi Jika Itu Pasti karya Lilies MS,
dengan intonasi dan tekanan yang jelas, maka “Malam ini/sebenarnyalah ingin
kujatuhkan lagi puisiku/seperti kata hatinya/dan kelestarianlah, ranah ramah
lingkunganlah menjadi lukisan sejati hatiku/Bukankah juga hatimu?!” yang
membawa pada alam dan lingkungan rawa yang begitu kaya akan keanekaragaman
hayati dan potensi yang luar biasa dalam menghidupkan produksi keluarga.
Tabalong hadir dengan Lilies MS, Masdoel Huck, Mahfuzh Amin, dan lainnya juga
memberikan suasana satu hati dalam menolak korupsi.
Tampilan
Agustina Thamrin dan Tries Chandra (Banjarbaru), serta Helwatin Nazwa
(Kotabaru), yang membacakan puisi Sosiawan Leak bernama Senjata Selangkangan,
membuat suasana tambah hangat, karena ketiganya begitu bersemangat untuk
keberpihakan pada yang lemah dan terabaikan akibat korupsi. Sedangkan Ali
Syamsudin Arsi berkolaborasi dengan Sanggar Buluh Marindu membacakan puisi
karyanya yang bertajuk Cau Cau, seakan mengajak beberapa anggota Sanggar Galuh
Marindu merasakan perjalanan puisi yang mengalir di sungai Nagara ketika mereka
bersama membacakan puisi ASA tersebut, yang terkadang datang air baah dan
keruh, namun suara itu terus diteriakkan.
Kota Amuntai menjamu puisi dengan lapang dan terhormat, penyair dan penggiat budaya HSU tampak hadir bergandengan tangan, seperti Hasbi Salim, Fahrurraji Asmuni, Alkalani Muchtar, Hendra Setiawan, dan lainnya. Pada pagi hari, Fahrurraji Asmuni menjadi pemandu rombongan kota Banjarbaru menikmati wisata Candi Agung, dengan menanggung tiket masuk dan kudapan wadai cincin talipuk dan pais sagu, hingga melepas keberangkatan rombongan yang di dalamnya ada dari luar Kalimantan Selatan. Selain Samsuni Sarman, juga terlihat Zulfaisal Putera, Amrie Sihanang dan Kayla Untara yang mengundang acara tanggal 17 Mei dalam rangka D. ALRI IV proklamasi di Taman Dwi Warna bersama Lapak Sastra Barabai, Ratna, Hj. Fathul Sufath, dan banyak rombongan dari Barabai lainnya. Rombongan Banjarbaru terdapat Kru Banjarbaru Dalam Lensa, Nabila (pelajar Martapura yang puisinya masuk dalam antologi PMK Pelajar), Yulian Manan, Yudist Wira, Shan Baskoro, Ahmad Dani, Dahlia, Andrie Alfiannoor, dan lainnya.
Pada
subuh Kamis, pasar pagi kerajinan di depan Plaza Amuntai, yang berasal dari
para pengrajin di kabupaten HSU, seakan menyambungkan hamparan luas rawa yang
ada sebelum memasuki kota Amuntai. Bahan purun dan anau yang menjadi bahan
mentah produktivitas warga HSU, menunjukkan begitu terhubungnya rawa dengan
kebudayaan, apalagi seperti yang diungkapkan Ahmad Azhar Ajang dan Nazwa
Belibisqie bahwa Amuntai kaya dengan kuliner, seperti wadai cincin
talipuk (teratai) dan pais sagu; yang keduanya juga terhubung dengan adanya
rawa.
Dalam
perjalanan pulang, Sosiawan Leak dan Maria Roeslie, merasakan harga
produktivitas warga sangat murah, karena menurut Sosiawan Leak di Jawa sudah
mulai sulit ditemukan purun sebagai bahan baku kerajinan seperti yang ada di
pasar Kamis Amuntai. Menurutnya, Amuntai dapat lebih berkembang dengan potensi
rawa yang kaya tersebut, yang tentu saja dibutuhkan kebijakan dari pemerintah
daerah untuk lebih menggerakkan dan meningkatkan nilai tambahnya.
Di
perjalanan menuju kota Amuntai, warga ada yang membakar pais telor ikan puyau,
sebagai bagian dari kekayaan rawa yang masih lebih banyak hanya sebagai
potensi, yang membayangkan bagaimana warga HSU telah menjadi warga yang
produktif dan mengarah pada jiwa kewirausahaan dengan memanfaatkan sumberdaya
rawa yang terhampar luas. Kerajinan purun bergantung dengan rawa, kuliner pais
sagu dan cincin talipuk terikat dengan rawa, pais telor ikan puyau dari
rumahnya rawa, dan begitulah kebudayaan yang telah menjadi keseluruhan hidup
dan kehidupan warga HSU yang sudah seharusnya dijaga dan dipelihara dengan
pengembangan dan pengolahan yang berbasis kebudayaan; tanpa melakukan perubahan
secara besar dan masif. Pengabaian pengetahuan lokal (indigeous knowledge)
cenderung sebagai bentuk tindakan korup.
Road
Show Puisi Menolak Korupsi (PMK) ke-19 terasa bermartabat dan bermakna
terselenggara di kota Amuntai, kehalusan dan kelembutan hati yang menyatukan
gerakan dan kesadaran bahwa korupsi harus ditolak.
Satu
Hati – Tolak Korupsi! Kota Amuntai Bertakwa – Tolak Korupsi!
Banjarbaru,
17 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.