Oleh: Wardjito Soeharso
Korupsi adalah tematik berita paling panas sekarang ini. Hampir semua media
massa menyoroti secara khusus berita-berita tentang korupsi. Karena memang
korupsi melibatkan penguasa negara dari level atas sampai yang terbawah. Itulah
sebabnya, walaupun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ditugasi
“berperang” melawan korupsi, sepertinya korupsi bukannya melemah dan berkurang,
tetapi justru seperti makin menguat dan menggurita. KPK melawan korupsi seperti
Liliput melawan Goliath.
Korupsi memang tidak lepas dari kekuasaan. Kekuasaan itu cenderung korup, power tends to corrupt. Kita di
Indonesia sudah punya banyak contoh. Presiden korupsi, ada, walau sudah
almarhum (Soeharto). Menteri korupsi, banyak yang sudah diadili dan masuk bui.
Gubernur korupsi, banyak yang sudah terbukti dan yang masih antri.
Bupati/walikota korupsi, menurut survey 40% dari bupati/walikota di Indonesia
terindikasi korupsi. Begitu juga dengan para wakil rakyat, penegak hukum,
birokrasi, semua seolah berlomba ikut terlibat dengan korupsi.
Sejujurnya, nampaknya sangat sulit mencari pejabat yang tidak korupsi di
negeri ini. Gaya hidup sebagian besar mereka memperlihatkan kemewahan yang
secara kasat mata tidak sebanding dengan penghasilan resmi mereka. Meskipun
demikian, mereka berani tampil secara terbuka. Lihat saja, baru-baru ini gencar
diberitakan di media massa, para anggota DPR yang terhormat, gemar mengoleksi
mobil mewah. Di lapangan parkir gedung DPR di Senayan, berjejer mobil-mobil
mewah berharga miliaran rupiah. Mereka sudah tidak merasa risih lagi pamer
kemewahan. Semua itu karena masyarakat melihat korupsi bukan suatu hal yang
aneh lagi. Tata nilai masyarakat tentang makna keberhasilan seseorang telah
jauh berubah. Keberhasilan sekarang ini dilihat dari sudut pandang materialistik.
Orang disebut sukses apabila punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah.
Sedang orang yang hidup sederhana, apalagi miskin, selalu saja disebut sebagai
orang yang gagal.
Bisa dimengerti apabila kemudian orang cenderung berusaha sekuat tenaga
untuk dapat memperlihatkan kesuksesan itu dengan segala bentuk kemewahan. Di
mana-mana yang namanya pejabat cenderung berusaha tampil mewah. Celakanya,
masyarakat sudah salah kaprah. Pejabat yang tampil mewah disebut sebagai
pejabat yang sukses. Padahal, masyarakat tahu persis gaji pejabat tidak mungkin
dapat dipakai untuk hidup mewah. Apologi yang berlaku kemudian adalah, pejabat
dapat hidup mewah karena banyak “pat gulipatnya”. Dan pat gulipat pejabat ini
dipercaya masyarakat justru jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Dari sini,
jelas kiranya, persepsi masyarakat tentang pejabat korupsi. Masyarakat tahu
belaka kemewahan itu diperoleh dari perilaku pat gulipat yang nota bene adalah
korupsi, namun masyarakat tidak peduli. Karena masyarakat tidak peduli, para
pejabat pun tidak lagi punya perasaan risih, tidak takut dicurigai kemewahannya
diperoleh dari korupsi. Semakin mewah penampilan seorang pejabat, semakin
tinggi wibawanya dan semakin banyak dihormati.Sebaliknya, bila ada pejabat yang
tampil seadanya, sederhana, tidak punya apa-apa, malah dilecehkan, diejek
sebagai pejabat goblok yang tidak mampu memanfaatkan kesempatan.
Pejabat itu manja
Persepsi salah kaprah itu tentu tidak muncul begitu saja. Mengapa pejabat
selalu ingin tampil serba mewah, sepertinya karena memang pemerintah sendiri
cenderung memanjakan pejabatnya. Pejabat diberi fasilitas yang serba mewah
untuk menaikkan pamor wibawanya , sehingga secara psikis seorang pejabat memang
seperti sengaja dibentuk menjadi sosok yang harus tampil mewah agar berwibawa.
Lihat saja, ruang kerja pejabat selalu luas dengan kelengkapan furniture
berselera. Meja kerjanya pun kebanyakan meja biro besar, lebar, dengan kursi
duduk empuk bersandaran tinggi. Papan nama dan jabatan dari kayu berukir
bertengger di atas meja kerja, yang akan selalu dibaca oleh siapa saja yang
menghadap kepadanya. Semua keperluannya dilayani dengan baik oleh stafnya, dari
yang sangat pribadi seperti makan minum sampai urusan dinas seperti surat
menyurat. Ditambah bila pergi ke mana saja didampingi ajudan dan disediakan
mobil yang juga mewah. Dapat dibayangkan, suasana psikis seperti apa yang
muncul dalam diri para pejabat itu. Semua kemewahan itu begitu enak dan
menyenangkan, malah melenakan. Sudah tertanam dalam mindset mereka, jabatan identik dengan kemewahan, dan kemewahan itu
sendiri selalu melekat uang bersamanya. Maka, wajar saja bila mereka kemudian
saling berlomba untuk meraih jabatan yang lebih tinggi karena mereka sangat
paham, semakin tinggi jabatan akan memberikan fasilitas kemewahan semakin
tinggi juga.
Megalomania! Itulah sebenarnya yang sedang terjadi pada diri para pejabat di
negeri ini. Sebuah sindroma psikologis bagi seseorang yang selalu ingin
kelihatan besar, tinggi, berkuasa, mewah, dan sejenisnya (lihat wikipedia).
Pokoknya semua harus serba “wah”. Sindroma megalomania ini bahkan terbawa dalam
pola kerja. Yang muncul kemudian adalah berbagai program yang berorientasi pada
yang serba “ter”, seperti membangun gedung tertinggi, terbesar, termegah;
membuat jembatan terpanjang, terkokoh; membangun pasar atau taman rekreasi
terlengkap, termodern; memasang videotron terbanyak, tercanggih; dan seabreg
kerja lain yang semuanya cenderung berkonotasi mega (besar). Para pejabat itu
dengan bangganya akan memamerkan ke mana saja karya-karya yang serba ter itu.
Sebaliknya, untuk kerja yang tidak memiliki nilai ter atau mega, mereka
menjadi seperti malas mengerjakannya. Lihat saja program penataan Pasar
Tradisional, sanitasi lingkungan,
bantuan beras untuk si miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat
(jamkesmas), penataan pedagang kaki lima (PKL), dan masih banyak kerja populis
lainnya, selalu saja terkesan tidak serius, rumit dan berbelit dengan masalah.
Semua itu artinya cuma satu: kerja bernilai mega memberikan kebanggaan,
applaus, kepuasan, dan tentu saja fee atau gratifikasi berupa uang; sementara
kerja populis mengurusi rakyat adalah kerja bakti, yang tidak memberikan
apa-apa kecuali caci maki kalau rakyat tersakiti, atau sekedar simpati dan
apresiasi kalau rakyat menyukai.
Kondisi fisik dan psikis lingkungan kerja seperti itu tanpa sadar kemudian
terbawa ke luar. Kalau di kantor ruang kerjanya luas, meja kerjanya besar,
kursi duduknya tinggi, mobilnya mewah, semua itu sepertinya harus pula diikuti
dengan apa yang ada di luar kantornya. Inilah jawaban mengapa para pejabat
kemudian sangat haus dengan tanah yang luas, rumah yang besar dan megah, mobil
mahal dan mewah, dan berbagai status terhormat dalam berbagai organisasi
non-dinas lainnya.
Jadi tidak perlu heran apabila dari hari ke hari semakin banyak saja pejabat
yang terbukti melakukan korupsi. Sindroma megalomania menuntut pemenuhan
kebutuhan yang akan terus bertambah dan bertambah, tidak pernah tahu sampai di
mana batas akhirnya. Dan, memang itulah faktanya: korupsi karena dorongan
kebutuhan persentasenya mencapai 85% dari total kasus korupsi yang terjadi
(KPK: 2005).
Kalau fakta obyektifnya seperti ini, mestinya pemerintah tidak perlu lagi
memanjakan pejabatnya. Bisa saja dibuat aturan, spesifikasi gedung sederhana
untuk kantor-kantor pemerintah. Seperti apa ruang kerja, kelengkapan mebelair,
dan kursi duduk legislator, politisi, menteri, gubernur, bupati/walikota,
pejabat eselon 1, 2, 3, dan seterusnya. Mobil seperti apa yang mencerminkan
kesederhanaan untuk anggota DPR, menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat
eselon, dan seterusnya. Dengan aturan yang jelas, tidak akan ada lagi
perlombaan pembangunan gedung kantor yang megah, persaingan pemberian fasilitas
mobil yang serba mewah. Demikian pula, pembangunan berbagai mega proyek
berkonotasi ter yang hanya memberikan kebanggaan semu, dapat dicegah dan
dihindari.
Dengan tidak memanjakan pejabatnya, pemerintah tentu dapat menghemat
anggaran cukup signifikan. Anggaran untuk segala kemewahan yang serba mega dan
ter itu tentu akan lebih bermanfaat untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Yang
lebih penting lagi, pejabat pemerintah jadi tampil lebih sederhana, dekat
dengan suasana batin rakyat, jauh dari sindroma megalomania, yang membuat
mereka selalu haus dengan yang serba besar, hebat, dan wah.
Kiranya itulah sesungguhnya mimpi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Facebook PMK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.