(Esai) Alex R. Ina Nainggolan 'Ketika Puisi Melawan Korupsi'
Di Jurnal Puitika Edisi 1, Desember 2013
Sumber Jurnal Puitika Edisi 1, Desember 2013
Posting serupa di facebook PMK
* * *
Di Jurnal Puitika Edisi 1, Desember 2013
Sumber Jurnal Puitika Edisi 1, Desember 2013
Posting serupa di facebook PMK
* * *
Ketika Puisi Melawan Korupsi
Oleh: Alex R. Nainggolan *
* penikmat puisi, tinggal di Poris Plawad
Saat kerumunan berita ihwal korupsi merebak di negeri ini; saat korupsi
menjelma sebuah tradisi di sebuah lembaga negara; saat korupsi terjebak di
setiap pribadi—yang mulanya kita percaya jika ia seorang yang jujur;
sesungguhnya apa yang terjadi pada mimik bangsa ini? Terkejut dengan penuh
denyar yang panjang atau berpura-pura mengamini atas tindakan itu. Dan seperti
sebuah tamparan, korupsi seperti sebuah wabah—yang menjalar, terkadang pula dilakukan
secara massal (berjamaah).
Beberapa dari kita seperti dihantui rasa ketidakpercayaan, katakanlah saat
seorang yang pernah dipuja—ternyata tak sesuci ucapan ataupun tindakannya—yang
pernah kita lihat, dengar, atau ketahui sebelumnya. Yang kita dapati rasa
ketakpercayaan terhadap lembaga negara pun makin melebar, membesar—sehingga
kitapun terjangkiti phobia yang sama bahwa tak ada lembaga/individu yang
benar-benar bersih.
Dan puisipun menulisnya. Setiap rangkaian kata-kata yang meluncur dari
penyair, mengungkapkan borok korupsi itu. Jika situasi negeri ini tengah
genting, gawat dan kolaps. Puisi seperti menyibaknya, dengan sejumlah
asumsi—yang setidaknya turut pula membeberkan setiap fragmen, rangkaian dari
korupsi itu. Lalu dapatkah puisi merampas itu semua? Katakanlah menjelma sebuah
”teguran” lewat untaian makna yang terbalut di dalamnya, mungkin pula sekadar
menyentil sisi-sisi kemanusiaan. Dengan kata lain, teks puisi-puisi ihwal
korupsi semacam sebuah upaya untuk mengingatkan kita dari ”lupa” yang panjang.
Mampukah puisi melawan korupsi? Setidaknya lewat untaian diksi yang mengudap di
dalamnya, puisi semacam sebuah penanda. Penanda yang setia bagi zamannya,
barangkali pula merupa cermin, bagi kehidupan manusia.
Semacam apa yang dikerjakan oleh Sosiawan Leak—koordinator gerakan puisi
menolak korupsi, dengan menerbitkan antologi puisi. Maka kitapun berhadapan dengan sejumlah
kerumunan kata—yang seperti ingin menghardik, memaki, berteriak, atau sekadar
menyentil perilaku para koruptor. Maka antologi puisipun terbit, puisi yang
menolak korupsi—terdiri dari dua buku jilid kedua a dan b.
Di kumpulan puisi ini, beragam kata ihwal korupsi singgah. Mungkin
puisi-puisi itu menawarkan sebuah kisah, yang ujungnya meminta kita berbenah.
Kembali memikirkan negara ini yang tengah sekarat dihujani budaya korupsi.
Simak bagaimana Sosiawan menulis di sampul belakang buku: Kini, biografi
korupsi makin berseri. Terlebih saat manunggal dalam jiwa & tubuh
kekuasaan. Ia rajin mengumpulkan serpihan biografi yang selama ini bertebaran.
Serpihan-serpihan itu meramu diri menjadi kesatuan yang utuh, kuat, saling
berkait & berkelindan. Hingga ketika menyelinap ke tubuh kekuasaan tak lagi
sekadar menjadi spirit, bahkan telah malih rupa sebagai sifat; jelmaan
kekuasaan semata...
Memang dalam wilayah kekuasaan (negara), korupsi paling banyak menjangkiti.
Terlebih lagi mental yang bobrok, sehingga membuat para individu yang
bergelimang di dalamnya menjadi silau. Maka uang pun didewakan, dijarah—tak
peduli bukan haknya sendiri. Rumitnya dinding birokrasi semakin menebalkan
batasan itu. Dan yang hadir ialah anggaran yang ”bodong”, tandatangan tender
yang tidak pernah jelas, ataupun segala hal fiktif yang disulap dengan lembaran
kuitansi. Setelah itu, hasilnya memang masuk ke kantong pribadi dengan
memperkaya diri sendiri.
Di wilayah cemas yang ganas itulah, puisi-puisi dalam antologi menolak
korupsi berwujud. Sejumlah penyair menawarkan rasa empati terdalam—yang mereka
rasakan. Barangkali lewat pelbagai berita yang hadir, bisik-bisik, ataupun
fakta yang mereka temukan di keseharian. Pun dalam tipisnya dinding imajinasi
dan fakta yang tertuang pada setiap puisi, mereka seperti menghidupkan sebuah
”jarak” terhadap korupsi itu sendiri. Berupaya agar tidak masuk ke sisi
personal setiap individu.
Puisi adalah rangkaian imajinasi. Setiap pilihan
kata, jeda antarkalimat merupakan sebuah kesatuan yang menciptakan dunianya
sendiri. Penyair dalam ruang kesadaran batinnya, tentu akan bergerak mengambil
sekelumit jarak, merefleksikan semua daya yang pernah singgah dalam hidupnya.
Dalam dunia puisi yang dibentuknya, penyair mengolah timbunan tragedi,
kenangan, separuh napas kesunyian, atau pernyataan hidup yang getir. Pun untuk
sebuah cinta, puisi dapat menyentak, jika hidup tak melulu dipandang hitam
putih, ada yang kelabu (sebagaimana tertuang dalam sajak-sajak Goenawan
Mohammad).
Di
sinilah sayap imajinasi puisi bergerak. Menciptakan gejala hubungan
timbal-balik terhadap kehidupan itu sendiri. Saya tak bermaksud mengungkapkan
teori, bagi saya teori hanyalah cecapan lidah, yang terkadang abai untuk
dipraktekkan secara menyeluruh ketika berhadapan dengan karya sastra. Membaca
sastra adalah membaca “rasa” yang seringkali berhadapan dengan sisi subyektif.
Meskipun sebagai pembaca dibekali dari pengetahuan yang sebelumnya. Pun
imajinasi yang hadir dalam kumpulan puisi ini, memberikan sebuah “sketsa”
lain—persentuhan antara imajiansi dengan realitas yang ada. Walaupun sebagian
besar puisi dalam antologi ini aroma peristiwa (berita/realitas) begitu
kentara.
Simaklah bagaimana Acep Zamzam Noor mengisahkannya: Ada banyak
cara/Untuk bisa keliling dunia/ Salah satunya/Karena dikejar KPK// Ada banyak
cara/ Untuk menangkal tuduhan korupsi/ Salah satunya/ Bersedia digantung di
Monas// (hal. 37; Puisi Menolak Korupsi 2 a). Atau Isbedy Stiawan ZS yang
mernulis akhir puisinya dengan sentakan yang parau: kau tak pernah akan
mengerti anakku,/ kenapa ayah korupsi, kecuali ibumu yang tahu/ atau
perempuan-perempuan yang kutemu di jalan/ mau pun kamar hotel...// (hal. 9;
Puisi Menolak Korupsi 2 b).
Antologi puisi ini terbit dalam dua jilid. 2 a & 2 b; sebuah literer
kata-kata yang panjang. Kumpulan yang memberikan semacam ”kabar”—jika korupsi
telah menjadi tradisi yang bebal di negeri ini. Ditulis oleh 197 orang, yang
setidaknya memberikan sejumlah gambaran bila korupsi telah memasuki wilayah
yang sangat kritis di negeri ini. Suatu keadaan yang membuat citra negeri ini
seperti tergadai, tak bisa bangkit lagi. Bahkan lebih gilanya lagi, korupsi
muncul menjadi lintah—yang tak pernah kenyang untuk mengisap uang negara. Dengan
berbalut pada sejumlah tender proyek, dana fiktif anggaran, seperti sebuah akar
yang kuat di setiap lembaga negara. Akar yang mesti ”diamputasi”—tapi nyatanya
muncul oknum-oknum yang membuat terperangah ihwal perbuatan korup-nya.
Maka puisi-puisi yang hadir memang sebentuk upaya untuk mengingatkan.
Sekadar menepuk wilayah kesadaran setiap orang—dengan balutan realitas yang
terjadi supaya tidak tercebur ke dalamnya. Jika korupsi, ternyata lebih
berbahaya dari narkoba. Yang mematikan daya hidup sampai ke anak cucu. Setiap
nominal hasil korupsi, sesungguhnya berasal dari tetes keringat orang banyak.
Hak orang yang digunting—padahal dalam kondisi yang sangat membutuhkan. Ihwal
”ketegaan” inilah yang menjangkiti perilaku para koruptor. Seakan-akan tak
memiliki hati nurani.
Di antara kebobrokan masalah korupsi inilah, dengan kondisi yang
mencemaskan puisi-puisi ditulis. Ia semacam obat, mungkin—untuk membuka semua
topeng yang melingkupi keadaan sekarat negeri ini. Tentu harapannya, negeri ini
tak segera tamat. Setidaknya, puisi-puisi ini dapat menjadi cermin diri, yang
menjadikan pakem saat melakukan suatu tindakan. Menjadi tanda arah bagi
generasi selanjutnya. Meskipun, ungkap Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi
”Jembatan”: Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa//
(hal. 282; Puisi Menolak Korupsi 2 b).
Postingan serupa, http://cabiklunik.blogspot.com/2013/12/ketika-puisi-melawan-korupsi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.