Oleh Bandung Mawardi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 25 unit mobil yang
berkaitan kasus dugaan suap yang melibatkan Akil Mochtar, Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) yang telah dipecat. Mobil-mobil itu diduga hasil
pencucian uang dan suap terkait sidang sengketa pemilihan kepada daerah
(pilkada) di MK.
Berita ini membuat kita berpikiran buruk: jabatan
mengandung godaan kecanduan mobil! Mobil-mobil itu ada di tempat parkir
KPK, menjadi tontonan ironis dari gejala para koruptor dan tersangka
korupsi menggelar pemujaan terhadap mobil.
Ingat mobil, ingat puisi. Berita tentang mobil itu mengingatkan kita dengan puisi Taufiq Ismail berjudul Surat Mobil Paman Si Toni (1999). Puisi ini mengandung kesaksian lakon bisnis, politik, dan korupsi pada masa Orde Baru.
Taufiq
Ismail mengisahkan si tokoh bernama Pakde. Ia memiliki sumber uang dari
pelbagai bisnis: pengelolaan tanker, gas bumi, konsensi hutan,
pertambangan. Semua sumber uang mendapat restu dari pemerintah melalui
kecurangan dan suap.
Hasil dari kerja besar sering dibelanjakan
mobil-mobil mewah. Keberlimpahan harta memaksa Pakde membuat keputusan
kontroversial saat si istri mencium gelagat korupsi. Pakde pantang
mendapat kritik. Gugatan istri menimbulkan keputusan: menceraikan istri
dan menambah koleksi mobil.
Kita simak kritik Taufiq Ismail mengenai kebiasaan para elite dan pengusaha mengoleksi mobil: Keponakanku
Toni/ Orde boleh datang orde boleh pergi/ Presiden bisa tumbang
presiden bisa berdiri/ Pakdemu selamat karena profil rendah sekali/
Inilah rumus kehidupan camkan dalam di hati/ Hiduplah pragmatis,
sesekali saja kutip filosofi.
Kau tahu Pakde menikmati hari tua jauh di luar kota/ Di tempat koleksi mobil tersembunyi dan terpelihara/ Kau pernah lihat basement parkir luar biasa lapangnya/ Tapi Pakde sangat khawatir pada kecemburuan mata/ Mumudahan barang kesayangan Pakde selamat saja. Kecanduan mobil sebagai dampak dari jabatan dan keberlimpahan harta masih kita lihat sampai sekarang.
Sebelum
puisi itu hadir sebagai kritik, So Hok Gie memberi kesaksian berisi
curiga saat masa peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru, 1965-1966.
So Hok Gie melihat para tokoh mahasiswa, bekas kaum demonstran
penentang Soekarno, mulai menjadi anggota parlemen dan memiliki jabatan
di birokrasi.
Mata So Hok Gie silau melihat mereka telah
mengendarai mobil: bukti dari ”kesuksesan” berpolitik atau mencari
rezeki di situasi krisis politik. Mereka sudah naik derajat. Semula,
mereka mempropagandakan bersepeda atau berjalan kaki untuk
berdemonstrasi, menggugat kekuasaan.
Tubuh mereka telah berubah,
bermanja dalam mobil: simbol kekuasaan. Mobil pun menjadi representasi
kerja politik meski bersumber dari kerja politik dan bisnis, berdalih
fasilitas transportasi. Mereka ”mengejek” episode sejarah politik
Indonesia di masa 1940-an.
Kita ingat, para pemuda revolusioner
harus mencari dan mencuri mobil agar dapat mengagendakan proklamasi pada
17 Agustus 1945. Pengumuman politis itu berkonsekuensi pemartabatan
para pemimpin: Soekarno dan Mohammad Hatta.
Kaum revolusioner
sanggup mengatasi situasi, menjaga kehormatan presiden, dengan siasat
”mencuri” mobil milik bekas pejabat Jepang. Cerita ganjil ini termasuk
dari konstruksi sejarah politik Indonesia, menjelaskan ke publik bahwa
presiden di Republik Indonesia bermobil. Mereka berpikiran jika presiden
tak memiliki mobil bakal jadi lelucon politik.
Biografi
Para
penggerak bangsa memang bermobil, tapi tak kecanduan atau terlalu
memuja. Mereka juga tak menuntut harus mengendari mobil mewah demi harga
diri. Tindakan korupsi untuk belanja mobil tak ada dalam biografi
Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Natsir.
Mobil
memang perlahan menjadi simbol bertaut kekuasaan, tapi kebersahajaan
dan konsekuensi atas amanah tak membuat para tokoh bangsa melulu
mengurusi mobil atau berubah jadi pecandu mobil. Mobil memang menjadi
tanda zaman, berlatar kekuasaan dan bisnis.
Puisi Taufiq Ismail dan kesaksian So Hok Gie mendapat penjelasan lanjutan dari Firman Lubis dalam buku berjudul Jakarta 1960-an (2008).
Firman Lubis hidup di Jakarta, saksi perubahan sosial, politik,
ekonomi. Kesaksian Firman Lubis berkaitan mobil dinyatakan dalam
kalimat,”Pada 1960-an, masih belum banyak mobil yang lalu lalang. Belum
sebanyak dan seramai seperti sesudah zaman Orba tahun 1970-an, terutama
mobil sedan pribadi.”
Menurut Firman,”Umumnya masih mobil-mobil
lama bekas tahun 1950-an buatan Amerika dan Eropa. Mobil buatan Jepang
yang sama sekali belum dikenal pada 1950-an, mulai banyak terlihat di
tahun 1960-an. Beberapa merek di antaranya adalah Mazda, Honda, Suzuki,
Toyota, dan Nissan.”
Mobil eksplisit menjelaskan status sosial di
masa 1960-an. Mobil mengisahkan situasi Indonesia saat ingin berubah
sebagai ”negeri mobil”. Mobil terus mengisahkan ambisi-ambisi politik
dan tindakan korupsi, sejak masa Orde Baru sampai sekarang.
Keruntuhan
Orde Baru masih mengisahkan mobil: benda menakjubkan bagi penguasa atau
pejabat. Mereka berhasrat selalu ada di dalam mobil mewah, memamerkan
kekuasaan dan arogansi. Mobil tetap menjadi lambang jabatan, kelas
sosial, popularitas.
Barangkali ingatan episode politik Indonesi
menjadi refleksi atas ulah Akil Mochtar mencandui mobil. Bermobil mewah
adalah pameran kekuasaan paling mujarab untuk membutakan nalar dan
nurani!
Kita cuma berimajinasi bahwa Akil Mochtar saat bocah tak melantunkan lagu populer dari Pak Kasur: Kring… kring… ada sepeda. Sepedaku roda tiga. Kudapat dari ayah karena rajin bekerja…
Akil Mochtar mungkin tak bisa mengingat lirik lagu Sepedaku gubahan Ibu Sud, termuat di buku Glatikku (1958): Kring… kring… bunji sepedaku. Rodanja berputar selalu madju. Kududuk tegak, lihat kemuka supaja djangan kena bahaja…
Lagu-lagu Akil Mochtar mungkin berjudul Mobilku
atau memuat lirik menggunakan kata ”mobil”. Imajinasi itu mesti
diwujudkan dengan memiliki mobil saat menjadi pejabat. Kita mulai
bercuriga dengan mobil.
Ulah koruptor dan tersangka korupsi dalam
membelanjakan uang demi mobil-mobil mewah bisa memengaruhi imajinasi
bocah. Kita tak berharap para penggubah lagu pamer lagu-lagu baru atau
parodi.
Indonesia bakal dinobatkan sebagai negeri mobil jika
bocah-bocah di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) berdendang
lagu berlirik gawat:…Mobilku ada lima. Rupa-rupa warnanya… Tuhan, lindungilah kami dari para koruptor dan mimpi buruk menjadikan Indonesia negeri sesak mobil. Amin.
* Bandung Mawardi (bandungmawardi@yahoo.co.id)
Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber http://www.solopos.com/2013/12/07/gagasan-pejabat-kuasa-korupsi-dan-mobil-472112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.