Senin, 16 Desember 2013

Buku PMK Jilid 2: BIOGRAFI KORUPSI

(Jawa Pos, Minggu 15/12/13)
Sumber gambar Facebook PMK (Roosetindaro Baracinta).

Tulisan ini terdapat di kover belakang buku PMK Jilid 2

Versi teksnya saya kopikan dari status Facebook Sosiawan Leak.

BIOGRAFI KORUPSI

Ketika Kabil si petani, memanipulasi sesaji yang dipersembahkan untuk Tuhan dengan modus operandi memilih hasil bumi dan biji-bijian yang buruk dan rusak (sementara saudaranya Habil sang peternak, mempersembahkan hewan ternak paling gemuk dan berkualitas), barangkali saat itulah mental korup tengah dimulai sejarahnya. Mentalitas tak terpuji dari warga dunia yang seolah menetapi seruan pemegang kuasa (Adam) selaku pengawal kebijakan (Tuhan), berawal dari deadlock perjodohan antar generasi pertama manusia. Mentalitas yang menjerumuskan akal pikiran ke skenario culas --anak kandung perilaku bohong dan rekayasa-- demi keuntungan pribadi semata.

Itulah kenapa, banyak simpulan yang menyatakan bahwa biografi korupsi telah dimulai sejak peradaban manusia bermula. Maka tak mengherankan ketika hela napas “si korupsi” bisa dikonangi oleh seorang Perdana Menteri Chandragupta di India pada 2300-an tahun yang lalu. Lewat catatannya, sang perdana menteri bahkan membeber 40 perilaku “makhluk” itu menguras kekayaan negara.

Degup jantungnya juga terasa kala Isa Al Masih menyeru Lewi, si pemungut cukai untuk bergabung dalam lingkaran keimanannya. Daya hidup “makhluk” itu tampak; menyimak isyarat penolakan para pengikut Isa lainnya. Mereka yang tak sepaham dengan langkah kontroversial sang pemimpin spiritual, bahkan kadung memastikan bahwa hal itu bakal mengendala mereka saat bertugas men-syiarkan keyakinannya, menebar ajaran cinta kasih sesama. Sebab, pemungut cukai yang bekerja mengumpulkan pajak bagi pemerintah Romawi berpeluang besar melakukan kecurangan. Apalagi didukung apatisme massa yang melakukan pembiaran atas kebiasaan para pemungut cukai; hingga selalu mengutip pajak jauh lebih besar dari yang semestinya.

Kebijakan Yang-lien --memberi hadiah bagi pejabat negara bersih, sebagai insentif guna menekan perilaku curang saat menunaikan tugas-- yang diterapkan kerajaan China ribuan tahun lalu, secara tak langsung juga mengabarkan bahwa “makhluk” itu pun sudah lama berdaya mendetakkan nadinya.

Juga dari catatan Itsing yang bercerita tentang penegakkan aturan tak tebang pilih sebagai dasar utama kekuasaan yang bersih di Kalingga jaman Ratu Shima; penguasa wanita yang menjalankan roda pemerintahan dengan ketegasan. Ia yang nekad menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku yang konangan melangkahi barang tak bertuan mangkrak di tengah jalan (meski si pelaku itu putra mahkotanya sendiri). Ketegasan yang bisa jadi adalah wujud lain dari ketakutan, bahkan trauma! Ketakutan akan lahirnya mental dan laku curang sebagai pembuka lembaran baru biografi “makhluk” itu. Ketakutan dari ranah masa lalu yang dikhawatirkan bakal lahir kembali, bangkit serta meneror masa kini Kalingga saat itu; di abad ke tujuh!
Setelahnya, biografi “makhluk” bernama korupsi itu kian menunjukkan keberdayaan dengan aneka wujud, perilaku, dan kekuatannya. Ia meruntuhkan kekuasaan serikat dagang VOC hingga divonis bangkrut oleh Ratu Wilhelmina (1799). Menclok dalam penggelembungan harga gedhek (anyaman bambu) yang dilakukan RM Ngabehi Harjasasmita (Mantri Gunung Colo Madu) saat Program Pemberantasan Penyakit Pes tahun 1916. Merontokkan Van Rossen dari jabatannya sebagai Komisaris Besar Polisi Batavia tahun 1923, lantaran permainan anggaran negara serta pemerasan rumah judi dan pelacuran.

Sebaliknya, “makhluk” itu juga bisa memampangkan biografinya di fiksi Korupsi karya Pramudya Ananta Toer, yang belakangan merenggangkan hubungan si kreator dengan penguasa Orde Lama. Lebih parah lagi, ia mampu menyerang balik jurnalis Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Bahkan menjebak mereka ke penjara, saat dua sekawan tersebut hendak menguliti sang “makhluk” yang kala itu berhasil nempel di wajah Menlu Ruslan Abdulgani.

“Ladang Perminus” yang disemai Ramadhan KH pun sempat menyapa makhluk itu. Namun sapa malu-malu dari karya yang mencoba menguak soal korupsi di Pertamina (dikiaskan dengan Perminus; Perusahaan Minyak Nusantara) tersebut, tak membuat “makhluk” itu merah padam mukanya. Tak menghentikan nafsu tamaknya atas harta yang bukan haknya. Tak mampu mencegah makhluk itu malih rupa sebagai organisme yang di masa kemudian senantiasa membelah diri --sebagaimana sel-- secara berkelipatan.

Hingga faktanya, kian ke kini --sejak Orde Baru hingga jaman reformasi-- biografi makhluk bernama korupsi itu makin nampang gemilang. Apalagi ketika ia kian manunggal dalam jiwa dan tubuh kekuasaan. Ia juga mulai berhasil mengumpulkan beragam serpihan biografinya yang selama ini bertebaran di mana-mana. Serpihan-serpihan itu kini telah meramu diri menjadi satu kesatuan yang utuh, kuat, saling berkait dan berkelindan. Hingga ketika menyelinap ke dalam tubuh kekuasaan tidak lagi sekedar jadi spirit, tapi kerap kian berani menampakkan diri sebagai karakter; jelmaan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang cenderung nongkrong di awang-awang, di tahta paling mulya berjarak dengan warga negara.

Sementara kaidah moral dan nilai mental yang semula mewujud benteng kearifan lokal yang berdaya, malah bertebaran dihajar derak jaman terbuka. Tersingkir ke luar garis kekuasaan, sebab tak kunjung dikumpulkan serpihannya, tak segera dikukup menjadi rujukan untuk merepresentasikan kekuasaan negara sebagai inti kearifan massal.

Padahal kebijakan lokal itu selalu bersumber pada kejernihan pikiran, kejujuran sikap dan perilaku. Ia tak pernah berkhianat terhadap keseimbangan kehidupan dalam wujud keadilan masyarakat dan kepedulian antar umat. Kebijakan yang semestinya menjadi dasar kearifan kekuasaan. Kebijakan yang berdiksi sahaja namun makin mengasing, menggasing, lantas menguap dari tlatah pergaulan para pemegang kuasa. Kebijakan yang ambek sadu santa budi (ramah, santun bahasanya dan murah senyum; Sunda), aja adigang, adigung, adiguna (jangan sewenang-wenang; Jawa), dua kuala sappo, unganna panasae–lempu, belona kanukue–pacce (kejujuran dan kebersihan adalah pagar yang selalu mengelilingi kehidupan; Bugis), to madara takkun, to ma’lite bumbungan (yang berdarah putih suci, yang bergetah susu; Toraja), angok poteh tolang, atembang poteh mata (lebih baik putih tulang daripada putih mata; Madura)...

Sumber: Facebook Sosiawan Leak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.