(Jawa Pos, Minggu 15/12/13) |
Sumber gambar Facebook PMK (Roosetindaro Baracinta).
Tulisan ini terdapat di kover belakang buku PMK Jilid 2
Versi teksnya saya kopikan dari status Facebook Sosiawan Leak.
Ketika Kabil si petani, memanipulasi sesaji
yang dipersembahkan untuk Tuhan dengan modus operandi memilih hasil bumi
dan biji-bijian yang buruk dan rusak (sementara saudaranya Habil sang
peternak, mempersembahkan hewan ternak paling gemuk dan berkualitas),
barangkali saat itulah mental korup tengah dimulai sejarahnya.
Mentalitas tak terpuji dari warga dunia yang seolah menetapi seruan
pemegang kuasa (Adam) selaku pengawal kebijakan (Tuhan), berawal dari
deadlock perjodohan antar generasi pertama manusia. Mentalitas yang
menjerumuskan akal pikiran ke skenario culas --anak kandung perilaku
bohong dan rekayasa-- demi keuntungan pribadi semata.
Itulah
kenapa, banyak simpulan yang menyatakan bahwa biografi korupsi telah
dimulai sejak peradaban manusia bermula. Maka tak mengherankan ketika
hela napas “si korupsi” bisa dikonangi oleh seorang Perdana Menteri
Chandragupta di India pada 2300-an tahun yang lalu. Lewat catatannya,
sang perdana menteri bahkan membeber 40 perilaku “makhluk” itu menguras
kekayaan negara.
Degup jantungnya juga terasa kala Isa Al Masih
menyeru Lewi, si pemungut cukai untuk bergabung dalam lingkaran
keimanannya. Daya hidup “makhluk” itu tampak; menyimak isyarat penolakan
para pengikut Isa lainnya. Mereka yang tak sepaham dengan langkah
kontroversial sang pemimpin spiritual, bahkan kadung memastikan bahwa
hal itu bakal mengendala mereka saat bertugas men-syiarkan keyakinannya,
menebar ajaran cinta kasih sesama. Sebab, pemungut cukai yang bekerja
mengumpulkan pajak bagi pemerintah Romawi berpeluang besar melakukan
kecurangan. Apalagi didukung apatisme massa yang melakukan pembiaran
atas kebiasaan para pemungut cukai; hingga selalu mengutip pajak jauh
lebih besar dari yang semestinya.
Kebijakan Yang-lien --memberi
hadiah bagi pejabat negara bersih, sebagai insentif guna menekan
perilaku curang saat menunaikan tugas-- yang diterapkan kerajaan China
ribuan tahun lalu, secara tak langsung juga mengabarkan bahwa “makhluk”
itu pun sudah lama berdaya mendetakkan nadinya.
Juga dari
catatan Itsing yang bercerita tentang penegakkan aturan tak tebang pilih
sebagai dasar utama kekuasaan yang bersih di Kalingga jaman Ratu Shima;
penguasa wanita yang menjalankan roda pemerintahan dengan ketegasan. Ia
yang nekad menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku yang konangan
melangkahi barang tak bertuan mangkrak di tengah jalan (meski si pelaku
itu putra mahkotanya sendiri). Ketegasan yang bisa jadi adalah wujud
lain dari ketakutan, bahkan trauma! Ketakutan akan lahirnya mental dan
laku curang sebagai pembuka lembaran baru biografi “makhluk” itu.
Ketakutan dari ranah masa lalu yang dikhawatirkan bakal lahir kembali,
bangkit serta meneror masa kini Kalingga saat itu; di abad ke tujuh!
Setelahnya, biografi “makhluk” bernama korupsi itu kian menunjukkan
keberdayaan dengan aneka wujud, perilaku, dan kekuatannya. Ia
meruntuhkan kekuasaan serikat dagang VOC hingga divonis bangkrut oleh
Ratu Wilhelmina (1799). Menclok dalam penggelembungan harga gedhek
(anyaman bambu) yang dilakukan RM Ngabehi Harjasasmita (Mantri Gunung
Colo Madu) saat Program Pemberantasan Penyakit Pes tahun 1916.
Merontokkan Van Rossen dari jabatannya sebagai Komisaris Besar Polisi
Batavia tahun 1923, lantaran permainan anggaran negara serta pemerasan
rumah judi dan pelacuran.
Sebaliknya, “makhluk” itu juga bisa
memampangkan biografinya di fiksi Korupsi karya Pramudya Ananta Toer,
yang belakangan merenggangkan hubungan si kreator dengan penguasa Orde
Lama. Lebih parah lagi, ia mampu menyerang balik jurnalis Rosihan Anwar
dan Mochtar Lubis. Bahkan menjebak mereka ke penjara, saat dua sekawan
tersebut hendak menguliti sang “makhluk” yang kala itu berhasil nempel
di wajah Menlu Ruslan Abdulgani.
“Ladang Perminus” yang disemai
Ramadhan KH pun sempat menyapa makhluk itu. Namun sapa malu-malu dari
karya yang mencoba menguak soal korupsi di Pertamina (dikiaskan dengan
Perminus; Perusahaan Minyak Nusantara) tersebut, tak membuat “makhluk”
itu merah padam mukanya. Tak menghentikan nafsu tamaknya atas harta yang
bukan haknya. Tak mampu mencegah makhluk itu malih rupa sebagai
organisme yang di masa kemudian senantiasa membelah diri --sebagaimana
sel-- secara berkelipatan.
Hingga faktanya, kian ke kini --sejak
Orde Baru hingga jaman reformasi-- biografi makhluk bernama korupsi itu
makin nampang gemilang. Apalagi ketika ia kian manunggal dalam jiwa dan
tubuh kekuasaan. Ia juga mulai berhasil mengumpulkan beragam serpihan
biografinya yang selama ini bertebaran di mana-mana. Serpihan-serpihan
itu kini telah meramu diri menjadi satu kesatuan yang utuh, kuat, saling
berkait dan berkelindan. Hingga ketika menyelinap ke dalam tubuh
kekuasaan tidak lagi sekedar jadi spirit, tapi kerap kian berani
menampakkan diri sebagai karakter; jelmaan kekuasaan itu sendiri.
Kekuasaan yang cenderung nongkrong di awang-awang, di tahta paling mulya
berjarak dengan warga negara.
Sementara kaidah moral dan nilai
mental yang semula mewujud benteng kearifan lokal yang berdaya, malah
bertebaran dihajar derak jaman terbuka. Tersingkir ke luar garis
kekuasaan, sebab tak kunjung dikumpulkan serpihannya, tak segera dikukup
menjadi rujukan untuk merepresentasikan kekuasaan negara sebagai inti
kearifan massal.
Padahal kebijakan lokal itu selalu bersumber
pada kejernihan pikiran, kejujuran sikap dan perilaku. Ia tak pernah
berkhianat terhadap keseimbangan kehidupan dalam wujud keadilan
masyarakat dan kepedulian antar umat. Kebijakan yang semestinya menjadi
dasar kearifan kekuasaan. Kebijakan yang berdiksi sahaja namun makin
mengasing, menggasing, lantas menguap dari tlatah pergaulan para
pemegang kuasa. Kebijakan yang ambek sadu santa budi (ramah, santun
bahasanya dan murah senyum; Sunda), aja adigang, adigung, adiguna
(jangan sewenang-wenang; Jawa), dua kuala sappo, unganna panasae–lempu,
belona kanukue–pacce (kejujuran dan kebersihan adalah pagar yang selalu
mengelilingi kehidupan; Bugis), to madara takkun, to ma’lite bumbungan
(yang berdarah putih suci, yang bergetah susu; Toraja), angok poteh
tolang, atembang poteh mata (lebih baik putih tulang daripada putih
mata; Madura)...
Sumber: Facebook Sosiawan Leak.
Sumber: Facebook Sosiawan Leak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.