Oleh Sulfiza Ariska
Korupsi telah membudaya di Indonesia. Tidak sulit menemukan
‘tikus-tikus berdasi atau berlipstik’. Nyaris seluruh sistem sosial
budaya menjadi sarang mereka. Kita memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), tetapi impian mewujudkan Indonesia bebas korupsi takkan
terlaksana tanpa peran aktif masyarakat. Membenahi self-concept (konsep diri) kolektif merupakan salah satu cara efektif untuk memberantas korupsi.
Menelusuri Jejak Korupsi
Fenomena sosial dapat kita telaah memalui self-concept yang menjadi tradisi dalam masyarakat. Self-concept adalah pikiran dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri [...] William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “persepsi yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis, mengenai diri kita, yang didapat dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain” (Armando, 2006).
Fenomena sosial dapat kita telaah memalui self-concept yang menjadi tradisi dalam masyarakat. Self-concept adalah pikiran dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri [...] William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “persepsi yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis, mengenai diri kita, yang didapat dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain” (Armando, 2006).
Di lain sisi, korupsi dapat kita maknai sebagai praktik-praktik
manipulasi (penyimpangan) kekuasaan untuk mencapai keuntungan ekonomi
yang menimbulkan kerugian orang lain (negara) telah menjadi bagian self-concept negatif di Indonesia.
Korelasi antara self-concept dan korupsi bisa kita telaah dari
fenomena sosial pada masa berdirinya kerajaan di Nusantara dan
keberadaan pemerintah kolonial. Sinergi kedua kuasa ini melahirkan
penindasan keji dengan menciptakan dogma dan doktrin guna membentuk self-concept
negatif masyarakat. Hal ini dapat kita jumpai dalam
penyimpangan-penyimpangan filosofi dari khasanah kearifan lokal Jawa,
antara lain:
Pertama, ‘mangan ora mangan, ngumpul’ (makan tidak makan tetap
berkumpul). Makan bisa kita asumsikan sebagai representasi dari
representasi dari nafkah. Secara kontekstual, ‘Makan kita berkumpul’,
tapi ‘Apakah kita tetap berkumpul dalam keadaan tidak makan?’. Filosofi
ini telah tertanam ke dalam self-concept masyarakat Jawa dan
diyakini hingga sekarang. Filosofi ini mendorong kita menjadi ‘lamban’,
tidak inovatif, cepat puas dengan kemajuan sesaat, dan termotivasi untuk
mencapai kemajuan-kemajuan yang bersifat instan. Pada konteks kelas
sosial menengah ke atas, korupsi terlihat dari pada praktik yang
dilakukan kaum bangsawan/kerajaan yang bekerjasama dengan pemerintah
kolonial Belanda dalam tanam paksa. Sedangkan pada kelas sosial menengah
ke bawah terdapat pada praktik ‘perdagangan manusia’ yang dilakukan
aparat desa ataupun keluarga pada masa pendudukan kolonial Belanda. Di
mana rakyat jelata yang buta huruf dan lugu, ditipu untuk ditempatkan
bekerja di daerah tambang atau perkebunan milik pemerintah kolonial.
Kedua, ‘manunggal kawula gusti’ (patuh pada pimpinan). Patuh pada
pimpinan memang sebuah keharusan untuk membentuk tatanan sosial yang
harmoni. Tapi bagaimana dengan pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan?
Ketika pimpinan (gusti) melakukan tindakan korupsi, rakyat yang dipimpin
tidak memiliki hak untuk mengkritisi. Praktik ini telah menjamur dari
masa pendudukan kolonial hingga sekarang.
Ketiga, ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’ (ramai bekerja/berkarya, sepi
dalam pamrih). Secara kontekstual, semua pekerjaan pasti memiliki
pamrih. Sebab, pamrih tidak semata imbalan ‘pujian’ atau ‘materi’, tapi
juga berarti ‘harapan’ atau pahala dari Tuhan. Harapan merupakan pamrih
yang bersifat positif. Misalnya, seorang individu melakukan inovasi
dengan harapan hasil inovasi berguna bagi masyarakat. Individu yang
tidak memiliki pamrih sama sekali merupakan individu yang ‘tidak utuh’
dan tidak memiliki kesadaran eksistensial. Sehingga, individu ini mudah
dimanipulasi/ditindas/dijajah.
Semestinya, ketiga filosofi di atas berpijak pada ajaran ‘tauhid’
(religiositas/ketuhanan), bukan ditujukan untuk ‘mendewakan’ penguasa
atau pihak otoritatif. Dengan interpretasi; Pertama, ‘mangan
ora mangan, ngumpul’. Kita tetap menunaikan ibadah dan patuh pada
kebenaran universal meskipun dalam keadaan tidak makan. Kedua,
‘manunggal kawula gusti’. Kita patuh pada pimpinan yang adil. Pemimpin
yang tidak adil wajib kita kritisi (nasihati atau dilengserkan), bukan
mematuhi (mempertahankan) pemimpin yang merepresi (tidak adil). Ketiga,
‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’ (ramai bekerja/berkarya, sepi dalam
pamrih). Sebagai bangsa Indonesia, kita harus rajin bekerja dan gemar
berinovasi dengan ‘pamrih’ pahala dari Tuhan/Pencipta dan harapan
mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan. Dengan demikian, kita bisa
membangun self-concept positif, melenjitkan kreativitas,
meningkatkan kualitas pribadi, mampu memenuhi kebutuhan pribadi
(golongan) dengan kerja/karya nyata, dan mencapai tujuan yang
konstruktif tanpa menempuh jalan instan (korupsi).
Tentunya, kita tidak adil bila menyalahkan interpretasi/aplikasi
konvensional yang keliru itu. Sebab, dalam sejarah Jawa, pemerintah
kolonial memiliki peran besar dalam rekontruksi kearifan lokal ke arah
negatif. Ini sebuah metode ‘komunikasi antarbudaya’ atau ‘ilmu
antropologi’ yang sangat keji melalui program pendidikan Politik Etis.
Pemerintah kolonial menggunakan ilmu pengetahuan untuk menciptakan self-concept negatif yang bermuatan learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) dan ditransformasikan melalui pendidikan. Budaya ini bertransformasi ke dalam self-concept kolektif dan mendidik rakyat jajahan (kita) menjadi tidak berdaya.
Rekontruksi Tradisi
Dalam mengatasi korupsi, semestinya kita tidak terfokus pada program
yang dicanangkan KPK. Melainkan, kita harus merekontruksi tradisi yang
ada. Salah satu jalan yang harus kita tempuh adalah memajukan ‘budaya
literasi’.
Budaya literasi bisa kita asumsikan sebagai tradisi membaca dan menulis.
Pada zona empiris, budaya literasi berkorelasi erat dengan
apresiasi/inovasi bahasa, kritik ideologi, sastra, dan filsafat. Proses
membaca dan menulis akan menuntun kita untuk mengurai tesis yang
tersimpan dalam peta kognitif. Semakin sempurna dengan mendiskusikan
serta bentuk apresiasi-apresiasi lainnya.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, budaya literasi-lah yang
mengantarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan para Pendiri Bangsa Indonesia,
adalah pribadi-pribadi yang menjadikan budaya literasi sebagai self-concept dalam perjuangan. Dengan budaya tulis dan baca; pembentukan solidaritas, ideologi, dan Nasionalisme bisa diwujudkan.
Sayangnya, pascakemerdekaan, budaya literasi diamputasi dari kurikulum
pendidikan. Hal ini yang dikritik Taufiq Ismail dalam pidatonya bertajuk
Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama yang disampaikan dalam pidato
kunci pada Rakerpus IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), 31 Mei – 3 Juni
2005 di Pekan Baru. Dari 13 negara (termasuk Hindia Belanda Yogyakarta
1939-1942 dan Hindia Belanda Malang 1929-1932), tradisi literasi
(diidentifikasi melalui jumlah buku sastra yang dibaca), era Indonesia
1943-2005 terdapat ‘nol’ judul. Buku yang menjadi jendela dunia tidak
dianggap penting. Tak mengherankan, kita memiliki self-concept
negatif. Meski hidup di negara merdeka; kelaparan, buta aksara,
kemiskinan, kebodohan, dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjamur di
Tanah Air. Kita terjajah secara pemikiran!
Segenap elemen masyarakat harus bersatu dalam memajukan budaya literasi.
Buta aksara harus kita berantas. Perpustakaan dibangun sebagai ruang
publik dalam rekontruksi tradisi. Kita bisa menyerap ilmu pengetahuan
tanpa harus menjalani pendidikan formal. Masyarakat kita menjadi
pembelajar. Dengan terpelajar, kita akan memiliki bekal ilmu dalam
mewujudkan legenda pribadi, ekonomi mandiri, dan meningkatkan iklim
kondusif demokrasi.
Dapat kita simpulkan, tanpa self-concept positif, semua orang
memiliki potensi yang sama besar menjadi tikus berdasi atau berlipstik.
Budaya literasi merupakan jalan yang dapat kita tempuh dalam
merekontruksi self-concept negatif (berupa korupsi). Dengan memiliki self-concept positif; kita bisa berkarya, berinovasi, mewujudkan ekonomi mandiri, bebas finansial, dan terciptalah civil society. Semoga!
Referensi: Armando, Nina M. (2006). Psikologi Komunikasi. Universitas Terbuka: Jakarta.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/15/korupsi-dan-self-concept-kolektif-masyarakat-508470.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.