Rabu, 18 Desember 2013

(Gagasan) Pengemis dan Pengemis yang Lain

Oleh Muhammad Milkhan

Pertengahan tahun ini saya mendapatkan tawaran dari teman saya untuk mengajukan proposal permintaan bantuan modal untuk budi daya ikan lele. Nilai bantuan yang ditawarkan sangat menggiurkan, hampir Rp100 juta.

Dengan empat kolam lele dari bahan terpal berukuran 3 meter x 4 meter yang saya miliki sebelumnya, tentu bantuan mendapatkan dana yang ditawarkan teman saya tersebut akan sangat membantu pengembangan budi daya lele yang saya miliki.

Saya bukan hanya akan menambah kolam lele dari terpal, bahkan dengan bantuan uang sebanyak itu saya berencana menyewa lahan yang sekaligus akan saya gunakan untuk membangun kolam lele permanen.

Namun, sebelum proposal bantuan yang akan saya ajukan ke salah satu instansi pemerintah tersebut saya buat, teman saya sebagai orang yang berperan penting karena telah memberi informasi itu ternyata mengajukan beberapa syarat kepada saya.

Di antara syarat yang dia kemukakan adalah saya harus rela menerima bantuan hanya 30% dari nilai total bantuan yang sebenarnya bisa jadi jatah saya. Katakanlah nominal bantuan yang menjadi jatah saya jika proposal saya itu lolos seleksi adalah Rp100 juta, tetapi saya hanya akan menerima Rp30 juta.

Dana selebihnya, 70% dari bantuan, menurut informasi yang dikemukakan teman saya itu akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang turut andil dalam meloloskan proposal saya kelak. Orang-orang misterius itu konon punya hubungan khusus dengan lembaga terkait yang akan memberikan bantuan kepada saya.

Jika saya sepakat dengan syarat yang ditawarkan teman saya tersebut, teman saya berani menjamin bahwa proposal saya 100% akan cair. Untung saja, atas saran seorang kiai di daerah Sragen, saya batalkan niat menerima tawaran bantuan itu.

Menurut kiai yang saya kenal baik tersebut, bantuan dengan pola yang misterius itu hukumnya haram. Keharaman bantuan dengan pola ini dapat ditelisik dari modelnya. Bisa dibayangkan berapa orang yang akan menerima dana bantuan itu, sementara sebenarnya mereka tidak berhak menerima bantuan.

Bantuan dengan tajuk pengembangan peternakan lele akan dimanfaatkan oleh orang-orang lain yang mendapatkan sebagian besar bantuan tersebut dengan penggunaan yang sama sekali tidak jelas. Ini merupakan suatu konspirasi yang tidak baik jika diteruskan karena mengandung unsur korupsi.

Begitu nasihat kiai yang saya kenal baik dan saya ketahui sangat bersahaja itu. Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Rabu (11/12), di Koran Tempo, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Kamaludiningrat, memberikan pernyataan yang seolah memberikan penegasan terkait nasihat dari kiai yang saya kenal baik itu.

Ternyata modus pemberian bantuan dengan pola pemotongan bantuan secara misterius itu diindikasikan sebagai bentuk pencucian uang yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Menurut Ahmad, sering kali lembaga keagamaan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk ”mencuci” uang hasil korupsi dengan modus yang semakin beragam.

Sering terjadi pihak yayasan atau lembaga keagamaan menerima sumbangan dari pemerintah secara tidak utuh. Biasanya sumbangan itu dipotong 30% atau bahkan lebih. Bantuan itu tetap diterima oleh yayasan atau lembaga keagamaan meskipun mereka tahu ada pemotongan dana secara misterius itu. Menurut Ahmad ini adalah sebuah kesalahan.

Pernyataan Sekretaris MUI DIY ini terkait pernyataan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. Zainal mengatakan pondok pesantren, yayasan keagamaan, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan merupakan lahan empuk untuk mencuci uang hasil korupsi.

Dalih pencucian uang itu adalah sumbangan, infak, sedekah, atau wakaf, sehingga dana hasil korupsi menjadi tersamarkan. Menerima harta atau bantuan dari hasil tindak kejahatan sangat dilarang oleh semua agama. Tentu saya bukan satu-satunya orang yang pernah ditawari bantuan dengan pola yang misterius ini.

Masih banyak orang dan lembaga yang selama ini tidak sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh para koruptor untuk meloloskan misi merampok uang negara dengan semena-mena. Kita tentu marah bukan kepalang ketika tahu Walang, si pengemis beserta temannya yang ditangkap aparat Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan beberapa hari lalu, ternyata mampu mengumpulkan uang jutaan rupiah dalam sebulan dari hasil mengemis.

Walang bukanlah orang yang berhak menerima uluran tangan kita, tapi dengan kelihaiannya memainkan peran sebagai seorang pengemis Walang telah berhasil menipu kita. Tapi, tentu kemarahan terhadap Walang juga pantas kita tujukan kepada orang-orang yang sering memanfaatkan lembaga sosial keagamaan untuk merampok uang ratusan jutaan rupiah, bahkan miliaran rupiah.

Pajak Rakyat
Uang negara dari pembayaran pajak rakyat itu ternyata hanya digunakan oleh beberapa orang untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan mereka. Di Harian Solopos edisi Senin, 9 Desember lalu, sempat dikupas pengemis-pengemis di Kota Solo yang berpenghasilan melebihi pegawai negeri sipil (PNS).

Kita kemudian jadi berpikir ulang ketika ingin memberikan uang recehan kepada seorang ibu yang lusuh dengan menggendong anak kecil yang sering kita jumpai di perempatan jalan. Atau, kita akan segera mengusir peminta-minta yang berdiri di depan pintu rumah kita dengan wajah memelas sambil menengadahkan tangan.

Walang menjadi nila setitik yang merusak susu sebelanga. Keikhlasan kita untuk bersedekah kepada pengemis kemudian teracuni kecurigaan yang berlebih karena ulah Walang. Bukan hanya di Solo, di mana pun tempat ketika kita menjumpai seorang pengemis rasa curiga itu akan selalu muncul, bahwa mereka (para pengemis) tidak pantas menerima recehan dari kita.

Kita kemudian punya penilaian bahwa penghasilan mereka setiap bulan menggolongkan mereka bukan lagi termasuk golongan orang yang wajib untuk kita beri sedekah. Walang si pengemis yang kaya raya dan orang-orang misterius yang berada di balik proyek-proyek bantuan untuk kaum miskin, pondok pesantren, yayasan keagamaan, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan tersebut adalah dua fenomena yang meresahkan kita.

Walang tahu mengemis adalah pekerjaan yang hina di mata masyarakat dan dilarang agama. Namun, karena hasil yang menggiurkan, Walang tak memedulikan norma apa pun demi uang yang bisa dia peroleh tiap hari.

Sama halnya dengan orang-orang misterius yang bersembunyi di balik bantuan sosial tersebut. Mereka dengan keji telah memanfaatkan orang lain secara personal maupun lembaga untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dengan jalur yang culas dan haram.

Kini saatnya kita tak perlu lagi mempertaruhkan kehormatan dan harga diri hanya karena iming-iming uang bantuan. Saatnya kini kita semakin waspada dan saling mengingatkan agar tak lagi ada korban selanjutnya dalam konspirasi licik para koruptor dan manipulator.

Alasan apa pun tidak dapat dibenarkan untuk tetap menerima uang bantuan dengan prosedur yang berbelit dan manipulatif seperti yang ditawarkan kepada saya tersebut. Bantuan itu sebenarnya ”sepenuhnya” menjadi hak kita. Jika saja kita tetap menerima bantuan dengan model yang misterius ini, tentu kita tak jauh beda dengan Walang si pengemis yang kaya raya itu.

* Muhammad Milkhan (milkopolo@rocketmail.com)
Bergiat di Bilik Literasi Solo. Alumnus Program Studi Muamalat Fakultas Syariat IAIN Surakarta. Tinggal di Klaten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.

SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.