Oleh Muhammad Milkhan
Pertengahan tahun ini saya mendapatkan tawaran dari teman saya untuk mengajukan proposal permintaan bantuan modal untuk budi daya ikan lele. Nilai bantuan yang ditawarkan sangat menggiurkan, hampir Rp100 juta.
Pertengahan tahun ini saya mendapatkan tawaran dari teman saya untuk mengajukan proposal permintaan bantuan modal untuk budi daya ikan lele. Nilai bantuan yang ditawarkan sangat menggiurkan, hampir Rp100 juta.
Dengan
empat kolam lele dari bahan terpal berukuran 3 meter x 4 meter yang
saya miliki sebelumnya, tentu bantuan mendapatkan dana yang ditawarkan
teman saya tersebut akan sangat membantu pengembangan budi daya lele
yang saya miliki.
Saya bukan hanya akan menambah kolam lele dari
terpal, bahkan dengan bantuan uang sebanyak itu saya berencana menyewa
lahan yang sekaligus akan saya gunakan untuk membangun kolam lele
permanen.
Namun, sebelum proposal bantuan yang akan saya ajukan ke
salah satu instansi pemerintah tersebut saya buat, teman saya sebagai
orang yang berperan penting karena telah memberi informasi itu ternyata
mengajukan beberapa syarat kepada saya.
Di antara syarat yang dia
kemukakan adalah saya harus rela menerima bantuan hanya 30% dari nilai
total bantuan yang sebenarnya bisa jadi jatah saya. Katakanlah nominal
bantuan yang menjadi jatah saya jika proposal saya itu lolos seleksi
adalah Rp100 juta, tetapi saya hanya akan menerima Rp30 juta.
Dana
selebihnya, 70% dari bantuan, menurut informasi yang dikemukakan teman
saya itu akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang turut andil dalam
meloloskan proposal saya kelak. Orang-orang misterius itu konon punya
hubungan khusus dengan lembaga terkait yang akan memberikan bantuan
kepada saya.
Jika saya sepakat dengan syarat yang ditawarkan teman
saya tersebut, teman saya berani menjamin bahwa proposal saya 100% akan
cair. Untung saja, atas saran seorang kiai di daerah Sragen, saya
batalkan niat menerima tawaran bantuan itu.
Menurut kiai yang saya
kenal baik tersebut, bantuan dengan pola yang misterius itu hukumnya
haram. Keharaman bantuan dengan pola ini dapat ditelisik dari modelnya.
Bisa dibayangkan berapa orang yang akan menerima dana bantuan itu,
sementara sebenarnya mereka tidak berhak menerima bantuan.
Bantuan
dengan tajuk pengembangan peternakan lele akan dimanfaatkan oleh
orang-orang lain yang mendapatkan sebagian besar bantuan tersebut dengan
penggunaan yang sama sekali tidak jelas. Ini merupakan suatu konspirasi
yang tidak baik jika diteruskan karena mengandung unsur korupsi.
Begitu
nasihat kiai yang saya kenal baik dan saya ketahui sangat bersahaja
itu. Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Rabu (11/12), di Koran Tempo,
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Ahmad Kamaludiningrat, memberikan pernyataan yang seolah memberikan
penegasan terkait nasihat dari kiai yang saya kenal baik itu.
Ternyata
modus pemberian bantuan dengan pola pemotongan bantuan secara misterius
itu diindikasikan sebagai bentuk pencucian uang yang mengarah kepada
tindak pidana korupsi. Menurut Ahmad, sering kali lembaga keagamaan
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk ”mencuci” uang hasil
korupsi dengan modus yang semakin beragam.
Sering terjadi pihak
yayasan atau lembaga keagamaan menerima sumbangan dari pemerintah secara
tidak utuh. Biasanya sumbangan itu dipotong 30% atau bahkan lebih.
Bantuan itu tetap diterima oleh yayasan atau lembaga keagamaan meskipun
mereka tahu ada pemotongan dana secara misterius itu. Menurut Ahmad ini
adalah sebuah kesalahan.
Pernyataan Sekretaris MUI DIY ini terkait
pernyataan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada,
Zainal Arifin Mochtar. Zainal mengatakan pondok pesantren, yayasan
keagamaan, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan merupakan lahan empuk
untuk mencuci uang hasil korupsi.
Dalih pencucian uang itu adalah
sumbangan, infak, sedekah, atau wakaf, sehingga dana hasil korupsi
menjadi tersamarkan. Menerima harta atau bantuan dari hasil tindak
kejahatan sangat dilarang oleh semua agama. Tentu saya bukan
satu-satunya orang yang pernah ditawari bantuan dengan pola yang
misterius ini.
Masih banyak orang dan lembaga yang selama ini
tidak sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh para koruptor untuk
meloloskan misi merampok uang negara dengan semena-mena. Kita tentu
marah bukan kepalang ketika tahu Walang, si pengemis beserta temannya
yang ditangkap aparat Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan beberapa hari
lalu, ternyata mampu mengumpulkan uang jutaan rupiah dalam sebulan dari
hasil mengemis.
Walang bukanlah orang yang berhak menerima uluran
tangan kita, tapi dengan kelihaiannya memainkan peran sebagai seorang
pengemis Walang telah berhasil menipu kita. Tapi, tentu kemarahan
terhadap Walang juga pantas kita tujukan kepada orang-orang yang sering
memanfaatkan lembaga sosial keagamaan untuk merampok uang ratusan jutaan
rupiah, bahkan miliaran rupiah.
Pajak Rakyat
Uang
negara dari pembayaran pajak rakyat itu ternyata hanya digunakan oleh
beberapa orang untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan mereka. Di Harian Solopos
edisi Senin, 9 Desember lalu, sempat dikupas pengemis-pengemis di Kota
Solo yang berpenghasilan melebihi pegawai negeri sipil (PNS).
Kita
kemudian jadi berpikir ulang ketika ingin memberikan uang recehan
kepada seorang ibu yang lusuh dengan menggendong anak kecil yang sering
kita jumpai di perempatan jalan. Atau, kita akan segera mengusir
peminta-minta yang berdiri di depan pintu rumah kita dengan wajah
memelas sambil menengadahkan tangan.
Walang menjadi nila setitik
yang merusak susu sebelanga. Keikhlasan kita untuk bersedekah kepada
pengemis kemudian teracuni kecurigaan yang berlebih karena ulah Walang.
Bukan hanya di Solo, di mana pun tempat ketika kita menjumpai seorang
pengemis rasa curiga itu akan selalu muncul, bahwa mereka (para
pengemis) tidak pantas menerima recehan dari kita.
Kita kemudian
punya penilaian bahwa penghasilan mereka setiap bulan menggolongkan
mereka bukan lagi termasuk golongan orang yang wajib untuk kita beri
sedekah. Walang si pengemis yang kaya raya dan orang-orang misterius
yang berada di balik proyek-proyek bantuan untuk kaum miskin, pondok
pesantren, yayasan keagamaan, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan
tersebut adalah dua fenomena yang meresahkan kita.
Walang tahu
mengemis adalah pekerjaan yang hina di mata masyarakat dan dilarang
agama. Namun, karena hasil yang menggiurkan, Walang tak memedulikan
norma apa pun demi uang yang bisa dia peroleh tiap hari.
Sama halnya dengan orang-orang misterius yang bersembunyi di balik bantuan sosial tersebut. Mereka dengan keji telah memanfaatkan orang lain secara personal maupun lembaga untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dengan jalur yang culas dan haram.
Kini saatnya kita tak perlu
lagi mempertaruhkan kehormatan dan harga diri hanya karena iming-iming
uang bantuan. Saatnya kini kita semakin waspada dan saling mengingatkan
agar tak lagi ada korban selanjutnya dalam konspirasi licik para
koruptor dan manipulator.
Alasan apa pun tidak dapat dibenarkan
untuk tetap menerima uang bantuan dengan prosedur yang berbelit dan
manipulatif seperti yang ditawarkan kepada saya tersebut. Bantuan itu
sebenarnya ”sepenuhnya” menjadi hak kita. Jika saja kita tetap menerima
bantuan dengan model yang misterius ini, tentu kita tak jauh beda dengan
Walang si pengemis yang kaya raya itu.
* Muhammad Milkhan (milkopolo@rocketmail.com)
Bergiat di Bilik Literasi Solo. Alumnus Program Studi Muamalat Fakultas Syariat IAIN Surakarta. Tinggal di Klaten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila Anda memiliki kesan, pesan/saran maupun masukan atau pengalaman dengan Gerakan PMK, silakan ketik komentar Anda di bawah.
SATU HATI Tolak Korupsi untuk Negeri.