Selasa, 22 Desember 2015

Ardi Susanti Lantang Baca Puisi Antikorupsi

Saya perempuan, maka saya menentang korupsi!
Radar Tulungagung hari ini (21/12/2015).

"Dan saya sebagai pendidik, saya berkewajiban menularkan virus pembelajaran anti korupsi sejak dini pada anak didik saya, tentu saja melalui media seni dalam hal ini Puisi Menolak Korupsi, yang diinisiatori oleh mas Heru Mugiarso dan dikoordinatori oleh mas Sosiawan Leak demi Indonesia yang lebih baik."

Sumber: Facebook Ardi Susanti.

Minggu, 20 Desember 2015

Buku PMK Jilid 5: EMANSI'SAPI' KORUPSI

Sumber gambar.

EMANSI'SAPI' KORUPSI

Hanya lantaran (secara tidak sengaja) sang putra mahkota menyampar barang tak bertuan yang tergeletak di jalanan ibu kota, belakangan atas nama undang-undang Kerajaan Kalingga, Putri Shima menetapkan hukuman potong kaki bagi si penyampar yang tak lain adalah pewaris kerajaannya kelak. Ajaibnya, hukuman itu ternyata masih kurang sesuai dengan keinginan penguasa kerajaan yang konon terletak di pantai utara Pulau Jawa (sekitar abad ke 7 Masehi) tersebut. Awalnya isteri Kartikeyasingha itu menitahkan agar pengusik hak milik orang lain tersebut dijatuhi hukuman mati. Maka jika bukan karena penolakan keras para menterinya, pasti putri keturunan pendeta yang berasal dari wilayah Sriwijaya tersebut sudah rela menghabisi nyawa darah dagingnya, sebagai konsekwensi logis atas sikapnya untuk menegakkan hukum di seluruh penjuru kerajaan tanpa pandang bulu.

Selain Maharani Shima, peran perempuan sebagai pengendali kekuasaan pemerintahan di masa lalu juga mencapai keemasannya saat Tribhuwana Tunggadewi memegang pucuk pimpinan di Majapahit. Di bawah pemerintahannya, kerajaan rintisan Raden Wijaya yang berdiri di wilayah Jawa Timur itu berhasil menaklukkan Pejeng, Dalem Bedahulu (kerajaan yang terletak di Pulau Bali) dan seluruh wilayah Bali. Tak hanya sampai di situ Tribhuwana juga sukses menaklukkan Kerajaan Melayu di Pulau Sumatera. Perempuan yang naik tahta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara tersebut secara heroik bahkan mampu menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Kerta yang meletus tahun 1331. Malah sebagaimana termaktub di Pararaton ia sendirilah yang menjadi panglima perang memimpin pasukannnya secara langsung saat menggempur Sadeng.

Meski yang tercatat dalam halaman sejarah hanya beberapa gelintir, namun dari masa ke masa perjuangan para wanita di berbagai bidang dan wilayah kehidupan terbukti kerap melampaui batas-batas kewajaran pada jamannya. Tak jarang di antara mereka malah kuasa mendobrak sekat-sekat kemapanan gender yang hendak melanggenggkan perbedaan posisi dan peran manusia sesuai dengan jenis kelaminnya. Barangkali lantaran arus sejarah yang keruhlah berjibun nama wanita pejuang kehidupan semacam itu jarang terunggah ke permukaan.

Di akhir abad ke 19 perjuangan RA (Raden Ajeng) Kartini dicatat dan diakui paling berpengaruh dalam merubah tata nilai dan norma kehidupan sehari-hari, utamanya terkait dengan gagasan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan hingga sekarang putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara) yang lahir 21 April 1879 itu dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan. Lewat gagasannya ia tergerak untuk membekali kaumnya dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan di sekolah khusus perempuan yang ia buka di rumahnya. Sejak itu namanya kian ditasbihkan sebagai tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Hari lahirnya pun dirayakan secara khusus untuk menandai moment kebangkitan kaum perempuan yang terus berjuang agar kedudukan mereka setara dengan kaum pria.

Namun perjuangan kaum perempuan yang penuh lompatan-lompatan fantastis di masa lalu itu seolah runtuh bahkan hancur lebur manakala sejarah di abad-abad berikutnya malah memburaikan catatan hitam berisi tingkah polah para perempuan modern yang capaiannya bertolak belakang dengan prestasi pendahulunya. Ironisnya banyak di antara mereka yang cenderung kesandung serta terseret (cuma) oleh hal-hal rendah, nista, dan tak selamanya utama; harta!

Selain fakta terbongkarnya kasus korupsi gubernur wanita pertama di Indonesia (Ratu Atut Chosiyah; dilantik menjadi Gubernur Banten tahun 2007), catatan paling dramatis yang merontokkan peran utama srikandi-srikandi emansipasi di masa lalu adalah terbongkarnya skandal korupsi impor daging sapi Ahmad Fathanah (tahun 2013) yang melibatkan deretan panjang kaum perempuan hanya untuk menghamba sebagai obyek tindak pidana pencucian uang. Begitu pula halnya kasus korupsi dana Bantuan Sosial di Propinsi Sumatera Utara 2011-2013 (terbongkar 2015) yang disinyalir melibatkan isteri pejabat gubernur yang tengah berkuasa.

Tragis memang! Tapi demikanlah, emansipasi kini seperti tumbuh tak terkendali, gentayangan tak tentu arah tujuan. Ia kerap melesat zig zag dan jumpalitan ke berbagai wilayah sikap dan sistim nilai kehidupan, sembari berburu korban atas nama persamaan hak dan derajat. Itu semua seolah sah untuk mengamini makna emansipasi sebagai persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk persamaan hak antara kaum wanita dengan para pria (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sementara itu makna wanita sebagai penyeimbang suami dalam rumah tangga, cepat atau lambat kian tak dirumat. Bahkan makna wanita sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat generasi masa depan pun tetap tak mempan mencegat itikad para perempuan agar tidak nekat terlibat dalam emansipasi korupsi.

Buku PMK Jilid 4: INSTING KORUPSI

INSTING KORUPSI

Jago menciptakan kebohongan, terampil menguasai emosi pihak lain lantas merekayasanya demi kepentingan pribadi. Meski lemah saat mengontrol kejiwaan sendiri namun mereka tahan menyimpan dendam dalam waktu lama, menunggu kesempatan untuk meledakannya di kemudian hari. Itulah ciri-ciri kuat psikopat (psyche: jiwa dan pathos: penyakit). Mereka juga culas serta ahli memanipulasi ekspresi, di samping egois, miskin empati, mati rasa atas sakit dan duka pihak lainnya.

Meski tidak mengidap psikopat, beberapa binatang memiliki sifat-sifat tersebut secara terpisah. Karena tubuhnya yang pendek dan tambun, Cantil (jenis ular di Meksiko) melakukan kebohongan saat memikat mangsa. Sebab, walau bisanya dapat mengakibatkan pendarahan dan gagal ginjal bagi korban gigitannya, namun ia tak mampu bergerak segesit kobra. Meski begitu banyak mangsa terkecoh godaan ekornya. Mereka yang tertarik, mendekat bahkan iseng bakal dia rangket dan habisi dengan racunnya. Burung Patu Patagonia kerap meninggalkan telur yang tengah dieraminya saat pemangsa tiba. Ia bakal berlari laksana burung luka yang patah sayapnya. Namun setiap kali pemangsa mendekat, ia akan bangkit dan berlari lagi. Sandiwara semacam itulah yang dimainkannya berkali-kali hingga pemangsa menjauh dari sarangnya, saat di mana ia bebas terbang pulang ke sarang. Komodo tak kenal ampun kepada siapa pun yang pernah menyakitinya. Dan, membunuh adalah satu-satunya cara yang ia pahami demi melunaskan dendamnya. Sekali saja ia sempat melihat orang yang menyakitinya, maka seumur hidup ia akan terus memburu orang itu lewat baunya. Di saat terancam bunglon bermimikri, mengubah warna kulitnya serupa dengan warna lingkungan di sekitarnya.

Entah apa yang ada dalam benaknya, begitu dewasa dan menemukan pasangannya Kedasih jantan dan betina tidak mau membuat sarang untuk menaruh telur atau mengeraminya. Sang betina justru menitip telur di sarang burung lain yang lebih kecil. Saat menitipkan telurnya ia dengan sadis juga membuang telur sang empunya sarang. Usai itu ia pun minggat untuk memikat pasangan baru. Lalu bertelur dan menitipkannya ke sarang burung lainnya lagi. Begitu seterusnya. Maka pengeraman dilakukan oleh induk betina lain. Perilaku buruk induk Kedasih menurun pada anaknya. Jika menetas lebih dulu, anak Kedasih tega melempar telur-telur induk tirinya yang belum menetas ke luar sarang. Paling tidak, ia akan mematuki telur-telur tersebut sampai bocor atau pecah.

Bisa dipastikan tidak ada seekor binatang pun yang memiliki serangkaian sifat psikopat tersebut secara utuh dan menyeluruh. Meski inspirasinya --bagian per bagian-- bisa jadi bersumber dari mereka, namun secara naluriah semua itu hanyalah bagian dari hukum alam di mana mereka mesti konsekwen demi mempertahankan hidupnya. Justru peradaban manusialah yang belakangan memadurangkaikan sifat-sifat tersebut lantas mencangkokkannya secara sempurna ke spesies baru bernama koruptor. Itulah kenapa spesies ini punya kemampuan prima dalam berbohong dan menipu sambil berceramah soal moral dengan mengharu biru, usai menikamkan libido kerakusannya. Ketika ketahuan curang, mereka pun sigap pasang tampang tidak berdosa. Bagi yang belum konangan atau yang berhasil lolos dari jerat hukuman, segera pula mereka menebar teror sekaligus unjuk kedigdayaan untuk menancapkan pisau dendam.

Dengan cepat spesies ini pun menjiplak insting kebinatangan lainnya. Sebagaimana lalat yang gemar mengerubuti kotoran dan memuntahkan air liurnya agar makanan melembek dan mudah disedot mulut mininya, koruptor pun selalu memburu gudang anggaran lantas meracuni legislasi dengan berbagai trik penyimpangan agar uang mengalir gampang ke kantong mereka. Meniru kejorokan babi yang gemar makan, tidur, dan mandi di atas kotorannya sendiri, koruptor juga membangun istana harta tempat mereka berasyik masyuk dengan leluasa tanpa ada yang mengganggunya. Bak serigala yang suka menyimpan bangkai busuk untuk disuapkan kepada anaknya, koruptor lantas membagi-bagi aliran dananya kepada keluarga, sanak kerabat, bahkan para gundiknya. Seperti sang srigala yang doyan melahap muntahannya sendiri, koruptor sedia menjelma siluman; menjadi tukang tadah penggasak proyek yang ia rancang dengan curang.
Maka jika kecoak mampu bertahan hidup tanpa kepala hingga hari yang ke sembilan, tanpa kekuasaan pun koruptor masih akan berdaya mengendalikan kehidupannya dengan sentosa. Bahkan jika sampai harus masuk penjara mereka tetap dapat memperoleh kemewahan berbonus kebebasan plesiran. Sebab dana abadi hasil jerih payahnya mencuri uang negara selalu selamat diamankan para kroninya! 

(Dimuat di Jawa Pos, Minggu 26 April 2015).

Buku PMK Jilid 1: ANATOMI KORUPSI

ANATOMI KORUPSI

Seperti tubuh, korupsi memliki organ yang lengkap dengan berbagai fungsi. Ada tangan yang dipakai untuk menggapai, memegang, meremas & membetot. Selain tentu saja menyentuh mesra serta membelai manja korbannya.

Ada kaki yang berguna untuk menopang tubuh kala berdiri, memangkas jarak dengan berjalan atawa berlari, sambil sesekali meloncat jika diperlukan mendekat sang korban dengan cepat. Juga untuk menjejak saat melakukan perlawanan bahkan dengan mendepak dan menendang kepada pihak lain yang tak dibutuhkan.
Korupsi juga punya kepala di mana bercokol fungsi organ paling penting dan utama. Mata untuk melirik & melihat sesekali melotot di saat mulut menggertak, hidung mendengus, serta dahi berkernyit sembari menjalin dua pangkal alis ke pusat jidat. Demikian pula tentu saja di kepala itu menempel mulut guna mengunyah & menelan obyek tangkapan dibantu para gigi serta saluran kerongkongan. Setelah sebelumnya acap diendus lebih dulu oleh hidung serta cek rasa di wajah lidah.

Seperti tubuh, organ-organ korupsi merupa satu kesatuan yang bersandar pada kekuatan motorik dan kepekaan sensorik. Kekuatan fisik & non fisik. Kekuatan luar & dalam. Termasuk perut di mana di dalamnya berumah beragam usus berikut kemanfaatannya. Para usus itu mencerna dan memilah milih benda jarahan ke masing-masing wilayah berbeda. Ada yang disekap di usus besar, ada yang digiling di usus halus setelah sebelumnya nyangkut ke usus dua belas jari. Tapi jangan lupa, pasti ada hasil korupsi yang kesasar nyangkut di appendix. Hingga butuh diamputasi oleh si empunya demi kesehatan tubuhnya.

Namun dari semua itu sebagaimana tubuh, yang paling menentukan dari ‘makhluk’ bernama korupsi adalah otak dan hatinya. Di sinilah segala logika & argumentasi berikut visi perilaku korupsi diolah dan dimatangkan. Termasuk saat sempat ‘mempertimbangkan’ norma baik & buruk, benar & salah, neraka & surga, hingga tuhan & setan. Bertaut berkelindan otak & hati korupsi menjadi dasar pemikiran, pun timbang saran logika serta moral dalam menentukan laku korupsi secara ideologis atau dengan serampangan

Sebagaimana tubuh, organ-organ itu bekerja secara kompak dan menyeluruh. Saling mendukung dan terkoordinasi dalam sinergi yang intens dan berkelanjutan. Kegagalan menghadapi ‘makhluk’ bernama korupsi kerap diawali dari pemahaman keliru atas tubuhnya yang dianggap tak utuh, ringkih, sendiri & kesepian.

Maka, boleh saja sistem pengawasan disiapkan dengan berbagai kecanggihan saat mencegat laju korupsi. Tapi toh, berbagai cara berkelit dan menghindar dengan tingkat keberdayaan canggih selalu saja berhasil dia siapkan untuk meloloskan diri dari deteksi pengawasan birokrasi. Silahkan perangkat aturan dan undang-undang berikut lembaga centengnya diproduksi masal tiada henti, tapi jangan kecewa jika semua itu semaput saat mengejar hendak menghajar korupsi. Lantaran ketika diselidik, disidik hingga disidang, ‘makhluk’ itu akan dengan gampang menghiba atas nama mata hati dan nurani. Bersiasat licik, menelikung pikiran & menjebak empati dengan sinema simpati yang melahirkan permakluman dan pengampunan. (Setelah sebelumnya mungkir berbekal fatwa malaikat bertampang nabi. Membela diri, menghajar balik hukum dan aturan serupa memperlakukan tai).

Kini, generasi termutakhir korupsi rampung bermetamorfosa serupa air & udara. Malih rupa santapan yang kita butuhkan senantiasa. Nyaris tak beda rasa, bau, warna & wujudnya dengan air, udara & makanan sejati. Butuh usaha keras & upaya kuat untuk mengenali tubuh dari ‘makhluk’ bernama korupsi. Satu di antaranya melalui puisi yang bersandar pada ketajaman pikiran, kejernihan mata hati dan kedalaman nurani.

Komentar Maman S. Mahayana Tentang Gerakan PMK

"Komunitas PMK itu gerakan dahsyat. Karena semua orang disuruh memusuhi korupsi," tegas kritikus sastra dan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia saat menjadi pembicara dalam peluncuran Antologi Puisi Negeri Laut, di Tegal, Jawa Tengah, 28 Nopember 2015.

Jumat, 18 Desember 2015

Puisi Tak Bisa Memberantas Korupsi

Sumber foto: Facebook Sulis Bambang (road show#35).
"Puisi tak bisa memberantas korupsi," tegas Jenderal Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK), Sosiawan Leak, ketika berlangsung talk show PMK ke-35, di aula hotel Ungaran Cantik, Kota Ungaran, Semarang, baru-baru ini. "Paling hanya bisa menolak, menentang, atau melawan. Itu saja," tambahnya menegaskan, yang disambut tepuk tangan gemuruh dari semua yang hadir. Talk show itu menampilkan pembicara utama Mbak Oely Sidabalok dan Mas Donny Danardono. Hadir sekitar 200 laskar PMK dari seluruh penjuru tanah air, termasuk dari Malaysia. Terlihat jenderal Leak, memakai sepatu jenggel tentara, hehehe....

Namun harus diakui, gerakan moral PMK yang digenderangkan Leak dan para penyair Nusantara beberapa tahun lalu itu, seperti virus yang terus menyebar ke mana-mana. Anti korupsi dimulai dari diri sendiri dan keluarga para penyair PMK. Gerakan ini telah didukung oleh berbagai pihak, termasuk dari KPK, dan pernah diundang pentas di gedung lembaga anti korupsi Indonesia itu. Ini membuktikan, PMK sudah diakui, sebagai gerakan moral anti korupsi, yang sudah pentas road show di 35 kota besar di Indonesia. Dan akan terus mengelilingi kota demi kota. Edan, ya? Hahaha....

Lima buku tebal kumpulan para laskar PMK sudah terbit dan sekarang menuju ke yang keenam. "Selama korupsi masih merajalela di tanah air, kita akan menulis puisi anti korupsi terus, sebagai bentuk perlawanan," kata Leak lagi. Ah, benar juga, kumpul dengan para laskar PMK, ada semangat membara dalam dada, untuk ikut berjuang membela bangsa dan negara. Sama dengan para pejuang 45. Bedanya, mereka mengangkat senjata, dan kita mengangkat pena. Bukankah pena lebih tajam dari seribu meriam? Kata-kata terkenal Napoleon Bonaparte, sekian ratus tahun lalu itu seperti masih bergema sampai kini. Ah... hehehe...

Acara PMK ke-35 kali ini, dikemas apik oleh Bu Sulis Bambang dan kawan-kawan dari Semarang, seperti Mas Driya Widiana, Mas Artvelo Sugiarto, Pak Imam Subagyo, Mas Lukni Maulana, Mbak Fransiska Ambar Kristiani, dan lain-lain dengan ditandai peluncuran buku "Perempuan Menentang Korupsi" karya para penyair wanita PMK. Dilanjutkan dengan pentas baca puisi oleh para perempuan seperti Mbak Dyah Setyawati, Mbak Ardi Susanti, Mbak Cynthia Suwarti, dan lain-lain termasuk Bu Sulis Bambang sendiri selaku ketua penyelenggara, tampil di depan umum dan nyanyi, hehehe...

Tampil atraktif Mbak Elisyus dan memukau audience dengan pembacaan puisi "Pertiwiku Sudah Mati". Sedangkan Mas Haryanto Sukiran tampil monolog "Semar". Bagi para laskar PMK lelaki pun banyak yang ikut tampil seperti Mas Heru Mugiarso, Mas Rama Dinta, dan lain-lain. Maaf para pembaca puisi, tidak dapat saya sebutkan satu persatu di sini, akan terlalu panjang banget. Pokoknya ramailah, ada mbak Denis Hilmawati dari Solo, mbak Cinta Logika, Mas Wage Teguh Wiyono, Mas Bontot Sukandar, Pak Bambang Eka Prasetyo, Mas Ethexs Suyitno bersama anak dan istrinya, ikut tampil meramaikan. Sekali lagi maaf ya, teman-teman, hehehe....

Ini yang spesial, tampilnya Mas Joshua Igo, sastrawan yang juga musikus. Membawakan orgen tunggal, mengiringi baik yang baca puisi, maupun yang nyanyi. Anehnya, setiap gerak-geriknya, selalu dirubung ibu-ibu Muslimah. Apa mungkin sudah takdir hidupnya, entahlah, hehehe....Okre, selamat sukses teman-teman PMK, salam laos.

Semarang, Desember 2015

Selasa, 15 Desember 2015

Menolak Korupsi dengan Puisi


MENOLAK KORUPSI DENGAN PUISI
*Dimas Indianto S. M.Pd.I.


Pada 23 Desember 2009, sebuah buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Century” karangan George Junus Aditjondro menyita perhatian masyarakat Indonesia. Buku setebal 183 ini menuai banyak komentar karena tercatutnya nama orang-orang penting seperti Presiden SBY, empat yayasan yang ditengarai berafiliasi dengan SBY, dan Ny. Ani Yudhoyono, Ramadhan Pohan, Jero Wacik, Hatta Rajasa, Edhie Baskoro, dan sederet nama para politikus lainnya. Buku yang diterbitkan oleh GalangPress ini banyak membeberkan indikasi kebusukan sistem oligarki atau mengguritanya persekongkolan kotor dalam tubuh pemerintahan SBY ketika itu.
Keberadaan buku itu menjadi bukti, bahwa George sebagai bagian dari masyarakat sipil mampu membuat gerakan usaha pemberantasan korupsi melalui gerakan literasi. Bahkan selain membuat polemik berkepanjangan, lima hari setelah launching, 27 Desember buku ini sudah menghilang dari pasaran. Ini adalah indikasi bahwa ada pihak yang takut pada kebenaran atau data-data yang disuguhkan dalam buku ini. Potret ini menjadi bukti bahwa untuk menakuti koruptor tidak melulu dengan teriakan, demontrasi, bahkan mogok makan yang kerap dilakukan mahasiswa yang kadang tidak membuahkan hasil. Melalui tulisan yang menarik, George ternyata bisa membuka mata masyarakat Indonesia tentang sebuah praktik korupsi yang dilakukan para petinggi negeri ini.
Genealogi Korupsi
Jika menengok sejarah, korupsi memang suatu hal yang sudah sangat membudaya. Bahkan merupakan salah satu penghancur peradaban manusia. Di Mesir, Babilonia, Cina, India, Yunani, bahkannRomawi Kuno, korupsi memunculkan masalah yang dahsyat. Dalam ensiklopedi Britanica (1962), diungkapkan bahwa Hammurabi dari Babilonia yang naik tahta sekitar tahun 1200 SM memerintahkan seorang gubernur untuk menyidik perkara penyuapan terhadap aparat birokrasinya. Driver & Miles dalam The Babylonian Laws (1952) menulis, bahwa di tahun 200 SM, Shamash, Raja Assiria pernah menjatuhkan vonis pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap atau dalam eufemisme kita disebut uang pelicin.
Aksi-aksi korupsi oleh para pejabat birokrasi, berdampak mengerikan. Pada era kejayaan Romawi, misalnya, tindakan korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi membuat kerajaan itu menjadi bangkrut. Frank dalam An Economic Suurvey of Ancient Rome (1959) menulis, bahwa Raja Romawi, Julius Caesar, memberi contoh paling buruk dalam sejarah birokrasi negaranya. Dia merampas harta kekayaan provinsi untuk keuntungan pribadinya. Ketika menyerbu Spanyol, Sang Raja Romawi itu dililit utang ekstra besar. Dengan terjun ke medan perang itu, dia bermaksud melakukan pengelabuan untuk membebaskan diri dari belenggu utang tersebut, sekaligus untuk menghapus citra dirinya sebagai pejabat paling korup pada saat itu.[1]
Seperti halnya di banyak negara, perilaku koruptif di Indonesia sudah berlangsung sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah memberikan label atas hal itu sebagai telah membudaya. Bahkan dalam formulasi kuantitatif yang relatif, Begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan pernyataan kontroversial, bahwa kebocoran anggaran pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen.
Perlawanan dengan Jalan Bahasa
Diibaratkan sebuah penyakit, Korupsi adalah sebuah penyakit mematikan yang mudah menjangkit manusia. Sekali saja seorang manusia lengah dari kebersadaran diri, ia akan bisa terkena godaan penyakit yang satu ini. Oleh karena sifatnya yang lentur dan tidak nampak, korupsi menjadi godaan yang menggiurkan. Betapa tidak, di era serba cepat, efek globalisasi yang menawarkan hal-hal hedonis-pragmatis, siapapun sangat dengan mudah tergiur untuk mendapatkan “hasil” lebih banyak, dengan kinerja yang tidak begitu berat. Sekalipun dengan cara yang melanggar kode etik ataupun konvensi-konvensi yang berlaku.
Di titik yang memprihatinkan, jika korupsi menjangkit semua lapisan orang yang memiliki kedudukan di sebuah elemen negara, maka tinggal menunggu waktu hancurnya negara itu. Indonesia, sebagai bagian dari negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, tidak menutupkemungkinan untuk segera datang masa kehancuran. Mereka, para koruptor itu, tidak berpikir panjang atas ulah mereka. Sementara rakyat kecil, yang tidak menahu ikhwal perbuatan para petingginya, selalu menjadi korbannya.
Maka itu, untuk mengurangi angka korupsi di Indonesia, diperlukan keterlibatan masyarakat untuk memberantas tindakan korupsi, atau setidak-tidaknya mencegah korupsi yang lebih parah lagi. Salah satu yang bisa menjadi jalan adalah dengan jalan bahasa. Sebagaimana George dengan bukunya itu, menghadirkan data-data tentang tindakan koruptif yang melibatkan pejabat penting. George dengan tulisannya membuka mata rakyat untuk lebih awas melihat persoalan yang sedang terjadi, yang notabene adalah tindakan merugikan buat rakyat.
Langkah yang dilakukan oleh George itu, adalah sebagaimana Finochiaro mendefinisikan fungsi bahasa menjadi lima kelompok, 1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun perasaan; 2) fungsi interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial, 3) fungsi direktif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk mengatur oranglain, menyuruh oranglain, memberikan saran untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu, 4) fungsi refrensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referensi dengan menggunakan lambang bahasa; dan 5) fungsi imajinatif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu denagn berimajinasi.[2]
Dari sinilah, dengan jalan komunikasi lewat bahasa tulis, George membuktikan betapa bahasa sungguh memiliki peran yang sangat signifikan. George mengancam pihak-pihak yang dinyatakan bersalah, baik secara de jure maupun de facto. Tentang keterancaman dengan jalan bahasa ini, sebenarnya sudah dibuktikan bertahun-tahun yang lalu. Para penulis atau sastrawan yang menyuarakan perlawanan dengan jalan sastra, misalnya, menjadi buronan para politisi dan pejabat yang terkait. Adalah sebagaimana yang dialami Pramoedya Ananta Toer, ataupun Widji Thukul, misalnya, yang beberapa kali diasingkan, bahkan Thukul tidak diketahui ke mana rimbanya hingga detik ini, disinyalir adalah oleh karena mereka keras dalam menentang kekejaman rezim melalui tulisan, melalui bahasa: melalui sastra.
Puisi Menolak Korupsi
Baru-baru ini, muncul gerakan Puisi Menolak Korupsi, yaitu sebuah gerakan yang masif, terstruktur, dan sistematis dari bagian masyarakat untuk membukukan puisi-puisi bertemakan penolakan terhadap bahaya laten korupsi di Indonesia. Gerakan yang dikoordinatori oleh sastrawan Sosiawan Leak ini pantas dicatat dan distabilo dalam sejarah perlawanan terhadap korupsi. Betapa tidak, dari namanya saja, Puisi Menolak Korupsi, bukan penyair menolak korupsi. Ini menekankan bahwa penolakan terhadap korupsi adalah tanggungjawab semua lapisan masyarakat. Jadi dalam gerakan ini yang terpenting adalah puisi yang berbicara, tidak dibatasi hanya penyair saja yang menuliskan puisi, tetapi siapapun yang mempunyai ketertarikan menuliskan ikhwal penolakan terhadap korupsi. Presiden John F. Kennedy pernah mengatakan dalam pidatonya, bahwa jika politik bengkok puisi yang meluruskan (bukan penyair yang meluruskan). Seirama dengan itu, Seno Gumira Adjidarma, seorang cerpenis terkenal mengatakan dalam bukunya jika jurnalisme dibungkam sastra berbicara (sastra bukan sastrawan). Kedua adagium itu sarat dengan muatan kemahadahsyatan sebuah sastra, sebuah puisi.
Manusia itu terkutuk untuk bebas, begitu kata Jean Paul Sartre. Manusia dengan jiwa bebasnya tak ingin tertindas oleh kepentingan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Penyair adalah sebagian orang yang memilihnya dari jalur bahasa. Mereka maju ke depan sebagai corong kemanusiaan untuk menyuarakan itu. Segala yang membuat mereka terusik itu tertanam dalam karya mereka, yang dengannya jutaan manusia lain bisa mengambil perenungan untuk menyadari kekeliruan yang mereka lakukan. Buah pemikiran yang bening itu seperti mata air, siapapun dan dengan latar belakang apapun boleh dan bisa menimbanya sehingga mengalirkan pemikiran segar baru darinya.[3]
Mengapa dengan puisi? Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan, baik berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang dialami oleh penyair, masalah sejarah-sosial-politik-ekonomi-budaya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran penyair diekspresikan secara unik dan menarik.Puisi merupakan proyek filsafat yang selalu meruahkan pertanyaan. Setiap pertanyaan akan melahirkan banyak jawaban, formula, konsep, tata nilai dan yang pasti tak habis dimaknai.
Teks puisi dibentuk dan diciptakan oleh penyair tampaknya berdasarkan desakan emosional dan rasional. Puisi karya penyair, sejalan dengan wawasan Luxemburg, merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi. Maka wajar jika unsur-unsur pribadi penyair seperti pengetahuan, peristiwa penting, visi, misi, dan konsepsinya mewarnai puisi yang ditulis. Penggunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa lain oleh penyair dimaksudkan untuk memadatkan dan mengefektifkan pengungkapan.
Dalam pada ini, puisi tidak bisa diremehkan. Banyak sastrawan-sastrawan yang mengungkapkan bahwa puisi bukanlah karya biasa, yang ditafsirkan dengan bahasa biasa-biasa saja, dibacakan dengan nada biasa, dan diolah pikir dengan cara-cara biasa. HB. Jassin, seorang kritikus sastraIndonesia, mengatakan bahwa puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Dalam puisi itu, pikiran dan perasaan seolah-olah bersayap, ditambah lagi oleh syarat-syarat keindahan bahasa tinggi rendah tekanan suara. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia agung dengan pikiran dan perasaannya. Edgar Allan Poe, seorang penulis berkebangsaan Amerika, mengatakan bahwa puisi adalahh ciptaan dengan irama keindahan yang dimaksudkan untuk meluhurkan jiwa. Percy Bysche Shelly, mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan.
Samuel Johnson mengatakan bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan penuh daya, dia bercikal bakal dari emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Matthew Arnold memberikan definisi bahwa puisi merupakan bentuk organiasai tertinggi dari kegiatan intelektual manusia. Senada dengan tu, Bradley mengatakan puisi adalah semangat. Sementara, Ralph Woldo Emerson mengatakan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk engekspresikan jiwa sesuatu untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan lain dan alasan yang menyebabkannya ada.[4]
Dari Roadshow ke Roadshow
Gerakan Puisi Menolak Korupsi, jika dikategorikan sebagai sebuah genre karya, adalah karya sastra bertendensi. Yaitu salah satu genre sastra yang berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Sebagai juru bicara kelompok, penyair semenjak awal telah dibekali dengan niat dan ideologi tertentu. Karya sastra dijadikan alat yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sarana untuk menyampaikan maksud-maksudnya.Lahirnya sastra bertendensi justru diakibatkan oleh adanya anggapan bahwa karya sastra menduduki posisi yang penting dalam masyarakat. Melalui sastra dapat disalurkan berbagai aspirasi, visi, dan missi, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.[5]
Oleh sebab itu, wajar bila Sosiawan Leak mengatakan Gerakan Puisi Menolak Korupsi berbasis moral dan bergerak dalam ranah kebudayaan. Sebagaimana namanya, gerakan ini melakukan aktivitasnya dengan puisi (anak kandung kebudayaan) sebagai sumber ekspresinya. Maka, ia tak akan pernah bisa lepas dengan hal-hal yang terkait dengan puisi (menulis puisi, membaca puisi, mencetak puisi, menerbitkan puisi, mementaskan puisi, merayakan puisi, mendiskusikan puisi, dan lain-lain) selama puisi-puisi tersebut mengolah tema korupsi”. Dalam pada ini penolakan terhadap korupsi adalah sebuah misi suci yang dipanjikan para anggotanya.
Gerakan ini terus melancarkan penolakan terhadap korupsi dengan melibatkan masyarakat secara luas, terbukti anggota dari gerakan ini bukan semata penyair yang namanya sudah besar di media-media, melainkan juga ibu-ibu, pedagang, karyawan, guru, wartawan, mahasiswa hingga siswa sekolah. Pada antologi puisi PMK jilid 1, terdapat sedikitnya 85 orang yang ikut serta, sedangkan antologi PMK jilid 2 yakni 2a dan 2b (oleh karena jumlah orang yang ingin bergabung jumlahnya semakin banyak) yakni 197 orang, sementara antologi PMK jilid 3 (edisi Pelajar Menolak Puisi) adalah 286 pelajar seluruh Indonesia, dan PMK jilid 4 (mengambil tema Ensiklopegila Koruptor) terdapat 175 orang yang bergabung.[6]
Bukti bahwa gerakan PMK merupakan sebuah respresetasi dari gerakan masyarakat menolak korupsi adalah dengan diberlakukannya konsep iuran dan “saweran”. Penerbitan buku-buku antologi PMK ini murni atas dana swadaya masing-masing kontributor puisi. Jadi, sesiapa yang karyanya dinyatakan masuk (setelah proses kurasi ketat oleh Sosiawan Leak)[7] melakukan iuran untuk pendanaan penerbitan buku. Sedangkan “saweran” adalah istilah dalam gerakan PMK bagi masing-masing kontributor yang ingin mmberikan iuran atau sumbangan lebih demi kelancaran Gerakan PMK.
Hal ini dilakukan, oleh sebab gerakan PMK tidak sekedar membukukan puisi saja, melainkan juga membacakannya dari kota satu ke kota lain yang kemudian dinamakan roadshow menolak korupsi. Sebagimana menurut Laswell, agar komunikasi itu bisa diterima dengan baik maka harus ada komponen-komponen pendukung yaitu harus ada si pengirim atau pihak yang menyampaikan pesan, ada pesan yang ingin disampaikan, ada media atau perantara untuk menyampaikan pesan, ada penerima pesan, ada umpan balik atau tanggapan dari penerimaan pesan dan ada aturan-aturan yang disepakati. Media itu adalah pembacaan puisi, deklamasi puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, hingga lomba baca puisi dari kota ke kota.[8]
Misi utama dalam pelaksanaan roadshow ini adalah bahwa puisi lahir dari suara masyarakat dan untuk masyarakat. Menyebarkan semangat untuk menolak korupsi harus berkelanjutan. Mengabarkan bahwa pelaku korupsi harus dikenakan sangsi sosial berupa pengecaman dari masyarakat.[9] Puisi yang telah dibukukan kemudian dibacakan di berbagai forum dan tempat di berbagai kota di Indonesia, sehingga muatan dari puisi tersebut tersampaikan. Bahkan di setiap roadshow PMK, selalu diadakan diskusi perihal persoalan korupsi dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkompeten baik dosen, pengamat politik, pengamat sosial, maupun para budayawan untuk bisa menjadi partner dalam usaha memberantas korupsi. Dengan begitu, gerakan ini, adalah representasi dari rasa cinta (sense of belonging) masyarakat, khususnya penyair, terhadap tanah air Indonesia. Hal ini sebagaimana Jean Paul Sartre pernah menuliskan tentang “Tanggungjawab Pengarang”, menurutnya pengarang semestinya selalu mengorientasikan dirinya dengan peristiwa-peristiwa aktuil di mana pun dari bumi ini. Tabik.

Yogyakarta, 14 Desember 2015.


*Dimas Indianto S. M.Pd.I. mempunyai nama pena Dimas Indiana Senja. Lahir di Brebes, 20 Desember 1990. Alumni pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan resensi buku. Beberapa puisinya memenangkan lomba penulisan puisi. Sering diundang membacakan puisi dan mengisi seminar kepenulisan sastra. Buku puisinya: Nadhom Cinta (2012), Suluk Senja (2015). Buku kumpulan esainya Sastra Nadhom (2015). Menerima beberapa penghargaan, antara lain Pemuda Berprestasi di Bidang Pendidikan, Seni, dan Budaya dari PemDa Brebes; dan masuk dalam tokoh penting Kabupaten Brebes oleh Kabid Humas dan Protokoler Kab. Brebes. Menjadi pengasuh komunitas sastra santri Pondok Pena Purwokerto, ketua Sanggar Suluk Bumiayu, dan Komite Sastra Dewan Kesenian Kab. Brebes (2015-2020).


[1] Sudarwan Danim. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 61.
[2] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 1. (Yogyakarta: Javakarsamedia, 2012) hlm. 20.
[3] Dimas Arika Mihardja, dkk. Reparasi dan Apresiasi ala Bengkel Puisi Swadaya Mandiri jilid 2. (Yogyakarta: Javakarsamedia, 2012) hlm. 150.
[4]Ibid.,hlm. 169
[5] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm 360-364.
[6]Silahkan lihat lampiran keanggotaan antologi puisi PMK. Data ini belum ditambah dengan tiga antologi senada, yakni Memo untuk Presiden, Memo untuk Wakil Rakyat, dan Perempuan Menentang Korupsi.
[7]Proses kurasi dalam antologi buku ini dilakukan untuk menjaga entitas kesastraan dari puisi yang dikirimkan. Dalam pada ini, sastra bertendensi yang mengedepankan visi bukan berarti menanggalkan nilai-nilai estetis sebuah karya sastra. Hal ini menampik anggapan bahwa puisi yang masuk antologi PMK adalah puisi asal bunyi atau asal membahas korupsi.
[8]Untuk melihat betapa gerakan ini begitu masif, terstruktur, dan sistematis, silahkan lihat lampiran tentang jadwal Roadshow Menolak Korupsi.
[9] Dalam buku antologi PMK jilid 4, yang kemudian diberi tajuk “ensiklopegila koruptor”, bahkan puisi-puisi di dalamnya mencantumkan nama-nama koruptor berikut kasus masing-masing dengan variasi hukumannya. Langkah ini adalah bukti konkrit gerakan PMK membuka mata masyarakat agar mengenal satu persatu penjahat Negara yang mencuri uang Indonesia untuk kepentingan pribadi. Maka membaca buku antologi PMK 4 adalah membaca ensiklopedia koruptor.

Jumat, 11 Desember 2015

Undangan Road Show PMK ke-35

HADIRILAH | GRATIS | Terbuka untuk umum
PEREMPUAN MENENTANG KORUPSI | Road Show #35
Puisi Menolak Korupsi 5


12-13 Desember 2015 | 20.00 Wib - selesai | Hotel Ungaran Cantik (Jl. Raya Ungaran Kab. Semarang)

MOHON KONFIRMASI KEHADIRANNYA
Info hubungi:
Sulis Bambang (081 129 877 2) | Artvelo Sugiarto (085 712 193 839) | Imam Subagyo (082 134 780 312) | Sofyan Adrimen (085 106 309 330) | Lukni Maulana (08222 67888 30)

Nb:
1. Dari jalur TImur: Dari terminal Terboyo - naik bus jurusan Ungaran dan turun di Hotel Ungaran Cantik.
2. Dari jalur Barat : Turun terminal Terboyo oper bis jurusan Ambarawa, Yogya, Temanggung atau Solo turun di Hotel Ungaran Cantik.
3. Dari jalur Selatan: Bisa langsung turun di Hotel Ungaran Cantik.
4. Naik kereta api turun stasiun Poncol.

Bagi yang membutuhkan jemputan bisa menghubungi:
Artvelo Sugiarto (085 712 193 839) | Imam Subagyo (082 134 780 312)
------------
Check in hotel hari Sabtu, 12 Desember 2015 dan Check out Minggu siang, 13 Desember 2015.


Sumber info: Facebook Lukni Maulana.