Senin, 31 Maret 2014

Ekohm Abiyasa Baca PMK di Masastro Solo #9



Baca Puisi Menolak Korupsi di acara Masastro Solo #9
Senin, 31 Maret 2014 di Kafe Gerobak Cokelat Purwosari.

Pada kesempatan itu, saya sedikit memperkenalkan gerakan PMK dan membaca salah satu puisi PMK. Salah satu anak Masastro kebetulan juga masuk dalam antologi jilid III Pelajar, Agri Satrio.

Masastro sendiri adalah sebuah komunitas sastra para mahasiswa di lingkup Solo. Kebanyakan sih anak-anak teater. Sebagai kepanjangan dari saudara sekandung Malam Ngopinyastro Yogya.

Demikian.

Postingan serupa:
Facebook Masastro Solo
Facebook PMK
Serampaikata

Pernik PMK



Sumber Facebook PMK: satu, dua, tiga

Kamis, 27 Maret 2014

Buku PMK Jilid 3: IMUNISASI KORUPSI


IMUNISASI ANTI KORUPSI

Dulu, untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu kita musti melakoni kesakitan dan ketidakstabilan suhu badan dalam beberapa hari lantaran diimunisasi. Rasa ngilu di organ tubuh tempat jarum suntik ditusukkan, berikut keloyoan menyergap badan berhari-hari bahkan hingga semingguan. Kita bakal dihinggapi meriang, pening, lidah pahit, hidung meler, hingga ngedropnya nafsu makan.

Kadar kesakitan yang menyertai proses imunisasi --kala kuman dimasukkan lewat jarum suntik yang ditusukkan di bagian tertentu tubuh-- tergantung kepekaan bagian tubuh itu. Semakin kerap ditusuk sebelumnya, semakin tak terisaukan sakitnya. Kadar kesakitannya juga tergantung dari jenis kuman, serta sebanyak apa ia diselundupkan. Semakin banyak kuman dikirimkan, tentu saja akan semakin lama efek sakitnya terasa di bagian tubuh yang disuntik itu. Demikian pula bakalan kian lama keloyoan menawan badan.

Konon, (menurut bapak/ibu guru) kuman yang dimasukkan saat imunisasi disesuaikan dengan jenis penyakit yang kita inginkan kekebalannya. Dengan terlebih dahulu dipingsankan dan ditidakberdayakan, para kuman itu disusupkan ke tubuh kita. Pemingsanan dan penidakberdayaan itu dilakukan agar manakala mereka mendarat dalam tubuh, dapat ditaklukkan dengan gampang oleh antibodi (laskar kebaikan) yang menjaga teritori kesehatan kita. Para laskar kebaikan itulah yang nantinya akan melucuti para kuman tersebut dan memaksa mereka ganti uniform, pindah keberpihakan, malih rupa menjadi laskar kebaikan yang mendukung kesehatan badan. Lantas, jika belakangan hari ada jenis kuman tertentu --serupa mereka-- menyerang tubuh kita, laskar malihan itulah yang bakal menangkalnya. Mereka itulah yang menyebabkan tubuh kita kebal terhadap suatu penyakit. Itulah kenapa saat kecil kita kerap melakoni beberapa kali imunisasi. Belakangan, imunisasi atas beberapa penyakit bahkan dilakukan secara dini sejak bayi. Padahal di masa sebelumnya, hampir semua proses imunisasi atas berbagai penyakit kerap dilakukan di sekolahan, utamanya saat di Sekolah Dasar.

Sayang, perlakuan kita terhadap penyakit rohani tak sama dengan perlakuan terhadap penyakit jasmani. Sehingga pencegahan dan perlawanan terhadap penyakit moral (bagian dari rohani) semacam korupsi sungguh berbeda dengan yang kita lakukan terhadap penyakit fisik pengancam kesehatan badan.

Dulu, di setiap keluarga dan lingkungan pergaulan, intensitas perjumpaan yang hangat dan akrab kerap diisi dengan obrolan, sapaan, guyonan, hingga hardikan menyoal konsep benar dan salah secara moral. Di masyarakat kita pun kebak berbagai pantangan dan seruan untuk menghindari pamali atau mengerjakan kautaman tindakan yang terpatri lewat nilai-nilai tradisi dan aneka kepercayaan (kearifan) lokal. Beragam aturan adat dan peradaban berujud pantangan dan ajakan itu --sebagaimana obrolan dalam keluarga-- senantiasa membeber soal moral. Dan, pelajaran moral yang jadi materi penting dalam keluarga dan lingkungan adalah soal mencuri dan berbohong, beranjak dari kasus-kasus sederhana. Kedua hal itulah (mencuri dan berbohong) yang belakangan hari menjadi fondasi terbangunnya laku korupsi.

Dulu, ketika menimba ilmu di sekolah, ajaran moral dan budi pekerti senantiasa beterbangan di udara terbuka yang bisa kita hirup di seluruh lingkungan sekolah dengan leluasa. Ajaran semacam itu tidak hanya digelar di dalam ruangan pada saat jam pelajaran agama, pendidikan moral, dan kewarganegaraan saja. Namun telah mulai dipraktekkan pelaksanaannya sejak masuk gerbang sekolah hingga meninggalkannya. Bahkan mereka kerap ikut pulang ke rumah hingga kita ceritakan kepada ibu dan ayah. Pelajaran moral tentang jahatnya berbohong dan mencuri dalam wujud mencontek, menjiplak, dan ingkar janji. Hal-hal sederhana yang kini menjelma benih utama tumbuhnya laku korupsi. Sebab ternyata korupsi hanya bisa terjadi jika pelakunya mampu mencuri dan berbohong. Mencuri diperlukan; karena korupsi adalah mengambil yang bukan miliknya. Berbohong dibutuhkan; karena setiap laku korupsi membutuhkan kebohongan (rekayasa) terkait dengan tugas dan kewenangan (kekuasaan) yang menyimpang.

Kini, jasmani kita makmur dan sejahtera salah satunya karena kita rajin melakukan imunisasi sejak dini. Tapi siapa yang menjamin rohani kita sehat dan sentosa, apalagi tanpa adanya imunisasi budi pekerti?

Rabu, 26 Maret 2014

Nafsu Konsumtif Orang Kaya (Suara Merdeka, Kamis 27/03/14)


Dengan judul asli (sebelum dikirim ke SM) ORANG KAYA BELI APA?

Oleh: Wardjito Soeharso

Kalau anda jadi orang kaya, anda ingin beli apa? Saya yakin anda pasti ingin beli rumah mewah, mobil mewah, tanah yang luas, emas berlian permata mutu manikam, dan seabreg barang mewah dan mahal lainnya. Mengapa anda ingin membeli semua barang-barang itu? Jawabnya sederhana: karena anda punya uang. Dengan uang anda bisa memperoleh segalanya. Dengan uang dunia seisinya ini bisa anda beli.

Jadilah hidup kita ini sangat konsumtif. Gatal rasanya tangan kalau sudah pegang uang. Sementara rayuan iklan juga begitu merangsang selera. Di rumah, televisi membombardir keluarga dengan iklan 24 jam penuh. Begitu kita keluar rumah, di sepanjang jalan kita juga disodori pemandangan yang sama: iklan, yang merayu kita untuk membeli, membeli, dan terus membeli. Hidup kita sudah dikepung dengan rayuan iklan yang sangat massif, di mana pun dan kapan pun kita berada.

Bahkan, telepon seluler (handphone) kita juga sudah bukan barang privat lagi. Nomor kita sudah diperjualbelikan oleh provider. Hampir setiap saat masuk short message service (sms) yang berisi segala macam penawaran produk, dari obat kuat sampai pinjaman tanpa jaminan dengan nominal ratusan juta hingga milyaran rupiah.

Martabat dan wibawa orang sekarang dilihat dari materi yang dimiliki. Gaya hidup mewah sudah menjadi wabah. Orang berlomba mengejar yang serba “wah” untuk mendapatkan sanjungan dan kehormatan. Untuk itu semua, orang rela berbuat apa saja. Boleh jadi, itulah alasan banyak orang lalu memburu uang dengan berbagai cara, termasuk cara illegal sekalipun, seperti mencuri, merampok, atau korupsi.  Yang penting uang didapat, dan dengan uang itu orang bisa memanjakan nafsu membeli sepuas-puasnya.

Ya, nafsu membeli memang sudah melilit kita semua. Apalagi punya uang, lha wong tidak punya uang saja orang tetap ingin memanjakan nafsu membeli. Lihat saja, perusahaan leasing terus saja gila-gilaan merayu orang untuk membeli barang dengan fasilitas kredit yang sangat mudah. Beli rumah, mobil, motor, televisi, sampai handphone, bisa dilakukan dengan cara kredit dengan jangka waktu angsur yang panjang. Orang jadi tidak berpikir logis tentang bunga yang tinggi mencekik, yang penting barang bisa dibawa pulang. Soal angsuran berbunga tinggi? Ah, kumaha engke wae!

Dari berbagai kasus korupsi yang sudah berhasil diungkap, ternyata para koruptor itu juga memiliki nafsu membeli yang luar biasa. Dari uang hasil korupsi, mereka membeli rumah mewah, mobil mewah, tanah yang luas, dan barang-barang mewah lainnya. Ini membuktikan bahwa para koruptor juga sangat memanjakan nafsu membeli. Bukan sekedar barang yang mereka beli, bahkan cewek-cewek cantik juga mereka koleksi. Gaya hidup mereka benar-benar membuat kita tercengang. Mereka tidak peduli, walau profil profesi  jadi tidak sesuai dengan gaya hidup. Aparatur Negara dengan gaji kecil kok bisa hidup dengan mewah berkelimpahan. Toh, tidak ada yang mempersoalkannya.

Nah, dari nafsu membeli itu mestinya negara bisa melacak tindak kejahatan, termasuk korupsi. Selama ini, yang dipakai alat penelusur hanya aliran dana bank melalui rekening dan transaksinya. Dari laporan  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memantau pergerakan aliran dana dari rekening bank, para koruptor itu akhirnya jatuh terjegal, dan terperangkap dalam jerat hukum.

Mestinya, negara bisa memantau atau menyelidiki transaksi pembelian dengan besaran tertentu. Misalnya, transaksi pembelian 100 juta ke atas harus dilaporkan ke negara.  Jadi, siapa pun yang melakukan transaksi pembelian barang atau jasa bernilai 100 juta ke atas, pihak penjual wajib meminta, mencatat identitas pembeli, dan melaporkan transaksi pembelian itu kepada negara. Maka, kalau ada Pejabat Negara dan Pegawai Negeri mampu membeli rumah, mobil, tanah,  berharga ratusan juta rupiah, misalnya, akan masuk dalam laporan transaksi pembelian. Walaupun pembelian dilakukan secara kredit, laporan transaksi pembelian itu harus tetap ada, lengkap dengan model, besaran, dan jangka waktu angsuran. Dari sana  bisa dilihat profil statusnya sebagai Pejabat Negara dan Pegawai Negeri dengan golongan pangkat dan jabatan apa, wajar atau tidak yang bersangkutan mampu membeli barang-barang seharga sekian, dengan besaran cicilan sekian per bulan, dst.

Kalau sistem seperti ini bisa dipakai, negara akan mudah melacak siapa saja yang membelanjakan uangnya dalam jumlah besar. Tinggal mencocokkan saja, apakah penghasilan si pembeli mendukung kemampuan daya belinya? Kalau memang iya, tidak masalah, tapi kalau tidak, perlu dipersoalkan dari mana si pembeli mendapatkan uangnya. 

Dengan pemberlakuan sistem ini, setiap gerak orang kaya tidak lepas dari pengamatan negara. Bagaimana mereka memperoleh uang dan bagaimana mereka membelanjakan uang, diketahui oleh negara. Bila mereka memang jujur dalam memperoleh dan membelanjakan uang, tentunya mereka juga tidak akan mempersoalkan.

Saya bukan ahli ekonomi, jadi tidak tahu bagaimana mekanisme untuk menjalankan sistem seperti ini. Tapi saya berkeyakinan, where there is a will, there is a way, di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Kalau negara mau, pasti bisa. Ini bisa jadi salah satu alternatif untuk mengurangi korupsi. Fakta membuktikan, setiap koruptor tertangkap, dalam penyidikan lanjut, selalu diikuti tindak pidana pencucian uang (money laundering). Mereka membelanjakan uang hasil korupsi untuk menyembunyikan hartanya. Siapa tahu, dengan cara ini, negara jadi lebih mudah melacak dan menangkap pelaku korupsi. Nyatanya, dengan sistem yang ada sekarang ini, pemberantasan korupsi masih saja tertatih-tatih.

Artikel ini akan dipakai sebagai Bahan Diskusi dalam Road Show Puisi Menolak Korupsi XVII di Tegal, Sabtu, 29 Maret 2014. Penulis adalah Widyaiswara pada Badan Diklat Prov. Jateng, Penyair, Pegiat Komunitas Penulismuda Indonesia, dan tinggal di Semarang, Jawa Tengah.
 
Sumber Facebook PMK

Link http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2014/03/27/256972/Nafsu-Konsumptif-Orang-Kaya

Road Show 17 di Tegal: Pertemuan dengan Walikota Tegal

Dwiery Santoso, Yusqon (Ketua Panitia), Bunda Shita (Walikota Tegal), Johardi (Sekretaris Dinas Pendikan), Joshua Igho, Bontot Sukandar
Usai pertemuan dengan Walikota Tegal, sore tadi. Dalam pertemuan tersebut Walikota menyambut gembira rencana Roadshow PMK XVII di Tegal, 29 Maret 2014 mendatang. Dia(beliau) bahkan bersedia membacakan satu puisi.

Sumber Facebook PMK (Joshua Igho)

Selasa, 25 Maret 2014

Road Show 17: Latihan Musikalisasi Puisi "Bapak"

Videonya di sini.

Bassist: Jotet
Guitarist: Anang
Poem reader: Bonsu

Sumber: Facebook PMK (Bontot Sukandar)

Minggu, 23 Maret 2014

Daftar Penyair PMK Jilid 3: Pelajar Indonesia Menggugat!

Launching/terbit akhir bulan April 2014. Judul buku puisi jilid 3: Pelajar Indonesia Menggugat!

Merupakan kelanjutan dari 2 antologi PMK, yang mana perlunya peran serta para pelajar untuk menyikapi bahaya laten korupsi.
291 pelajar yang karyanya lolos seleksi untuk buku kumpulan PMK (Puisi Menolak Korupsi) Jilid 3, ada 5 nama yang terpaksa saya batalkan pemuatannya, karena karyanya tidak disertai data diri yang memadai. Mereka adalah: Diantini, Evadatul Khusnah, Febri Yani Rustanti, Kuni Zakiyah Rahmadhani (Banyuwangi), dan Lusi Sukmawati (Pekalongan).
Dengan demikian buku tersebut akan memuat puisi karya 286 pelajar Indonesia, dengan ketebalan kurang lebih 450 halaman. Hari ini materi buku itu mulai masuk proses percetakan/penerbitan. Saya perkirakan pertengahan bulan April 2014, proses buku itu baru selesai. (Sosiawan Leak) Sumber.
Nama-nama pelajar yang lolos:
1. A. Habiburrahman (Sumenep)
2. A. Kafi Febrian (Sumenep)
3. Abdul Azis Pane (Deli Serdang)
4. Abi Ortega (Pangkalan Kerinci, Riau)
5. Aeni Krismonika (Purbalingga)
6. Afifatus Sa’diah (Jember)
7. Agil Vina Febriana (Salatiga)
8. Agri Satrio Adi Nugroho (Sukoharjo)
9. Ahmad Alfi (Surakarta)
10. Ahmad Khoirur Roziq (Kediri)
11. Ahmad Latief Ansory (Palembang)
12. Ahmad Saugi Andrian P. (Tangerang)
13. Ahnafudin Toha (Semarang)
14. Ahshalia Ayu Aghnia (Pekalongan)
15. Aida Kurniasih (Banyumas)
16. Aisyah Rachma (Surabaya)
17. Aji Rahmat Imanudin (Bojonegoro)
18. Aji Tanda
19. Alanwari (Bogor)
20. Alfianingsih (Purbalingga)
21. Alimatus Saadiyah (Ngawi)
22. Amalia Nurus Syifa (Banyumas)
23. Amazona Mega Ramadhanty (Cilacap)
24. Amir F. A. (Sumenep)
25. Anastasia Sita Wulandari (Gunung Kidul)
26. Andi Wijaksono (Purbalingga)
27. Andika (Banyumas)
28. Andrian Eka Saputra (Boyolali)
29. Andy Putra Ramadhan (Semarang)
30. Angga Anggriawan (Ciamis)
31. Angga Tri Andriyono (Banyumas)
32. Anis Ilahy Nafsi (Ngawi)
33. Anisa Wulansari (Balikpapan)
34. Annas Tunggal (Ngawi)
35. Anurul Islami (Banyumas)
36. Ardiyah (Banjarnegara)
37. Arif Budiman (Lamongan)
38. Arifah Hasin Haluqi (Banyumas)
39. Arina Sabila Najah (Pasuruan)
40. Asmoro Al-fahrabi (Pasuruan)
41. Assa Levina (Banyumas)
42. Astiwi Safitri (Pinrang, Sulsel)
43. Audi Ariaji Harahap (Medan)
44. Aulia Nur Fadilah (Banyumas)
45. Aulia Qurrotu Aini (Karanganyar)
46. Aulia Widyanagara (Bojonegoro)
47. Avivatus Sa'diyah (Jember)
48. Ayu Ana Widiastutik (Sumenep)
49. Ayunda Bilqish Alfiatussyifa (Bojonegoro)
50. Badruz Zaman (Sumenep)
51. Bella Fitriana Handayani (Bekasi)
52. Bima Sarutobi
53. Catur Hari Mukti (Sragen)
54. Chaoril Imam (Surakarta)
55. Chandra Adhi Susanto (Ngawi)
56. Charis (Banyumas)
57. Chatarina Dewi Anggraeni (Purworejo)
58. Daniswari Anggadewi (Surakarta)
59. Daviatul Umam el-S (Sumenep)
60. David Rizaldi (Sragen)
61. Dedy Yusuf Evendi (Pasuruan)
62. Della Oktaviani Sorongan (Bekasi)
63. Desiya Nailil Muna (Kudus)
64. Deva Lili Fiana (Banyumas)
65. Devi Anggereni (Purbalingga)
66. Dewi Lestari (Kudus)
67. Dewi Munfachiroh (Pasuruan)
68. Dewi Nafiah (Banyumas)
69. Dewi R. (Banyumas)
70. Dewi Retno Putri Pradana (Jember)
71. Dewi Sulistyowati (Salatiga)
72. Dewinta P. (Banyumas)
73. Dhia Asa Imtinan (Pekalongan)
74. Diah Pratiwi (Banyumas)
75. Dian Ilmi (Pekalongan)
76. Dian Novita Arum Sari (Nganjuk)
77. Diana Khasna Nisrina (Batang)
78. Diantini (tidak lolos)
79. Dika Bhakti (Bojonegoro)
80. Dina (Banyumas)
81. Dwi Ari Sulistiyani (Banyumas)
82. Dwi Ayu Wandirah (Purbalingga)
83. Dwi Roro Asih (Banyumas)
84. Dwiana Nur Rizki Hanifah (Banyumas)
85. Eka Ervina Ari Ardana (Nganjuk)
86. Ela Fuji Lestari (Semarang)
87. Elis Alvirawati (Sragen)
88. Elisabeth Sabrina P.S. (Banyumas)
89. Ervina Ruth Priya Sambada (Boyolali)
90. Estri Tirta Titis Pinasthi (Ngawi)
91. Evadatul Khusnah (tidak lolos)
92. Evi Oktaviani (Banyumas)
93. Fahri (Banyumas)
94. Faiqotul Himmah (Pasuruan)
95. Faiza Ainia (Banyumas)
96. Fajar Aji Pamungkas (Banyumas)
97. Fathan Dikha Muttaqin (Tulungagung)
98. Fatimatul Chabibah (Pasuruan)
99. Febri Yani Rustanti (tidak lolos)
100. Filujeng Nur Rochma (Ngawi)
101. Firdha Avivia P. K. (Sragen)
102. Fitri Kurniawati (Ngawi)
103. Fitri Riyanti (Banyumas)
104. Fridolfna Nahong (Manggarai, NTT)
105. Galuh Prima Sabarina (Banyumas)
106. Galuh Rahma (Ngawi)
107. Garita Esa M. (Banyumas)
108. Gilbertus Luki Targau (Manggarai, NTT)
109. Hafid Rois Al Ahsan (Sragen)
110. Hanida Salsabila (Banyumas)
111. Hanifah Annuru Masruroh (Nganjuk)
112. Hansen Sunaryangga (Brebes)
113. Hanu Neda Septian (Banyumas)
114. Harrits Rizqi Budiman (Malang)
115. Hasna Rosikhatun Nasika (Kediri)
116. Helda Kristi Seimahuira (Ambon)
117. Hendi Aryo Bastian (Banyumas)
118. Heni Puspitasari (Gunung Kidul)
119. Hestina PH (Banyumas)
120. Hidayah Sumiyani (Tuban)
121. Hilmun Al Ghumaydha (Ngawi)
122. Husein (Banyumas)
123. Ibnu Akthailan (Banyumas)
124. Ifa Nur Cahyani (Banyumas)
125. Iffah Mahiratun Nisa (Sragen)
126. Iin Yulita Sari (Ngawi)
127. Ike Silviaranchi (Banyumas)
128. Irma Oktiyar Diani (Banyumas)
129. Irma Yusianti (Banyumas)
130. Ismailia (Pasuruan)
131. Ismiyatul Faizah (Ngawi)
132. Istiqlal Fauzan Hidayat (Tegal)
133. Itsna Agustin Nur R. (Banyumas)
134. Izra (Banyumas)
135. Jauharie Maulidie (Sumenep)
136. Kartika Rahmarani (Banjarnegara)
137. Kartika Rochmawati (Ngawi)
138. Khansa Salsabilla A. (Banyuwangi)
139. Khollatul Jalilah (Sumenep)
140. Khusnul Ihda Muslikah (Trenggalek)
141. Kiki Novitasari (Pasuruan)
142. Kuni Zakiyah Rahmadhani (Banyuwangi) (tidak lolos)
143. Laila Nailu Rahmatika (Ngawi)
144. Laila Nur Ainiyah (Nganjuk)
145. Laila Nur Azizah (Banyumas)
146. Legita (Banyumas)
147. Lina Alfiani (Ciamis)
148. Linda Purwanti (Purbalingga)
149. Linda Puspita Dewi (Sragen)
150. Lisa Aryati (Banjarnegara)
151. Livia Arizka (Banjarnegara)
152. Lucky Windya Mawarni (Ngawi)
153. Lukiyati Ningsih (Mojokerto)
154. Lum'atun Nikmah (Pati)
155. Lusi Sukmawati (Pekalongan) (tidak lolos)
156. Luthfiyah Amani (Banyumas)
157. M. Ridho Ilahi (Palembang)
158. M. Rofil Zainuri (Sumenep)
159. M. Sirojuddin (Pasuruan)
160. Ma’ruf Wahyudin (Blora)
161. Malik Susanto (Pekalongan)
162. Marisa Nurhayati (Magelang)
163. Martinus Tundu (Manggarai, NTT)
164. Matahari Adi. S. B. (Jombang)
165. Maulida Solekhah (Nganjuk)
166. Maulina Fikriyah (Pasuruan)
167. Mega Fitria Trisnasari (Ngawi)
168. Mentari Cesari Pangestika (Purbalingga)
169. Mey Nur Hikmah (Banyumas)
170. Miftahul Khoiriyah (Nganjuk)
171. Minati Dwi Vinasih (Sragen)
172. Mirna Nuraisyah (Ciamis)
173. Mirnawati (Banyumas)
174. Moh. Syarif Muzammil (Sumenep)
175. Moh. Yasid (Sumenep)
176. Mohammad Ahlisil Haq (Gresik)
177. Mohammad Kholili (Sumenep)
178. Mufti Aji Panuntun (Banyumas)
179. Muhamad Fathan Mubin (Serang)
180. Muhammad As’ad (Pasuruan)
181. Muhammad Baghiz Arom-rom (Banyumas)
182. Muhammad Habibullah (Pasuruan)
183. Muhammad Hafeedz Amar Rishka (Indramayu)
184. Muhammad Irfan Aziz (Pasuruan)
185. Muhammad Juroimi (Pasuruan)
186. Muhammad Rifqi Saifudin (Barito Kuala, Kalsel)
187. Muhammad Zha’farudin Pudya Wardana (Malang)
188. Muliyana Nurjanah (Purbalingga)
189. Nabila (Martapura)
190. Nabila Bunga Ratu Piara Dicinta (Banyumas)
191. Nabila Ramadhani Zain (Banyumas)
192. Nahdliyah Furri Utami (Tegal)
193. Naila Salsabila (Sragen)
194. Nailil (Banyumas)
195. Nara Latif (Banjarnegara)
196. Nely Rosyalina Agustin (Banyumas)
197. Nida Nurunnisa (Ciamis)
198. Nisrina Yusha S. (Banyumas)
199. Niswatul Badiah (Pasuruan)
200. Nita Kamila (Jepara)
201. Nofika Rahmayani (Nganjuk)
202. Novalia Meta F (Purbalingga)
203. Novi Justika Harini (Ngawi)
204. Novi Setyowati (Wonosobo)
205. Nur Lailatul Rahni (Deli Serdang)
206. Nur Laili Indah Sari (Banyumas)
207. Nur Silvi Nafsila (Banyumas)
208. Nur Widowati (Cirebon)
209. Nurfita Dwi Lestari (Jepara)
210. Nursandrawali Gosul (Bantaeng, Sulsel)
211. Nurul Fajariyana (Banyumas)
212. Nurul Fajri Khoirunnisa (Magelang)
213. Nurul Hayati (Banyumas)
214. Nurul Hidayah (Sragen)
215. Nurul Miftah Awaliyah (Banyumas)
216. Nurul Rahmawati (Ngawi)
217. Pandi Zakaria (Brebes)
218. Penti Aprianti (Ciamis)
219. Pradiana Setianingrum (Semarang)
220. Puri Elviana (Bandung)
221. Putri Ageng Pinareng
222. Putri Agus Yuli Yanti (Nganjuk)
223. Putri Dikha Syahirah (Tulungagung)
224. Putri Handika (Banyumas)
225. Putri Kartika Sari (Kediri)
226. Qistia Ummah Khasanah (Tuban)
227. Rahma Mamlu’atul Maula (Kediri)
228. Rahmawatun S. (Sukoharjo)
229. Ratna Ulfa Artati (Pekalongan)
230. Recha Melia (Purworejo)
231. Restu Ade Kurniawan (Pati)
232. Reza Siskana Lia (Jepara)
233. Reza Sulkhaerah A. Semmagga (Barru)
234. Ririn D. U.
235. Rischa Setyaningrum (Ngawi)
236. Riski Mei Yana Suci (Purbalingga)
237. Risqiana Imarotul Ainiyah (Nganjuk)
238. Rizka Melyana (Purbalingga)
239. Rizka Novita Wardani (Ngawi)
240. Rizki Dwi Utami (Bogor)
241. Robi Husnimubaroq (Sumedang)
242. Robiyatun (Sragen)
243. Roro Ajeng Olga Dewi Wulan (Ngawi)
244. Rosyidatul Auliya (Pasuruan)
245. Sari Nurfatwa Hakim (Ciamis)
246. Satrio Dwi Sanjaya (Malang)
247. Sausan Syah Muz’shofiyya (Nganjuk)
248. Septi Tri R. (Banyumas)
249. Shella (Jepara)
250. Shielvia (Banyumas)
251. Sigit Nur Pratama (Banyumas)
252. Silvy Damayanti (Ciamis)
253. Sindi Violinda (Medan)
254. Siti Mazroatul H. (Rembang)
255. Siti Nailah (Sumenep)
256. Siti Nur Afifah (Ngawi)
257. Sonya Novisca Wijaya (Palembang)
258. Sri Bulan Cahya Hartati Ningsih (Kediri)
259. Suci Triana Putri (Bantaeng, Sulsel)
260. Sucirahmawati (Banyumas)
261. Sufyan Tsauri (Sumenep)
262. Sugiati Surya Dewi (Pasuruan)
263. Sukma Ningrum Dian Anggraeni (Purworejo)
264. Sulaiman Alfian (Pasuruan)
265. Syaiful Azhar (Sragen)
266. Syaiful Bachri (Sumenep)
267. Syifa Mutiara Salsabila (Banyumas)
268. Tarisa Fika Rahayu (Banyumas)
269. Taufik Ardiansyah (Ciamis)
270. Thania (Salatiga)
271. Titin Trianti (Bojonegoro)
272. Tri Widya Putri Lestari (Purbalingga)
273. Ulfah Nurul Hidayah (Banyumas)
274. Umi Nafisah (Banjarnegara)
275. Ummamul Fatina (Ngawi)
276. Uuli Kufita Imtikhana (Kudus)
277. Vivi Yantri Halimatus Sa'diyah (Banyumas)
278. Wahyu Tri S (Ngawi)
279. Wida Marliana (Banjarnegara)
280. Widad T. A. (Banyumas)
281. Winda Nursita (Banyumas)
282. Windani Afni Nurlaeli (Banyumas)
283. Wisma Nantha (Purworejo)
284. Wiwit Prihatini (Banyumas)
285. Yuli Setiawati (Jakarta Timur)
286. Yunisma Sulala (Banyuwangi)
287. YunitaLuthfiani (Kudus)
288. Yusrina Nur (Pekalongan)
289. Yutik Ayatun Khasanah (Sragen)
290. Yutri Linoku Liyu (Bandung)
291. Zain Rochmatiningsih (Tulungagung)

Sumber: Facebook PMK.

Kamis, 20 Maret 2014

Info Road Show 18 PMK: Madura, 19 April 2014

Sumber
Saya, M. Faizi (bersama panitia Festival Cinta Buku ke-VI BEM INSTIKA dan Bengkel Puisi Annuqayah, serta kawan-kawan santri), mengundang rekan-rekan PMK untuk hadir dan membacakan puisi di acara "Road show PMK (Puisi Menolak Korupsi)" di Madura;

Hari Sabtu, 19 April 2014
Pukul 13.30 bertempat di Aula As-Syarqawi, PP Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep
Pukul 20.00 di STKIP PGRI Sumenep (kord. Moh. Fauzi).

Kami tidak dapat mengganti ongkos/transport kawan-kawan, namun hanya menyiapkan tempat/makan ala kadarnya.

Atas konfirmasi dan tanggapan, disampaikan terima kasih. Salam.

KETERANGAN : Bagi rekan-rekan yang datang dari luar Jawa Timur, khususnya dari Bandara Juanda naik DAMRI ke Terminal Bungurasih, bisa langsung menuju Terminal Surabaya (Bungurasih) dan naik bis tujuan Sumenep; beli karcis sampai “Prenduan” saja.

Ongkos dari Terminal Bungurasih ke Prenduan ini Rp.35.000 untuk ekonomi/BUMEL; Rp.53.000 untuk PATAS (bumel 24 jam; patas terakhir pukul 21.00). Jarak tempuh Surabaya-Prenduan kira-kira 150 km atau 4-5 jam perjalanan. Dari Prenduan ini Anda bisa naik angkutan pedesaan ke lokasi (PP Annuqayah, Guluk-Guluk) dengan ongkos 5.000 atau hubungi saya kalau ingin dijemput.

Kontak:
081-331-77-22-50 (M. Faizi)
087850312284 (Panitia)
081931637257 ( Moh Fauzi STKIP)

Sumber:
Facebook PMK: satu dan dua

Selasa, 18 Maret 2014

Korupsi dan Self-concept Kolektif Masyarakat

Oleh Sulfiza  Ariska

Korupsi telah membudaya di Indonesia. Tidak sulit menemukan ‘tikus-tikus berdasi atau berlipstik’. Nyaris seluruh sistem sosial budaya menjadi sarang mereka. Kita memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi impian mewujudkan Indonesia bebas korupsi takkan terlaksana tanpa peran aktif masyarakat. Membenahi self-concept (konsep diri) kolektif merupakan salah satu cara efektif untuk memberantas korupsi.

Menelusuri Jejak Korupsi
Fenomena sosial dapat kita telaah memalui self-concept yang menjadi tradisi dalam masyarakat. Self-concept adalah pikiran dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri [...] William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “persepsi yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis, mengenai diri kita, yang didapat dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain” (Armando, 2006).

Di lain sisi, korupsi dapat kita maknai sebagai praktik-praktik manipulasi (penyimpangan) kekuasaan untuk mencapai keuntungan ekonomi yang menimbulkan kerugian orang lain (negara) telah menjadi bagian self-concept negatif di Indonesia.

Korelasi antara self-concept dan korupsi bisa kita telaah dari fenomena sosial pada masa berdirinya kerajaan di Nusantara dan keberadaan pemerintah kolonial. Sinergi kedua kuasa ini melahirkan penindasan keji dengan menciptakan dogma dan doktrin guna membentuk self-concept negatif masyarakat. Hal ini dapat kita jumpai dalam penyimpangan-penyimpangan filosofi dari khasanah kearifan lokal Jawa, antara lain:

Pertama, ‘mangan ora mangan, ngumpul’ (makan tidak makan tetap berkumpul). Makan bisa kita asumsikan sebagai representasi dari representasi dari nafkah. Secara kontekstual, ‘Makan kita berkumpul’, tapi ‘Apakah kita tetap berkumpul dalam keadaan tidak makan?’. Filosofi ini telah tertanam ke dalam self-concept masyarakat Jawa dan diyakini hingga sekarang. Filosofi ini mendorong kita menjadi ‘lamban’, tidak inovatif, cepat puas dengan kemajuan sesaat, dan termotivasi untuk mencapai kemajuan-kemajuan yang bersifat instan. Pada konteks kelas sosial menengah ke atas, korupsi terlihat dari pada praktik yang dilakukan kaum bangsawan/kerajaan yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda dalam tanam paksa. Sedangkan pada kelas sosial menengah ke bawah terdapat pada praktik ‘perdagangan manusia’ yang dilakukan aparat desa ataupun keluarga pada masa pendudukan kolonial Belanda. Di mana rakyat jelata yang buta huruf dan lugu, ditipu untuk ditempatkan bekerja di daerah tambang atau perkebunan milik pemerintah kolonial.

Kedua, ‘manunggal kawula gusti’ (patuh pada pimpinan). Patuh pada pimpinan memang sebuah keharusan untuk membentuk tatanan sosial yang harmoni. Tapi bagaimana dengan pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan? Ketika pimpinan (gusti) melakukan tindakan korupsi, rakyat yang dipimpin tidak memiliki hak untuk mengkritisi. Praktik ini telah menjamur dari masa pendudukan kolonial hingga sekarang.

Ketiga, ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’ (ramai bekerja/berkarya, sepi dalam pamrih). Secara kontekstual, semua pekerjaan pasti memiliki pamrih. Sebab, pamrih tidak semata imbalan ‘pujian’ atau ‘materi’, tapi juga berarti ‘harapan’ atau pahala dari Tuhan. Harapan merupakan pamrih yang bersifat positif. Misalnya, seorang individu melakukan inovasi dengan harapan hasil inovasi berguna bagi masyarakat. Individu yang tidak memiliki pamrih sama sekali merupakan individu yang ‘tidak utuh’ dan tidak memiliki kesadaran eksistensial. Sehingga, individu ini mudah dimanipulasi/ditindas/dijajah.

Semestinya, ketiga filosofi di atas berpijak pada ajaran ‘tauhid’ (religiositas/ketuhanan), bukan ditujukan untuk ‘mendewakan’ penguasa atau pihak otoritatif. Dengan interpretasi; Pertama, ‘mangan ora mangan, ngumpul’. Kita tetap menunaikan ibadah dan patuh pada kebenaran universal meskipun dalam keadaan tidak makan. Kedua, ‘manunggal kawula gusti’. Kita patuh pada pimpinan yang adil. Pemimpin yang tidak adil wajib kita kritisi (nasihati atau dilengserkan), bukan mematuhi (mempertahankan) pemimpin yang merepresi (tidak adil). Ketiga, ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’ (ramai bekerja/berkarya, sepi dalam pamrih). Sebagai bangsa Indonesia, kita harus rajin bekerja dan gemar berinovasi dengan ‘pamrih’ pahala dari Tuhan/Pencipta dan harapan mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan. Dengan demikian, kita bisa membangun self-concept positif, melenjitkan kreativitas, meningkatkan kualitas pribadi, mampu memenuhi kebutuhan pribadi (golongan) dengan kerja/karya nyata, dan mencapai tujuan yang konstruktif tanpa menempuh jalan instan (korupsi).

Tentunya, kita tidak adil bila menyalahkan interpretasi/aplikasi konvensional yang keliru itu. Sebab, dalam sejarah Jawa, pemerintah kolonial memiliki peran besar dalam rekontruksi kearifan lokal ke arah negatif. Ini sebuah metode ‘komunikasi antarbudaya’ atau ‘ilmu antropologi’ yang sangat keji melalui program pendidikan Politik Etis. Pemerintah kolonial menggunakan ilmu pengetahuan untuk menciptakan self-concept negatif yang bermuatan learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) dan ditransformasikan melalui pendidikan. Budaya ini bertransformasi ke dalam self-concept kolektif dan mendidik rakyat jajahan (kita) menjadi tidak berdaya.

Rekontruksi Tradisi
Dalam mengatasi korupsi, semestinya kita tidak terfokus pada program yang dicanangkan KPK. Melainkan, kita harus merekontruksi tradisi yang ada. Salah satu jalan yang harus kita tempuh adalah memajukan ‘budaya literasi’.

Budaya literasi bisa kita asumsikan sebagai tradisi membaca dan menulis. Pada zona empiris, budaya literasi berkorelasi erat dengan apresiasi/inovasi bahasa, kritik ideologi, sastra, dan filsafat. Proses membaca dan menulis akan menuntun kita untuk mengurai tesis yang tersimpan dalam peta kognitif. Semakin sempurna dengan mendiskusikan serta bentuk apresiasi-apresiasi lainnya.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, budaya literasi-lah yang mengantarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan para Pendiri Bangsa Indonesia, adalah pribadi-pribadi yang menjadikan budaya literasi sebagai self-concept dalam perjuangan. Dengan budaya tulis dan baca; pembentukan solidaritas, ideologi, dan Nasionalisme bisa diwujudkan.

Sayangnya, pascakemerdekaan, budaya literasi diamputasi dari kurikulum pendidikan. Hal ini yang dikritik Taufiq Ismail dalam pidatonya bertajuk Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama yang disampaikan dalam pidato kunci pada Rakerpus IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), 31 Mei – 3 Juni 2005 di Pekan Baru. Dari 13 negara (termasuk Hindia Belanda Yogyakarta 1939-1942 dan Hindia Belanda Malang 1929-1932), tradisi literasi (diidentifikasi melalui jumlah buku sastra yang dibaca), era Indonesia 1943-2005 terdapat ‘nol’ judul. Buku yang menjadi jendela dunia tidak dianggap penting. Tak mengherankan, kita memiliki self-concept negatif. Meski hidup di negara merdeka; kelaparan, buta aksara, kemiskinan, kebodohan, dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjamur di Tanah Air. Kita terjajah secara pemikiran!

Segenap elemen masyarakat harus bersatu dalam memajukan budaya literasi. Buta aksara harus kita berantas. Perpustakaan dibangun sebagai ruang publik dalam rekontruksi tradisi. Kita bisa menyerap ilmu pengetahuan tanpa harus menjalani pendidikan formal. Masyarakat kita menjadi pembelajar. Dengan terpelajar, kita akan memiliki bekal ilmu dalam mewujudkan legenda pribadi, ekonomi mandiri, dan meningkatkan iklim kondusif demokrasi.

Dapat kita simpulkan, tanpa self-concept positif, semua orang memiliki potensi yang sama besar menjadi tikus berdasi atau berlipstik. Budaya literasi merupakan jalan yang dapat kita tempuh dalam merekontruksi self-concept negatif (berupa korupsi). Dengan memiliki self-concept positif; kita bisa berkarya, berinovasi, mewujudkan ekonomi mandiri, bebas finansial, dan terciptalah civil society. Semoga!

Referensi: Armando, Nina M. (2006). Psikologi Komunikasi. Universitas Terbuka: Jakarta.


Kamis, 13 Maret 2014

Buku PMK di Tangan Dubes Palestina untuk Indonesia

"Oh Palestine"
Dalam sebuah seminar saya sempat berdialog dan menyerahkan buku sastra karya para penyair Indonesia ('Puisi Menolak Korupsi', Antologi Mengenang Gus Dur 'Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel', dan 'Tanah Air Cinta') kepada Dubes Palestine untuk Indonesia YM. Mr. Fariz N. Mehdawi, dalam forum itu beliau memberi statemen bahwa "konflik" Palestine-Israel bukanlah konflik "keagamaan", melainkan berakar pada pengakuan kedaulatan yang tak kunjung tuntas. Mestinya jalur penyelesaiannya adalah melalui "forum politik dunia". Pendekatan keagamaan tak mampu menjadi solusi. (Bambang Eka Prasetya)

Sumber Facebook Bambang Eka Prasetya.

Minggu, 09 Maret 2014

Desain Kover PMK Jilid 3: Pelajar Menolak Korupsi




Dan kover resmi yang dipakai adalah:
tunggu yaa.. setelah iklan dan pariwara berikut ini.. hehe

Ini dia,
Sumber gambar, Facebook Sosiawan Leak.

Sumber Facebook PMK (Muhammad Zha'farudin)

Sujiwo Tejo: Perlu Sanksi Sosial Tegas Hilangkan Korupsi

Sujiwo Tejo: Perlu Sanksi Sosial Tegas Hilangkan Korupsi
 
JOMBANG, SATUHARAPAN.COM - Sujiwo Tejo mengusulkan sanksi sosial tegas dengan cara namanya dihilangkan, kemudian tidak boleh disapa, sehingga lama-lama sang koruptor akan mati dan korupsi hilang, demikian disampaikan dalam acara Rembug Rasa Anti Korupsi yang di gelar di Jombang, Sabtu (8/3).

Tentang sikap pada koruptor, Sujiwo Tejo mengusulkan sanksi sosial tegas kepada para pelaku tindak korupsi yang mengacu pada budaya Suku Sioux, Indian.

Rembuk Rasa Anti Korupsi yang diadakan di Hotel Yusro Jl. Soekarno Hatta 25 Jombang, antara lain didukung Yayasan Lontar, Jakarta sebagai pelaksana kegiatan di Jombang. Selain Sujiwo Tejo, narasumber lain yang hadir adalah Bambang Widjojanto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr. Ir. Sujana Royat DEA, Deputi Koordinasi Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Salahuddin Wahid (Gus Solah), Tokoh HAM.

Sujiwo Tejo, budayawan, salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut menyatakan pesimis terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. ”Kita adalah manusia yang paling munafik di dunia. Ukuran keimanan seseorang diukur dari seberapa sering seseorang ke masjid atau gereja. Menurut saya ukuran keimanan seseorang adalah seberapa manfaat bagi orang lain,” kata Sujiwo Tejo di hadapan 150 orang yang menghadiri kegiatan ini.

“Kalau ada pejabat yang miskin tidak dihormati. Kalau ada pejabat yang menyumbang 50 ribu pasti dirasani. Bagaimana pejabat tidak korupsi?,” kata Sujiwo Tejo.

“Negara kita tidak memiliki cita-cita. Mau dibawa kemana arah pembangunan ke depan. Situasi ini membuat orang tidak punya motivasi dan berbuat korupsi. Bagi saya adil dan makmur adalah absurd. Saat reformasi, kita cenderung menjadi anti orde baru padahal di jaman orde baru ada rencana pembangunan lima tahun dan rencana pembangunan jangka panjang. Sehingga kita mengetahui arah pembangunan 25 tahun mendatang,” demikian kata dia.

Rangkaian acara akan diakhiri dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Purbo Asmoro dengan lakon Tripama Kawedhar di Lapangan Pulo, Desa Pulo, Jombang.

Rembuk Rasa Anti Korupsi ini adalah bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri bersama-sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan rangkaian acara bertajuk Gelar Semangat Anti Korupsi 2014 Semua Siap Beraksi (Berantas Korupsi) di Surabaya dan Jombang. (Kontributor : Abdul Malik). Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja

Sumber:
http://satuharapan.com/read-detail/read/sujiwo-tejo-perlu-sanksi-sosial-tegas-hilangkan-korupsi/

Facebook Abdul Malik

Keterangan foto:
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Sujiwo Tejo, Salahuddin Wahid (Gus Solah), Bambang Widjojanto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Abdul Malik

Rabu, 05 Maret 2014

Wardjito Soeharso Baca Puisi Menolak Korupsi di Denpasar Bali

Oleh Wardjito Soeharso

Pada penutupan diklat TOF Kepemimpinan di Denpasar, Bali, aku diberi kesempatan memberikan kesan dan pesan. Setelah itu, aku baca puisi-puisi anti korupsi. Salah satu puisi yang kubaca adalah pusi "Sajak Palsu" karya mas Agus R Sarjono.
 

Sambutan pejabat-pejabat dari LAN dan Provinsi Bali, juga para peserta,sungguh sangat meriah.

Puisi Menolak Korupsi perlu menggema di setiap kesempatan.


Sumber Facebook PMK (Wardjito Soeharso)