Sabtu, 31 Agustus 2013

Daftar Penyair PMK Jilid 1

Antologi Puisi Menolak Korupsi Jilid 1 (melibatkan 85 penyair). Terbit Mei 2013. Diterbitkan Forum Sastra Surakarta.

Klik gambar untuk memperbesar
1. Abdurrahman El Husaini (Martapura)
2. Acep Syahril (Indramayu)
3. Agus R Sardjono (Jakarta)
4. Agus Sri Danardana (Pekanbaru)
5. Ahmad Daladi (Magelang)
6. Ahmadun Y Herfanda (Jakarta)
7. Akaha Taufan Aminudin (Malang)
8. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)
9. Aloysus Slamet Widodo (Jakarta)
10.  Aming Aminudin (Surabaya)
11.  Andreas Kristoko (Yogja)
12.  Andrias Edison (Blitar)
13.  Andrik Purwasito (Solo)
14.  Anggoro Suprapto (Semarang)
15.  Ardi Susanti (Tulungagung)
16.  Arsyad Indradi (Banjarbaru)
17.  Asyari Muhammad (Jepara)
18.  Ayu Cipta (Tangerang)
19.  Bagus Putu Parto (Blitar)
20.  Bambang Eka Prasetya (Magelang)
21.  Bambang Supranoto (Cepu)
22.  Bambang Widiatmoko (Bekasi)
23.  Beni Setia (Caruban)
24.  Bontot Sukandar (Tegal)
25.  Brigita Neny Anggraeni (Semarang)
26.  Budhi Setyawan (Bekasi)
27.  Dedet Setiadi (Magelang)
28.  Denni Meilizon (Padang)
29.  Dharmadi (Purwokerto)
30.  Didid Endro S (Jepara)
31.  Dimas Arika Mihardja (Jambi)
32.  Dona Anovita (Surabaya)
33.  Dwi Ery Santosa (Tegal)
34.  Dyah Setyawati (Tegal)
35.  Eka Pradhaning (Magelang)
36.  Eko Widianto (Jepara)
37.  Ekohm Abiyasa (Solo)
38.  Endang Setiyaningsih (Bogor)
39.  Endang Supriyadi (Depok)
40.  Gunawan Tri Admojo (Solo)
41.  Handry Tm (Semarang)
42.  Hardho Sayoko Spb (Ngawi)
43.  Heru Mugiarso (Semarang)
44.  Hilda Rumambi (Palu)
45.  Irma Yuliana (Kudusan, Jawa Tengah)
46.  Isbedy Stiawan ZS (Lampung)
47.  Jamal D Rahman (Jakarta)
48.  Jhon F.S. Pane (Kotabaru)
49.  Jumari HS (Kudus)
50.  Kidung Purnama (Ciamis, Jawa Barat)
51.  Kun Cahyono Ps (Wonosobo)
52.  Kuspriyanto Namma (Ngawi)
53.  Lailatul Kiptiyah (Blitar)
54.  Lennon Machali (Gresik)
55.  Lukni Maulana (Semarang)
56.  M. Enthieh Mudakir (Tegal)
57.  Mubaqi Abdullah (Semarang)
58.  Najibul Mahbub (Pekalongan)
59.  Nurngudiono (Tegal)
60.  Oscar Amran (Bogor)
61.  Puji Pistols (Pati)
62.  Puput Amiranti (Blitar)
63.  Puspita Ann (Solo)
64.  Radar Panca Dahana (Jakarta)
65.  Ribut Achwandi (Pekalongan)
66.  Ribut Basuki (Surabaya)
67.  Rohmat Djoko Prakosa (Surabaya)
68.  Saiful Bahri (Aceh)
69.  Sosiawan Leak (Solo)
70.  Sudarmono (Bekasi)
71.  Sulis Bambang (Semarang)
72.  Sumasno Hadi (Banjarmasin)
73.  Surya Hardi (Pekanbaru)
74.  Sus S Hardjono (Sragen)
75.  Suyitna Ethex (Mojokerto)
76.  Syam Chandra (Yogyakarta)
77.  Syarifuddin Arifin (Padang)
78.  Thomas Budi Santoso (Kudus)
79.  Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo)
80.  Tri Lara Prasetya Rina (Bali)
81.  Udik Agus Dw (Jepara)
82.  W. Haryanto (Blitar)
83.  Wardjito Soeharso (Semarang)
84.  Yudhie Yarco (Jepara)
85.  Zainul Walid (Situbondo)

Sumber: Facebook PMK.

Senin, 26 Agustus 2013

Baca Puisi Menolak Korupsi di Acara Festival Kesenian Bumiayu, Brebes-Jawa Tengah

Bontot Sukandar

Wage Tegoeh Wijono

Mahbub Junaedi

Video oleh Widyo Video Shooting Bumiayu.

Posting serupa di Facebook PMK (Bontot Sukandar)

Jumat, 23 Agustus 2013

Video Pembacaan PUISI MENOLAK KORUPSI (Jilid I) di Puncak Gunung Ciremai Kuningan Jawa Barat, Sabtu 17 Agustus 2013

Video oleh Kidung Purnama.

Posting serupa di Facebook PMK (Kidung Purnama): satu, dua

Lihat juga foto-fotonya di sini.

Foto-foto Baca PUISI MENOLAK KORUPSI (Jilid I) di Puncak Gunung Ciremai Kuningan Jawa Barat, Sabtu 17 Agustus 2013 (Dok. Kidung Purnama)

Foto oleh Kidung Purnama.

Sumber Facebook PMK (Kidung Purnama)

Lihat juga video-videonya di sini.

(Opini) Merdeka dari Utang dan Korupsi oleh Lukni Maulana

SETELAH kita menyelesaikan puasa ramadhan dan mendapatkan kemenengan idul fitri. Lalu dibuka dengan sambutan korupsi oleh Rudi Rubiandini (BP Migas) dan Melemahnya Rupiah. Mumpung masih bulan syawal, "Mohon Maaf Lahir dan Batin Ya," teriaknya

Utang Pemerintah Pusat kini bernilai Rp 2.036 Triliun dan mungkin naik mendekati kisaran Rp 2.100 Triliun pada akhir tahun. Pada tahun 2014, dengan adanya program redenominasi rupiah, akan menjadi Rp 2,1 Triliun. Ini turun yang sama sekali tidak turun.

Eh....ternyata sekarang rupiah mulai melemah terhadap dolar AS, membuat utang Indonesia juga mengalami lonjakan sebesar Rp. 66,42 triliun. Hal ini membuat total utang Indonesia 2013 naik menjadi Rp2.102,56 triliun.

Jika menteri keuangan yang ahli ekonomi "andal" berfikir begini, maka masih butuh waktu lama bangsa dan negara ini untuk tidak menjadi lahan eksploitasi kapitalisme internasional. Dan yang lebih penting, sesat pikir ekonomi tak lagi disamarkan tetapi dinyatakan vulgar.
http://finance.detik.com/read/2013/08/19/150937/2334157/4/chatib-basri-dulu-hemat-pangkal-kaya-sekarang-belanja-pangkal-kaya

Ini mungkin yg disebut fenomena Grey Area Economic, ekonomi sulit tapi belanja konsumsi tetap tumbuh. Tapi sepertinya belanja konsumsi kita sebenarnya sudah bertumpu pada Black Economy, dana belanja bersumber dari ekonomi kriminal (langsung maupun tidak langsung).


*Lukni Maulana

Sumber: Facebook PMK

Sabtu, 17 Agustus 2013

Puisi dan Efektifitas Sanksi Hukum bagi Koruptor

Oleh Badaruddin Amir

Kadang saya berpikir hukuman penjara dua sampai tiga tahun bagi seorang koruptor kelas kakap tidak akan menimbulkan efek jera kepada mereka, apalagi dengan adanya remisi-remisian dari pemerintah. Gagasan “pemiskinan” yang sempat mencuat pada beberapa diskusi bertema “menolak korupsi” dengan melakukan perampasan kekayaannya yang tentunya dilakukan oleh negara, juga tidaklah terlalu efektif dan bahkan bisa tidak manusiawi jika dilihat dari kacamata HAM. Karena bagaimana pun juga susah memilah antara kekayaan halal dan kekayaan haram bagi seorang pelaku korupsi saat semua kekayaannya sudah berbaur. Undang-undang pencucian uang (money laundry) saja masih pro-kontra terhadap masalah ini. Dan kalaupun tindak pencucian uang jejaknya bisa terdeteksi, bukankah sang aktor dapat mencari kekayaan baru pasca menjalani hukuman yang tentunya tidak bisa lagi dirampas untuk negara dengan alasan pencucian uang.

Dengan begitu yang diharap dapat memberi sanksi kepada koruptor adalah hukum adat. Hukum yang tidak terundangkan namun punya kekuatan mengusik kehormatan seorang pelaku kejahatan. Pemerkosaan, pelecehan sexual, pencurian, pelanggaran tata susila dan sebagainya, yang kemudian mendapatkan sanksi hukum adat, akan mendera pelaku sampai ke anak-cucunya. Ia akan dikucilkan oleh masyarakat. Tetapi hukum adat adalah antarpologi budaya yang belum mencatat kata-kata “koruptor”, dan “money laundry” dalam perbendaharaan bahasa hukumnya, sehingga korupsi dan pencucian uang sebagai pelaku dan bentuk kejahatan belum ada dalam kamus adat-istiadat berbagai suku bangsa. Dan andai pun “korupsi” dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk pelanggaran adat yang layak mendapat sanksi hukum adat, para koruptor juga masih tertawa-tawa. Masalahnya hukum adat pun masih sangat kecil untuk bemberi sanksi pada tindak kejahatan korupsi yang sifatnya sudah berskala nasional ini.

Harapan kita tinggal pada media massa (berita) yang kita baca dan tonton setiap hari -- akan membuat jera para pelaku korusi, memang menjadi satu-satunya harapan kita kini. Banyak oknum yang mungkin saja bisa lolos dari jeratan hukum karena kelihaian dan keahliann bermain mata dengan oknum penegak hukum, tapi tidak akan dapat menghindari kekuatan berita. Oknum-oknum pejabat yang melakukan tindak kejahatan korusi dan terekspose di media massa akan menjadi “hukum adat” yang mendera kehormatannya –bahkan berimbas pula kepada keluarga dan anak cucunya. Hanya saja sayangnya, sifat berita yang ”hot” hari ini akan cepat terlupakan setelah tertimbun sekian berita lain yang lebih “hot” lagi di esok hari. Apalagi jika dengan sengaja ada yang merancang sebuah skenario pengalihan isu. Karena itulah selain “berita” kita memang membutuhkan juga “cerita”. Cerita tidak akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru, juga tidak akan tertimbun dengan cerita-cerita baru yang lain. Sifat sebuah cerita akan selalu berdampingan dengan cerita lainnya. Sehingga begitulah novel-novel yang baik, cerpen-cerpen yang baik dan puisi-puisi yang baik tidak akan tertimbun oleh novel-novel, cerpen-cerpen dan puisi-puisi baru yang lain. Kejahatan-kejahatan korupsi yang terekam dalam “cerita” sudah pasti akan lebih langgeng untuk dikenang. Anak cucu kita kelak yang tidak sempat membaca berita tentang kejahatan korupsi karena peristiwa tersebut tidak sezaman dengannya, masih akan dapat membacanya melalui “cerita-cerita” yang telah dibukukan yang ditemukannya di rak-rak perpustakaan sekolahnya. Mereka akan memperoleh informasi tentang kejahatan korupsi dan karena itu akan mempengaruhi mentalnya untuk “melawan korupsi”.

Puisi memang bukan satu-satunya genre sastra yang dapat bercerita tentang korupsi. Novel, cerpen, dan lain-lain juga adalah media yang dapat mengambil bagian dalam memerangi korupsi. Pramudya Anantatoer, Mochtar Lubis, dan Ahmad Tohari dan banyak sastrawan lainnya telah melakukan hal tersebut dalam karya-karya mereka. Tapi di antara genre sastra ini, puisi memang mungkin yang paling unik dan efektif untuk menuliskan “cerita” tentang korupsi ini. Saya yakin “cerita” tentang korupsi yang dikemas dalam bentuk puisi akan selalu menarik untuk dibaca di mana dan kapan saja. Puisi dapat dibaca dan sekaligus dibacakan di lokasi-lokasi road show, di terminal menunggu bus, di dalam KA, di atas udara saat naik pesawat, di perpustakaan-perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, dan di dalam kamar saat sendiri atau bersama istri.

Tapi sebagaimana karya-karya sastra lainnya, puisipun hanya akan menyampaikan pesan moral dan tak mampu memberikan sanksi hukum kepada oknum tertentu yang telah melakukan tindak kejahatan korupsi karena karya sastra adalah “lebah tanpa sengat” (pinjam istilah sapardi Joko Damoni). Andil-nya hanya pada gerakan moral pemerangi korupsi dan dipandang tidak efektif memberikan sanksi atau hukuman bagi oknum-oknum yang telah melakukan korupsi. Lihatlah misalnya pesan yang disampaikan puisi berikut ini :

KORUPSI (4)

sungguhpun korupsi sebuah pekerjaan haram
yang dikutuk sumpahi banyak orang
namun tak seorangpun yang berani mengejar koruptor
dengan parang atau pentungan seperti maling ayam
atau copet di pasar tanah abang

koruptor tak akan terkejar karena ia berkendara
menggunakan Bentley GT Sport yang perkasa
jadi bagaimana mungkin kamu yang di bawah
bisa ikut mengadili para koruptor kita

mengumpat pun sungguh tak berguna
juga demonstrasi anti korupsi di mana-mana
atau membuat sejuta puisi tentang mereka
bagi mereka tak  ada gunanya

kami baik-baik saja, kata mereka,
tak perlu kami disambut meriah
dengan pesta demonstrasi atau baca puisi
kami hanya perlu melakukan kewajiban
bertindak sebagai pahlawan
lalu kami akan bagi-bagi uang
terutama kepada orang-orang yang lemah
seperti  janda-janda dan juga anak perempuan
yang masih kuliah
mereka sungguh membutuhkan pertolongan
jadi  tenanglah mumpung kami masih ada.

sungguh korupsi  sudah mencemarkan bangsa ini
dan kita telah memberi  ruang sebesar-besarnya
karena mereka dibiarkan sebebas-bebasnya
dan negara hanya menyiapkan lembaga pemberantasannya
namun  menjatuhkan  hukun seringan-ringannya

setelah itu anak-anak kita pun dipaksa
mendoakan mereka  dalam setiap upacara resmi sekolah  :
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa para pemimpin kami”
yang seharusnya ditambah : “kecuali yang korupsi”

Barru 2013

Puisi ini tidak dimaksudkan memiliki sasaran tembak kepada oknum tertentu yang telah melakukan korupsi, kecuali bisa diterima sebagai sebuah pesan moral bahwa korupsi ini sungguh-sungguh jahat dan karena itu harus diberantas dari bumi nusantara yang kita cintai ini.

Tapi sadarkah kita bahwa sebenarnya Sapardi Joko Damono juga bisa salah dalam merumuskan peran karya sastra hanya sebagai “lebah tanpa sengat” ? Bahwa puisi maupun karya-karya sastra lainnya sebenarnya bisa saja memiliki  kekuatan sengat yang luar biasa dan dapat memberi sanksi yang menyamai sangksi hukum adat nenek moyang kita dalam mengucilkan para pelaku kejahatan tempo dulu. Puisi dapat saja dibuat menohok “oknum pejabat” tertentu yang telah melakukan tindakan kejahatan korupsi untuk memberi efek jera, tanpa melanggar kode etik ataupun praduga tak bersalah. Kalau para wartawan memiliki sandaran UU Pokok Pers, sebenarnya penyair pun juga memiliki sandaran ‘licensia potika’, meski sifatnya hanyalah sandaran moral yang tak memiliki kekuatan hukum positif. Tapi UU Pokok Pers pun dapat menjadi sandaran bagi penyair saat karya-karya puisinya terpublikasi melalui media pers.

Saya bahkan berpikir sekarang bahwa sesungguhnya puisi itu dapat menjadi cambuk yang mendera oknum pelaku korupsi. Puisi dapat memberikan hukuman moral kepada para pelaku korupsi yang sama dengan hukum adat dan akan membuat pelakunya menyesal seumur hidup. Caranya kita buat saja puisi itu lebih khusus mengekspos “modus operandi” kejahatan korupsi yang dilakukan oleh oknum tertentu tanpa menyebut nama oknum yang bersangkutan. Katakanlah misalnya korupsi kuota daging sapi yang detilnya berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lain, maka orang akan mengetahui koruptor siapa yang kita maksud dalam puisi itu. Demikian dengan para koruptor lain misalnya yang terlibat dalam kasus Hambalang, Bank Sentury dan lain-lain. Dengan puisi-puisi seperti itu maka meski pelakunya telah melakukan bedah plastik agar tak dikenali wajahnya, tetap saja perbuatannya akan ketahuan sepanjang hayat karena karya sastra tidak akan bisa tertimbun oleh isu-isu baru. Anak-anak kita akan bertanya pejabat siapakan yang telah digambarkan begitu “puitis” sebagai pelaku korupsi, dan sejarahpun akan mencatat tokoh-tokoh korupsi yang terkenal di Indonesia karena sudah terdokumentasi dengan rapi dalam puisi. Dan saya kira di sinilah letak “sengat” puisi yang paling berbahaya.   

Tinggal sekarang yang dicari adalah para penyair yang mampu menggambarkan profil koruptor dan menuliskannya dalam bahasa plastis yang tidak melanggar beberapa kode etik. (Badaruddin Amir)

Sumber: Facebook PMK

Rabu, 14 Agustus 2013

(Opini) Bulan Pendidikan Antikorupsi oleh Lukni Maulana (Suara Merdeka, 13/08/13)

Sumber
Ramadan merupakan bulan suci yang diperintahkan untuk melaksanakan puasa hanya bagi orang beriman. Slogan yang sering kita dengar yakni ”bersihkan diri dan sucikan hati”, layaknya perlu ditambah dengan antikorupsi. Sebagai warga negara yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan, tentu sangat mendukung pemberantasan korupsi yang telah menggejala, dan tiap tahun jumlah pelaku meningkat.

Saya sangat terharu dengan peran penyair yang menerbitkan buku ”Antologi Puisi Menolak Korupsi” yang dikomandani oleh Leak Sosiawan dan melakukan kunjungan ke beberapa kota dengan sikap independensinya. Saya dua kali mengikuti, di Tegal dan Banjarbaru Kalimantan Selatan, dimana para penyair menyuarakan pendidikan moral melalui penerbitan dan pembacaan puisi. Di bulan suci ini selayaknya menjadi momentum pendidikan antikorupsi.

Jika penyair bisa melakukan, tentu kita juga mampu melakukan. Kejahatan korupsi, baik atas uang negara maupun aturan legislasi, patut kita berantas, sebab telah masuk dari berbagai lini dan bisa menjerat siapa saja, dari para pejabat hingga kiai. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan membersihkan diri, sucikan hati, dan antikorupsi.

Pertama, memahami diri kita sebagai orang yang beriman dan berketuhanan. Bahwa korupsi merupakan tindakan yang merugikan diri dan rakyat. Kedua, Ramadan menjadi bekal untuk mengekang hawa nafsu, sehingga keburukan itu harus dibersihkan dengan sikap saling memahami diri dan orang lain. Ketiga, Ramadan merupakan bulan pendidikan dimana kita membersihkan diri melalui kegiatan amalan dan sucikan hati melalui madrasah jiwa.

Dengan memahami makna Ramadan tentu kita belajar untuk tidak korupsi atas  pribadi seperti korupsi waktu, tanggung jawab, dan korupsi timbul karena adanya kesempatan. Dengan demikian diharapakan pada Ramadan ini semakin menyadari posisi bahwa kita memiliki tanggung jawab atas diri pribadi, dan untuk turut serta mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Lukni Maulana
Rumah Pendidikan
Sciena Madani
Banjardowo Rt 2 Rw 6 Genuk, Semarang

Minggu, 11 Agustus 2013

Pejabat, Korupsi, dan Megalomania


Korupsi adalah tematik berita paling panas sekarang ini. Hampir semua media massa menyoroti secara khusus berita-berita tentang korupsi. Karena memang korupsi melibatkan penguasa negara dari level atas sampai yang terbawah. Itulah sebabnya, walaupun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ditugasi “berperang” melawan korupsi, sepertinya korupsi bukannya melemah dan berkurang, tetapi justru seperti makin menguat dan menggurita. KPK melawan korupsi seperti Liliput melawan Goliath.

Korupsi memang tidak lepas dari kekuasaan. Kekuasaan itu cenderung korup, power tends to corrupt. Kita di Indonesia sudah punya banyak contoh. Presiden korupsi, ada, walau sudah almarhum (Soeharto). Menteri korupsi, banyak yang sudah diadili dan masuk bui. Gubernur korupsi, banyak yang sudah terbukti dan yang masih antri. Bupati/walikota korupsi, menurut survey 40% dari bupati/walikota di Indonesia terindikasi korupsi. Begitu juga dengan para wakil rakyat, penegak hukum, birokrasi, semua seolah berlomba ikut terlibat dengan korupsi.

Sejujurnya, nampaknya sangat sulit mencari pejabat yang tidak korupsi di negeri ini. Gaya hidup sebagian besar mereka memperlihatkan kemewahan yang secara kasat mata tidak sebanding dengan penghasilan resmi mereka. Meskipun demikian, mereka berani tampil secara terbuka. Lihat saja, baru-baru ini gencar diberitakan di media massa, para anggota DPR yang terhormat, gemar mengoleksi mobil mewah. Di lapangan parkir gedung DPR di Senayan, berjejer mobil-mobil mewah berharga miliaran rupiah. Mereka sudah tidak merasa risih lagi pamer kemewahan. Semua itu karena masyarakat melihat korupsi bukan suatu hal yang aneh lagi. Tata nilai masyarakat tentang makna keberhasilan seseorang telah jauh berubah. Keberhasilan sekarang ini dilihat dari sudut pandang materialistik. Orang disebut sukses apabila punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah. Sedang orang yang hidup sederhana, apalagi miskin, selalu saja disebut sebagai orang yang gagal.

Bisa dimengerti apabila kemudian orang cenderung berusaha sekuat tenaga untuk dapat memperlihatkan kesuksesan itu dengan segala bentuk kemewahan. Di mana-mana yang namanya pejabat cenderung berusaha tampil mewah. Celakanya, masyarakat sudah salah kaprah. Pejabat yang tampil mewah disebut sebagai pejabat yang sukses. Padahal, masyarakat tahu persis gaji pejabat tidak mungkin dapat dipakai untuk hidup mewah. Apologi yang berlaku kemudian adalah, pejabat dapat hidup mewah karena banyak “pat gulipatnya”. Dan pat gulipat pejabat ini dipercaya masyarakat justru jauh lebih besar dari gaji bulanannya. Dari sini, jelas kiranya, persepsi masyarakat tentang pejabat korupsi. Masyarakat tahu belaka kemewahan itu diperoleh dari perilaku pat gulipat yang nota bene adalah korupsi, namun masyarakat tidak peduli. Karena masyarakat tidak peduli, para pejabat pun tidak lagi punya perasaan risih, tidak takut dicurigai kemewahannya diperoleh dari korupsi. Semakin mewah penampilan seorang pejabat, semakin tinggi wibawanya dan semakin banyak dihormati.Sebaliknya, bila ada pejabat yang tampil seadanya, sederhana, tidak punya apa-apa, malah dilecehkan, diejek sebagai pejabat goblok yang tidak mampu memanfaatkan kesempatan.

Pejabat itu manja
Persepsi salah kaprah itu tentu tidak muncul begitu saja. Mengapa pejabat selalu ingin tampil serba mewah, sepertinya karena memang pemerintah sendiri cenderung memanjakan pejabatnya. Pejabat diberi fasilitas yang serba mewah untuk menaikkan pamor wibawanya , sehingga secara psikis seorang pejabat memang seperti sengaja dibentuk menjadi sosok yang harus tampil mewah agar berwibawa.

Lihat saja, ruang kerja pejabat selalu luas dengan kelengkapan furniture berselera. Meja kerjanya pun kebanyakan meja biro besar, lebar, dengan kursi duduk empuk bersandaran tinggi. Papan nama dan jabatan dari kayu berukir bertengger di atas meja kerja, yang akan selalu dibaca oleh siapa saja yang menghadap kepadanya. Semua keperluannya dilayani dengan baik oleh stafnya, dari yang sangat pribadi seperti makan minum sampai urusan dinas seperti surat menyurat. Ditambah bila pergi ke mana saja didampingi ajudan dan disediakan mobil yang juga mewah. Dapat dibayangkan, suasana psikis seperti apa yang muncul dalam diri para pejabat itu. Semua kemewahan itu begitu enak dan menyenangkan, malah melenakan. Sudah tertanam dalam mindset mereka, jabatan identik dengan kemewahan, dan kemewahan itu sendiri selalu melekat uang bersamanya. Maka, wajar saja bila mereka kemudian saling berlomba untuk meraih jabatan yang lebih tinggi karena mereka sangat paham, semakin tinggi jabatan akan memberikan fasilitas kemewahan semakin tinggi juga.

Megalomania! Itulah sebenarnya yang sedang terjadi pada diri para pejabat di negeri ini. Sebuah sindroma psikologis bagi seseorang yang selalu ingin kelihatan besar, tinggi, berkuasa, mewah, dan sejenisnya (lihat wikipedia). Pokoknya semua harus serba “wah”. Sindroma megalomania ini bahkan terbawa dalam pola kerja. Yang muncul kemudian adalah berbagai program yang berorientasi pada yang serba “ter”, seperti membangun gedung tertinggi, terbesar, termegah; membuat jembatan terpanjang, terkokoh; membangun pasar atau taman rekreasi terlengkap, termodern; memasang videotron terbanyak, tercanggih; dan seabreg kerja lain yang semuanya cenderung berkonotasi mega (besar). Para pejabat itu dengan bangganya akan memamerkan ke mana saja karya-karya yang serba ter itu.

Sebaliknya, untuk kerja yang tidak memiliki nilai ter atau mega, mereka menjadi seperti malas mengerjakannya. Lihat saja program penataan Pasar Tradisional, sanitasi lingkungan,  bantuan beras untuk si miskin (raskin), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), penataan pedagang kaki lima (PKL), dan masih banyak kerja populis lainnya, selalu saja terkesan tidak serius, rumit dan berbelit dengan masalah.

Semua itu artinya cuma satu: kerja bernilai mega memberikan kebanggaan, applaus, kepuasan, dan tentu saja fee atau gratifikasi berupa uang; sementara kerja populis mengurusi rakyat adalah kerja bakti, yang tidak memberikan apa-apa kecuali caci maki kalau rakyat tersakiti, atau sekedar simpati dan apresiasi kalau rakyat menyukai.

Kondisi fisik dan psikis lingkungan kerja seperti itu tanpa sadar kemudian terbawa ke luar. Kalau di kantor ruang kerjanya luas, meja kerjanya besar, kursi duduknya tinggi, mobilnya mewah, semua itu sepertinya harus pula diikuti dengan apa yang ada di luar kantornya. Inilah jawaban mengapa para pejabat kemudian sangat haus dengan tanah yang luas, rumah yang besar dan megah, mobil mahal dan mewah, dan berbagai status terhormat dalam berbagai organisasi non-dinas lainnya.

Jadi tidak perlu heran apabila dari hari ke hari semakin banyak saja pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Sindroma megalomania menuntut pemenuhan kebutuhan yang akan terus bertambah dan bertambah, tidak pernah tahu sampai di mana batas akhirnya. Dan, memang itulah faktanya: korupsi karena dorongan kebutuhan persentasenya mencapai 85% dari total kasus korupsi yang terjadi (KPK: 2005).

Kalau fakta obyektifnya seperti ini, mestinya pemerintah tidak perlu lagi memanjakan pejabatnya. Bisa saja dibuat aturan, spesifikasi gedung sederhana untuk kantor-kantor pemerintah. Seperti apa ruang kerja, kelengkapan mebelair, dan kursi duduk legislator, politisi, menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon 1, 2, 3, dan seterusnya. Mobil seperti apa yang mencerminkan kesederhanaan untuk anggota DPR, menteri, gubernur, bupati/walikota, pejabat eselon, dan seterusnya. Dengan aturan yang jelas, tidak akan ada lagi perlombaan pembangunan gedung kantor yang megah, persaingan pemberian fasilitas mobil yang serba mewah. Demikian pula, pembangunan berbagai mega proyek berkonotasi ter yang hanya memberikan kebanggaan semu, dapat dicegah dan dihindari.

Dengan tidak memanjakan pejabatnya, pemerintah tentu dapat menghemat anggaran cukup signifikan. Anggaran untuk segala kemewahan yang serba mega dan ter itu tentu akan lebih bermanfaat untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Yang lebih penting lagi, pejabat pemerintah jadi tampil lebih sederhana, dekat dengan suasana batin rakyat, jauh dari sindroma megalomania, yang membuat mereka selalu haus dengan yang serba besar, hebat, dan wah.

Kiranya itulah sesungguhnya mimpi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber: Facebook PMK

Minggu, 04 Agustus 2013

Distribusi Buku PMK (Jilid I) untuk Panitia Road Show & Masyarakat Umum

Distribusi buku "PUISI MENOLAK KORUPSI" (Jilid I) untuk panitia road show & masyarakat umum:

1. MN Jakarta (penyumbang saweran), 3 eksp
2. H Pati (penyumbang saweran), 5 eksp
3. Panitia Road Show di Blitar, 5 eksp
4. Dapur Umum Road Show di Blitar, 3 eksp
5. Walikota Kota Blitar, 1 eksp
6. Perpustakaan Bung Karno Blitar, 1 eksp
7. Dinas Pendidikan Kota Blitar, 1 eksp
8. Dinas Pariwisata Kota Blitar, 1 eksp
9. Bupati Kabupaten Blitar, 1 eksp
10. Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, 1 eksp
11. Juwaini (Aktivis Kesenian Kota Kediri), 1 eksp
12. Hadi Lempe (Aktivis Sastra Kota Pekalongan), 1 eksp
13. Deni (Pengurus Dewan Kesenian Kediri), 1 eksp
14. Wijang Warek Al Mau’ti (Staf Taman Budaya Jawa Tengah), 1 eksp
15. Bagus (Pembina UKM Sastra & Teater Universtas Jember), 1 eksp
16. Suryo (Staf Balai Bahasa Semarang), 1 eksp
17. Panitia Road Show di Tegal, 8 eksp
18. Wijanarko (Moderator Diskusi Road Show di Tegal), 1 eskp
19. Wahyu Ranggati (Penyaji Tari Road Show di Tegal), 1 eskp
20. Joko SCT (Aktivis Teater Tegal), 1 eksp
21. Dimas Indiana Senja (Aktvis Sastra Brebes), 1 eksp
22. Em Yogiswara (Aktivis Sastra Jambi), 2 eksp
23. Marlin Dinamikanto (Aktivis Sastra Jakarta), 1 eksp
24. Perpustakaan SDIT Birul Walidain Sragen, 3 eksp
25. Perpustakaan Yayasan Kalam Kudus Solo, 2 eksp
26. Panitia Lomba Baca Puisi PMK Jepara, 60 eksp
27. Panita Lomba Baca Puisi PMK Purworejo, 65 eksp
28. Wisnu (Wartawan Suara Merdeka, Biro Solo), 1 eksp
29. Dinda Leo Listy (Jurnalis di Tegal), 1 eksp

Sumber: Facebook PMK.