Jumat, 26 Juli 2013

Korupsi (5w+1h+what effects) oleh Wardjito Soeharso

Sekedar berbagi:
"Ini sebagian materi Pemberantasan Korupsi yang saya ajarkan kepada para Calon Pegawai Negeri. Semoga menambah wawasan dan bermanfaat. Terima kasih." Wardjito Soeharso.

Download di Facebook PMK atau di PowerPoint Online.

Minggu, 21 Juli 2013

Jendral Penyair (Koran Barometer, Sabtu, 20 Juli 2013)

Sumber gambar
Foto: KORAN BAROMETER
Sabtu, 20 Juli 2013

"Jika para penegak hukum memiliki wilayah kuasa hukum, maka para penyair memiliki wilayah budaya untuk turut andil dalam perlawanan terhadap korupsi." Leak Sosiawan

Rabu, 17 Juli 2013

Kumpulkan Ribuan Puisi, Keliling ke Pelosok Nusantara (Suara Merdeka, 17/07/13)

Gerakan melawan korupsi tak hanya dilakukan penegak hukum, aktivis, atau mahasiswa. Penyair pun tak mau kalah. Dikoordinasi penyair asal Solo Sosiawan Leak, mereka punya cara tersendiri untuk melakukannya.

RUMAH penyair Sosiawan Leak teduh. Ke­diaman  dedengkot kelompok Teater Klosed itu juga unik. Ada sentuhan teatrikal pada bentuk arsitekturalnya. Siapa pun yang me­nyusuri Jalan Pelangi Utara III Kelurahan Mojo­songo, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta akan mudah me­nemukannya.

Bahkan tanpa harus melihat teraan angka 1 yang menjadi penanda rumah itu. Namun berbeda dari rumah tersebut, si pemilik justru sulit ditemui, apalagi minggu atau bulan-bulan belakangan ini.

Selain kegiatan teater dan kepenyairan, ada lagi kesibukan yang membuatnya susah dijumpai. Sosiawan tengah menjadi koordinator Gerakan Penyair Anti Korupsi. Kesibukan itulah yang membuat dia jarang berada di rumah, akhir-akhir ini.

‘’Kami para penyair memang sedang membuat gerakan untuk melawan korupsi. Kebetulan saya yang diserahi tugas sebagai koordinator,’’ ujarnya, Selasa (16/7).

Tapi bagaimana para penyair melawan korupsi? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya kuasa hukum saja masih terus bekerja keras.

Justru inilah yang menarik. Sebab, meskipun di wilayah hukum tidak memiliki kuasa, mereka merasa masih memiliki wilayah budaya. Sementara, korupsi yang terjadi di Tanah Air sering dipandang ’’sudah membudaya’’.

’’Sebenarnya saya tidak terlalu setuju dengan istilah budaya korupsi. Sebab menurut saya istilah budaya itu berkenaan dengan sesuatu yang baik dan positif. Tapi baiklah kalau memang itu dianggap sebagai budaya, maka obatnya menurut saya dan kawan-kawan berarti juga harus lewat budaya,’’ jelas mantan mahasiswa FISIP UNS itu.

Karena itu, menurut dia, gerakan para penyair tersebut bukanlah gerakan politik atau advokasi hukum, melainkan murni gerakan kebudayaan. Maka, cara melakukan perlawanan tidak dengan demonstrasi, meski sebenarnya mereka mampu menggalang masa. Mereka punya cara sendiri.

Jika demikian, apakah berarti puisi akan digunakan sebagai sarana untuk melawan korupsi? Benar, dan itulah yang membuat kian menarik. Sosiawan kemudian menunjukkan sebuah buku setebal lebih dari 450 halaman berjudul Puisi Menolak Korupsi yang diterbitkan Mei lalu.

’’Inilah hasil dari Gerakan Penyair Anti Korupsi. Sebuah buku kumpulan puisi yang temanya tentang antikorupsi,’’ tandas lelaki kelahiran Solo, September 1967 tersebut.

Roadshow
Menurut Sosiawan, untuk membiayai produksi buku, para penyair iuran atau patungan. Jumlah iuran dibatasi minimal, namun tidak secara maksimal.

’’Yang memberi iuran, uangnya tidak akan hilang begitu saja, sebab akan dikembalikan dalam wujud buku sesuai dengan nilai iurannya,’’ katanya.

Hal menarik lain dari buku itu adalah kuantitas kekaryaan. Ada ratusan puisi berisi semangat perlawanan terhadap korupsi hasil karya 85 penyair dari berbagai kota dan daerah, mulai Sabang sampai Merauke. Itu merupakan hasil seleksi dari ribuan pusi.

’’Padahal saya hanya mengumumkan lewat jejaring sosial baik via email maupun Facebook. Yang mengirim ternyata ribuan,’’ jelas Sosiawan.

Kondisi itu memberi gambaran betapa isu korupsi sangat menggelisahkan kalangan penyair. Lantas, setelah menjadi buku, apakah perlawanan itu berhenti? Tidak, justru itu baru dimulai.

Sebab, buku kumpulan puisi tentang antikorupsi disosialisasikan keliling Nu­santara. Istilah Sosiawan Leak, di-road­show-kan. Selain pembacaan puisi, dalam sosialisasi juga ada diskusi dengan narasumber para ahli hukum dan sastrawan. Sosialisasi dilakukan dengan cara swadaya oleh para penyair daerah yang menjadi tuan rumah.

’’Sudah ada beberapa sosialisasi yang kami lakukan. Pertama di makam Bung Karno di Blitar 18 Mei lalu. Kedua di halaman gedung DPRD Tegal awal Juni lalu. Lalu yang ketiga di Banjar Baru, Kalimantan Selatan pada 28 Juni. Rencana ke depan, jadwal sudah menumpuk, keliling daerah di seluruh pelosok Nusantara,’’ imbuhnya.

Sementara sosalisasi terus dilakukan, desakan penyair lain yang ingin terlibat juga cukup tinggi. Muncullah ide untuk menerbitkan buku Puisi Menolak Korupsi jilid II. Hingga kemarin sudah ada 209 penyair yang bersedia terlibat.

’’Seperti ini memang seharusnya karya sastra itu.  Menurut saya, karya sastra mestinya mengawal tranformasi sosial. Harus menginspirasi proses-proses kehidupan. Bukan malah menjauh,’’ tutur Sosiawan.

Dia menambahkan, isi buku tersebut secara umum memang berupa puisi. Namun puisi itu diolah secara kreatif lewat sudut pandang yang berbeda. Hal itu mengingat kultur yang dibawa para penyair dari Sabang sampai Merauke yang beragam.

’’Ada yang suka kesunyian menyampaikan dengan puisi sunyi, ada yang suka teriak juga diungkapkan dengan teriakan. Ada tema korupsi dengan kaca mata dunia anak, ada yang dengan analogi cerita binatang,’’ katanya.

Begitulah, bermula dari tantangan penyair asal Semarang Heru Mugiarso, Sosiawan Leak dan kawan-kawannya sesama penyair membuat sebuah gerakan antikorupsi lewat dunia puisi. Kini bukan hanya empat penyair yang patungan, tapi sudah mencapai ratusan orang jumlahnya. Bukan tidak mungkin nanti akan mencapai ribuan. (Wisnu Kisa­wa-59)

Sumber Suara Merdeka dan PMK
Postingan serupa, http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/sosiawan-dan-penyair-melawan-korupsi.html 

Jumat, 12 Juli 2013

Distribusi Buku PMK (Jilid I) untuk Penyair

Distribusi buku "PUISI MENOLAK KORUPSI" (Jilid I) untuk penyair:

1. Abdurrahman El Husaini (Martapura), menerima 10 eksp
2. Acep Syahril (Indramayu), menerima 7 eksp, menyumbangkan 1 eksp
3. Agus R Sardjono (Jakarta), menerima 1 eksp
4. Agus Sri Danardana (Pekanbaru), menerima 12 eksp
5. Ahmad Daladi (Magelang), menerima 12 eksp
6. Ahmadun Y Herfanda (Jakarta), menerima 1 eksp
7. Akaha Taufan Aminudin (Batu, Malang), menerima 10 eksp
8. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru), menerima 10 eksp
9. Aloysius Slamet Widodo (Jakarta), menerima 20 eksp
10. Aming Aminudin (Surabaya), menerima 10 eksp
11. Andreas Kristoko (Yogja), menerima 9 eskp, menyumbangkan 1 eksp
12. Andrias Edison (Blitar), menerima 10 eksp
13. Andrik Purwasito (Solo), menerima 40 eksp
14. Anggoro Suprapto (Semarang), menerima 10 eksp
15. Ardi Susanti (Tulungagung), menerima 10 eksp
16. Arsyad Indradi (Banjarbaru), menerima 10 eksp
17. Asyari Muhammad (Jepara), menerima 10 eksp
18. Ayu Cipta (Tangerang), menerima 10 eksp
19. Bagus Putu Parto (Blitar), menerima 2 eksp
20. Bambang Eka Prasetya (Magelang), menerima 10 eksp
21. Bambang Supranoto (Cepu), menerima 10 eksp, menyumbangkan 10 eksp
22. Bambang Widiatmoko (Bekasi), menerima 10 eksp
23. Beni Setia (Caruban), menerima 1 eksp
24. Bontot Sukandar (Tegal), menerima 3 eksp
25. Brigita Neny Anggraeni (Semarang), menerima 10 eksp
26. Budhi Setyawan (Bekasi), menerima 10 eksp
27. Dedet Setiadi (Magelang), menerima 4 eksp, menyumbangkan 6 eksp
28. Denni Meilizon (Padang), menerima 10 eksp
29. Dharmadi (Purwokerto), menerima 8, menyumbangkan 2 eksp
30. Didid Endro S (Jepara), menerima 10 eksp
31. Dimas Arika Mihardja (Jambi), menerima 8 eksp, menyumbangkan 12 eksp
32. Dona Anovita (Surabaya), menerima 10 eksp
33. Dwi Ery Santosa (Tegal), menerima 10 eksp
34. Dyah Setyawati (Tegal), menerima 10 eksp
35. Eka Pradhaning (Magelang), menerima 10 eksp
36. Eko Widianto (Jepara), menerima 10 eksp
37. Ekohm Abiyasa (Solo), menerima 10 eksp
38. Endang Setiyaningsih (Bogor), menerima 10 eksp
39. Endang Supriyadi (Depok), menerima 10 eksp
40. Gunawan Tri Admojo (Solo), menerima 1 eksp
41. Handry Tm (Semarang), menerima 10 eksp
42. Hardho Sayoko Spb (Ngawi), menerima 12 eksp
43. Heru Mugiarso (Semarang), menerima 30 eksp
44. Hilda Rumambi (Palu), menerima 12 eksp
45. Irma Yuliana (Kudusan, Jawa Tengah), belum menerima
46. Isbedy Stiawan ZS (Lampung), menerima 3 eksp
47. Jamal D Rahman (Jakarta), menerima 1 eksp
48. Jhon F.S. Pane (Kotabaru), menerima 12 eksp
49. Jumari HS (Kudus), menerima 10 eksp
50. Kidung Purnama (Ciamis, Jawa Barat), menerima 10 eksp
51. Kun Cahyono Ps (Wonosobo), menerima 14 eksp
52. Kuspriyanto Namma (Ngawi), menerima 10 eksp
53. Lailatul Kiptiyah (Blitar), menerima 10 eksp
54. Lennon Machali (Gresik), menerima 5 eskp, menyumbangkan 5 eksp
55. Lukni Maulana (Semarang), menerima 10 eksp
56. M. Enthieh Mudakir (Tegal), menerima 10 eksp
57. Mubaqi Abdullah (Semarang), menerima 10 eksp
58. Najibul Mahbub (Pekalongan), menerima 10 eksp
59. Nurngudiono (Tegal), menerima 10 eksp
60. Oscar Amran (Bogor), menerima 6 eksp, menyumbangkan 4 eksp
61. Puji Pistols (Pati), menerima 5 eksp
62. Puput Amiranti (Blitar), menerima 5 eksp
63. Puspita Ann (Solo), menerima 5 eksp, menyumbangkan 7 eksp
64. Radar Panca Dahana (Jakarta), menerima 1 eksp
65. Ribut Achwandi (Pekalongan), menerima 10 eksp
66. Ribut Basuki (Surabaya), menerima 10 eksp, menyumbangkan 6 eksp
67. Rohmat Djoko Prakosa (Surabaya), menerima 10 eksp
68. Saiful Bahri (Aceh), menerima 12 eksp
69. Sosiawan Leak (Solo), menerima 10 eksp
70. Sudarmono (Bekasi), menerima 8 eksp, menyumbangkan 2 eksp
71. Sulis Bambang (Semarang), menerima 40 eksp
72. Sumasno Hadi (Banjarmasin), menerima 5 eksp, menyumbangkan 5 eksp
73. Surya Hardi (Pekanbaru), menerima 8 eksp, menyumbangkan 2 eksp
74. Sus S Hardjono (Sragen), menerima 10 eksp
75. Suyitna Ethex (Mojokerto), menerima 8 eksp, disumbangkan 2 eksp
76. Syam Chandra (Yogyakarta), menerima 10, disumbangkan 6 eksp
77. Syarifuddin Arifin (Padang), menerima 8 eksp, untuk ganti ongkos kirim 2 eksp
78. Thomas Budi Santoso (Kudus), menerima 10 eksp
79. Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo), menerima 10 eksp
80. Tri Lara Prasetya Rina (Bali), menerima 3 eksp, menyumbangkan 7 eksp
81. Udik Agus Dw (Jepara), menerima 12 eksp
82. W. Haryanto (Blitar), menerima 5 eksp
83. Wardjito Soeharso (Semarang), menerima 14 eksp
84. Yudhie Yarco (Jepara), menerima 10 eksp
85. Zainul Walid (Situbondo), menerima 6 eksp, menyumbangkan 4 eksp

Sumber: Facebook PMK.

Selasa, 09 Juli 2013

Pengantar Buku Antologi PMK Jilid I: Anatomi Korupsi


ANATOMI KORUPSI

Oleh: Sosiawan Leak*

Seperti tubuh, korupsi memliki organ yang lengkap dengan berbagai fungsi. Ada tangan yang dipakai untuk menggapai, memegang, meremas & membetot. Selain tentu saja menyentuh mesra serta membelai  manja korbannya.

Ada kaki yang berguna untuk menopang tubuh kala berdiri, memangkas jarak dengan berjalan atawa berlari, sambil sesekali meloncat jika diperlukan mendekat sang korban dengan cepat. Juga untuk menjejak saat melakukan perlawanan bahkan dengan mendepak dan menendang kepada pihak lain yang tak dibutuhkan.

Korupsi juga punya kepala di mana bercokol fungsi organ paling penting dan utama. Mata untuk melirik & melihat sesekali melotot di saat mulut menggertak, hidung mendengus, serta dahi berkernyit sembari menjalin dua pangkal alis ke pusat jidat. Demikian pula tentu saja di kepala itu menempel mulut guna mengunyah & menelan obyek tangkapan dibantu para gigi serta saluran kerongkongan. Setelah sebelumnya acap diendus lebih dulu oleh hidung serta cek rasa di wajah lidah.

Seperti tubuh, organ-organ korupsi merupa satu kesatuan yang bersandar pada kekuatan motorik dan kepekaan sensorik. Kekuatan fisik & non fisik. Kekuatan luar & dalam. Termasuk perut di mana di dalamnya berumah beragam usus berikut kemanfaatannya. Para usus itu mencerna dan memilah milih benda jarahan ke masing-masing wilayah berbeda. Ada yang disekap di usus besar, ada yang digiling di usus halus setelah sebelumnya nyangkut ke usus dua belas jari. Tapi jangan lupa, pasti ada hasil korupsi yang kesasar nyangkut di appendix. Hingga butuh diamputasi oleh si empunya demi kesehatan tubuhnya.

Namun dari semua itu sebagaimana tubuh, yang paling menentukan dari ‘makhluk’ bernama korupsi adalah otak dan hatinya. Di sinilah segala logika & argumentasi berikut visi perilaku korupsi diolah dan dimatangkan. Termasuk saat sempat ‘mempertimbangkan’ norma baik & buruk, benar & salah, neraka & surga, hingga tuhan & setan. Bertaut berkelindan otak & hati korupsi menjadi dasar pemikiran, pun timbang saran logika serta moral dalam menentukan laku korupsi secara ideologis atau dengan serampangan

Sebagaimana tubuh, organ-organ itu bekerja secara kompak dan menyeluruh. Saling mendukung dan terkoordinasi dalam sinergi yang intens dan berkelanjutan. Kegagalan menghadapi ‘makhluk’ bernama korupsi kerap diawali dari pemahaman keliru atas tubuhnya yang dianggap tak utuh, ringkih, sendiri & kesepian.

Maka, boleh saja sistem pengawasan disiapkan dengan berbagai kecanggihan saat mencegat laju korupsi. Tapi toh, berbagai cara berkelit dan menghindar dengan tingkat keberdayaan canggih selalu saja berhasil dia siapkan untuk meloloskan diri dari deteksi pengawasan birokrasi. Silahkan perangkat aturan dan undang-undang berikut lembaga centengnya diproduksi masal tiada henti, tapi jangan kecewa jika semua itu semaput saat mengejar hendak menghajar korupsi. Lantaran ketika diselidik, disidik hingga disidang, ‘makhluk’ itu akan dengan gampang menghiba atas nama mata hati dan nurani. Bersiasat licik, menelikung pikiran & menjebak empati dengan sinema simpati yang melahirkan permakluman dan pengampunan. (Setelah sebelumnya mungkir berbekal fatwa malaikat bertampang nabi. Membela diri, menghajar balik hukum dan aturan serupa memperlakukan tai).

Kini, generasi termutakhir korupsi rampung bermetamorfosa serupa air & udara. Malih rupa santapan yang kita butuhkan senantiasa. Nyaris tak beda rasa, bau, warna & wujudnya dengan air, udara & makanan sejati. Butuh usaha keras & upaya kuat untuk mengenali tubuh dari ‘makhluk’ bernama korupsi. Satu di antaranya melalui puisi yang bersandar pada ketajaman pikiran, kejernihan mata hati dan kedalaman nurani.

*Sosiawan Leak
(Koordinator Gerakan Puisi Menolak Korupsi)

Sumber: Facebook Sosiawan Leak

Senin, 08 Juli 2013

(Esai) Sastra Koruptif oleh Beni Setia (Lampung Post, Minggu 07/07/13)

Oleh: Beni Setia

KALAU merunut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995) korupsi identik sama ”the act of corrupting or the process of being corrupted”, dengan amat  banyak rujukan dari kata korup. Salah satunya ”willing to act dishonestly or illegally in return for money or personal gain” --dengan catatan: ”especially of people with authority or power”. Tidak memungkinkan tukang becak, penyair, atau badut sirkus korupsi.

Sejajar pembakuan KBBI (1995), di mana korupsi diartikan ”penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain”. Plus varian ”korupsi waktu”, yang diartikan ”penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi”. Seakan-akan ihwal korup, korupsi, dan koruptor itu hanya ada dalam konstalasi rezim yang berkuasa yang harus selalu dikontrol oleh oposan politik, dan sosial kontrol oleh pers dan seterusnya di sisi lainnya. Usaha agar penguasa tidak otoriter--Lord Acton bilang, ”kekuasaan cenderung korup”.

Sesuatu yang membuat parpol, yang politisinya duduk di kabinet atau DPR atau DPRD melakukan korupsi, tidak merasa harus ikut bertanggungjawab--cukup dengan bilang itu oknum. Atau, kepala daerah, dengan back up parpol tertentu, yang anggaran APBD-nya berasal dana alokasi APBN sesuai ajuan proposal, leluasa tanpa pakewuh mengubah beberapa pos peruntukkannya buat kesejahteraan rakyat. Bahkan jadi bukti ia dan parpol pendukungnya punya kebijaksanaan yang berbeda dari pusat--beroposisi tanpa mencari PAD. Seakan alokasi APBN itu jatuh dari langit, bukan kebijaksanaan ekspor, pajak, dana pinjaman, dan seterusnya dari pemerintah--karenanya harus ikut mempertanggungjawabkanya.

Tapi saya cuma ingin berbicaraihwal korupsi dalam menulis--tak khusus sastra--, dengan merujuk kekuasaan dan kewenangan yang dipakai untuk meraih keuntungan pribadi, mensejahterakan teman dan kelompok, atau cuma menghabiskan waktu kerja di kantor dengan menulis puisi atau membaca koran. Jadi bukan sekedar mencairkan alokasi dana untuk kegiatan yang harus dilakukan pada akhir tahun anggaran, dengan hasil acakadut. Hanya merujuk upaya tak sungguh-sungguh dalam mencipta, dengan mengsiambil kutipan tanpa menyebut sumbernya, dengan membajak sebagian tulisan secara menggelap, dan mengakui tulisan orang lain.

Plagiarisme terlarang. Pelakunya dijenggongi, dikaitkan dengan kapasitas moral serta kompetensi dari si penulis--samat direndahkan lewat pengucilan. Sejajar dengan itu ada tindakan korupsi lain, perilaku mencetak dan memperbanyak buku karya orang lain, yang hak produksi eksklusifnya telah dimiliki penerbit lain, lantas mengedarkan serta menjualnya--dengan seluruh keuntungan dikangkangi si pelaku, setelah sebagian merembes pada pengedar dan pengecer. Untuk yang terakhir ini kita menganggapnya sebagai suatu tindakan (delik) Pidana, dan Negara telah mahfum dengan menyediakan KUHP, polisi, jaksa, hakim, LP, dan ancaman hukuman kurungan dan denda.

Untuk yang pertama hanya ada sanksi moral, meskipun institusi PT menganggap skripsi, tesis, atau disertasi yang main comot, bajak, serta copy paste itu sebagai laku amoral, dengan sanksi pembatalan gelar kesarjanaan bagi pembuatnya. Di luar itu kita tak berdaya. Maka merajalelalah laku korupsi dalam penulisan karya sastra atau karya tulis ilmiah di sekolah, terutama yang dipersiapkan buat lomba tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Ketika ada lomba menulis puisi dan cerpen FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional), guru pembina mengharuskan agar siswanya membuka internet, mengunggah karya tersua, mengolah dan mengakuinya sebagai karya pribadi.

Tak malu karena percaya juri tidak mungkin tahu--juga untuk karya tulis ilmiah yang seharusnya dimulai dengan penelitian. Terkadang lelaku korupsi secara tak sadar dilakukan Dindik, dengan tidak menyelenggarakan lomba menulis cerpen atau puisi di tingkat kabupaten/kota, dengan langsung menunjuk siswa dari sekolah unggul--meski mekanisme serta dananya ada. Alasannya, tidak ada waktu. Akibatnya banyak siswa berpotensi tak mendapat kesempatan untuk ujuk gigi. Atau sengaja melakukan lomba tapi alokasi waktunya--puisi 3 jam dan cerpen 5 jam--dipersempit jadi 2 jam. Bahkan memilih juri tak kompeten hingga naskah lomba tak dipertimbangkan secara serius.
      
Nyaris sejajar dengan redaktur media massa cetak umum mendahulukan teman dengan kebutuhan mendesak, sehingga persaingan jujur serta penilaian obyektif tidak jalan. Sesuatu yang terasa tapi tak bisa dibuktikan. Tidak heran bila Saut Situmorang berteriak ihwal estetika dominan, redaktur dan media massa cetak besar mendiktekan itu, dan menyebutnya politik sastra. Korupsi yang tak terasa dan tak bisa disimpulkan. Tapi kita bungkam, tidak berkeinginan menghadirkan media massa cetak untuk karya alternatif. Tak berdaya mengikuti kompetensi sesuai gendang dominan, terpinggirkan sebagai yang dilemahkan--tidak bisa menari menikmati jeneng dan jenang.

Beni Setia, pengarang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juli 2013

Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/07/sastra-koruptif.html